KH Moh Hasyim Zaini, Pengasuh II Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, dikenal sebagai ulama yang rendah hati dan sangat tawadhu kepada guru.
Kiai Hasyim merupakan keturunan pertama dari KH Zaini Mun’im dan Nyai Hj Nafi’ah. Kiai Hasyim mendapat pendidikan pertamanya langsung dari kedua orang tuanya, ayahanda dan ibundanya. Sejak kecil Kiai Hasyim dikenal dengan sifat rendah hati dan kepatuhannya terhadap orang tuanya.
Saat sudah menjadi santri, memiliki pengetahuan dengan intelektualitasnya sudah sangat menonjol, ia tetap tekun dan ulet di dalam mengaji kitab.
Catatan pinggir kitab Kiai Hasyim penuh dengan penjelasan dan kutipan-kutipan dari gurunya saat mengaji. Kiai Hasyim menuturkan keterangan di Kitab Ta’lim al-Muta’allim, maa kutiba qarra wa maa hufidza farra (bahwa sesuatu yang ditulis itu akan kekal dan sesuatu yang dihafalkan akan hilang lekang dimakan zaman). Catatan tersebut akan membantu untuk mempermudah dalam me-muthalaah kitab di kemudian hari.
Pada usia dewasa, Kiai Hasyim menimba ilmu di Pondok Pesantren Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH Musta’in Ramli.
KH Faqih Zawawi menceritakan bahwa Kiai Zaini memang mempunyai hubungan dekat dengan Kiai Musta’in. Dulu Kiai Zaini juga mempunyai tujuan masuk ke Partai Golkar guna membantu Kiai Musta’in Ramli dalam mendampingi Presiden Soeharto. Kiai Zaini mempunyai pandangan bahwa di sekitar Presiden Soeharto ketika itu tidak ada yang berlatar belakang kiai. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan kurang sesuai dengan keinginan para kiai (bukan kebijakan yang bertentangan dengan agama). Walaupun, pada akhirnya Kiai Zaini mengurungkan niatnya setelah melakukan istikharah dan tetap berada di Nahdlatul Ulama.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Peterongan, Kiai Hasyim kembali ke Nurul Jadid untuk membantu ayahnya dalam mengurus santri. Di samping kesibukannya mengurus pesantren, Kiai Hasyim melanjutkan pendidikannya di Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU) dan menyandang gelar BA (Bachelor of Art). Pada saat itu yang menjadi rektor ADIPNU adalah Kiai Zaini, Ayahanda Kiai Hasyim.
Menjadi Pengasuh II Nurul Jadid
Pada 26 Juli 1976 ayahanda Kiai Hasyim, Kiai Zaini Mun’im, meninggal dunia. Kiai Hasyim melanjutkan kepemimpinan ayahandanya sebagai Pengasuh II Ponpes Nurul Jadid, melanjutkan pengabdian, perjuangan, dan gagasan ayahandanya.
Ketika menjadi menjadi pengasuh, Kiai Hasyim dibantu oleh KH Hasan Abdul Wafi. Kiai Hasan ditunjuk dan dipercaya menjadi Dewan Pengawas Nurul Jadid
Kiai Hasyim memberikan perubahan terhadap penataan lembaga pendidikan dan konsep pembinaannya. Pada aspek pendidikan, setiap santri diupayakan untuk mempertajam ilmu agama (tafaqquh fiddin). Sistem dan pola pembinaan dibuat secara integral, sehingga setiap pembelajaran di sekolah dan pesantren saling mendukung satu sama lain.
Santri yang bersekolah umum, seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU), kalau sekarang menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA), didorong untuk menguasai materi Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Kemudian, proses pembelajaran di pesantren diarahkan kepada pengetahuan keagamaan.
Selain itu, setiap santri diberi bekal keterampilan hidup (life skill) dengan ikut pelatihan di tingkat wilayah atau nasional. Di dalam pondok, keterampilan santri juga dirintis seperti percetakan, jahit-menjahit, elektro, maupun kemampuan berbahasa asing. Sementara, peningkatan yang terjadi di jenjang perkuliahan, berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah pada tahun 1979.
Akhlak Karimah Kiai Hasyim
Yang menarik, emua santri dianggap seperti anaknya sendiri. Itulah kenapa Kiai Hasyim selalu memanggil semua santrinya dengan sebutan ananda. Karena itu, Kiai Hasyim bukan sekadar Intelektual, namun juga sosok ayah dari para santrinya. Kiai Hasyim mempunyai hubungan emosional yang sangat dekat para santrinya. Salah satu pesannya, teman atau saudara sejati adalah mereka yang mau membersamai di waktu senang maupun susah.
Kiai Hasyim merupakan sosok yang rendah hati dan berakhlak mulia. Ketika berjumpa dengan seseorang yang dikenalinya, Kiai Hasyim tidak sungkan untuk turun dari kendaraannya, menyapa, dan berjabat tangan. Kepribadian Kiai Hasyim yang sangat berbudi luhur membuat masyarakat sekitar kagum dengan akhlaknya.
Tamu yang berkunjung kepada Kiai Hasyim selalu dilayani dengan penuh penghormatan dan sikap tawadhu. Jika tamu menunduk di hadapannya, maka Kiai Hasyim akan lebih menundukkan kepalanya. Saat tamunya pamit untuk pulang, Kiai Hasyim selalu mengantarkannya sampai tamunya sudah hilang dari pandangannya, kemudian Kiai Hasyim baru masuk ke kediamannya.
Pengakuan tentang akhlak mulia Kiai Hasyim juga dibenarkan oleh kalangan tokoh ulama lainnya. Kiai Ma’rus, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, menuturkan bahwa Kiai Hasyim itu merupakan ulama intelektual yang mempunyai akhlak mulia. Siapapun orangnya, Kiai Hasyim pasti akan menghormatinya.
Hasan Saiful Rijal dari Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo memberikan pembenaran, bahwa Kiai Hasyim mempunyai akhlak dan perilaku yang lemah lembut, ulama yang sangat mulia akhlaknya. Kemudian, Al-Habib al-Imam bin Abdullah bin Abdul Qodir bin Faqih al-Alawiy juga mengatakan demikian; tatakrama Kiai Hasyim itu sangat mulia.
Kiai Hasyim menuturkan alasan dari sifatnya yang lemah lembut ini. Bahwa, orang yang temperamental itu akan sukses tapi temannya sedikit. Sementara orang yang berakhlak mulia dan lemah lembut pasti akan disenangi orang dan banyak temannya. Orang gampang marah dan tidak mempunyai sopan santun jarang orang yang suka dengannya.