Bumi —dan lingkungan hidup di dalamnya— menjadi isu utama yang diperbincangkan di belahan global. Bukan tanpa sebab, hal ini lantaran kondisi Bumi, sebagai tempat huni, kian hari makin memprihatinkan. Kerusakan-kerusakan terpampang di sepanjang hulu-hilir. Dan diprediksi terus berlanjut mengingat saat ini merupakan era globalisasi-kapitalisme.
Bron Taylor (2008) mengungkapkan bahwa, globalisasi-kapitalisme adalah dua hal yang saling terkait-hubung dan paling berpengaruh terhadap perubahan alam, “Globalization and capitalism focus on immediate profit for its own shake, leave no place for environmental consideration and impact on desacralization of nature.”
Kapitalisme telah mengubah pola pikir manusia serba materialistis. Segala cara dihalalkan ketika melihat peluang ‘nilai jual’. Termasuk dalam konteks ini, sumber daya alam (Bumi) dikeruk secara eksploitatif tanpa mempertimbangkan keberlangsungan makhluk hidup dan kelestarian ekosistemnya. Alhasil, lingkungan hidup mengalami kerusakan (environmental damage) dan mendorong terjadinya perubahan iklim (climate change). Tindakan demikian menyiratkan arti keserakahan dan nir-etika dari manusia.
Etika menjadi barang mahal dalam era modernisasi. Absennya etika menimbulkan efek domino yang menjalar ke ranah sosio-ekonomi. Ketika lingkungan rusak, mengakibatkan sebagian kelompok masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam tidak dapat beraktivitas seperti sediakala. Mata pencaharian mereka hilang dan kebutuhan primer menjadi langka. Masyarakat modern cenderung mengorbankan nilai-nilai etis kemanusiaan demi pemenuhan ego dan ambisi-ambisi kapitalistik.
Menjadi sangat penting untuk merevitalisasi etika dalam laku hubungannya dengan alam. Sebab, lingkungan alam merupakan unsur vital kelangsungan semua sector —politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perlu digelorakan upaya penyadaran bahkan “penyucian” kembali (re-sakralisasi) terhadap alam dan menempatkannya bukan lagi sebatas objek, tetapi sebagai entitas subjek. Bumi hari ini menjadi penentu eksistensi generasi mendatang.
Modal Berharga Indonesia
Setidaknya ada dua alasan mengapa Indonesia memiliki modal berharga bagi tumbuhnya keselarasan lingkungan alam. Pertama, agama Islam. Ruh Islam di Indonesia, sebagai mayoritas, tumbuh senapas dengan ajaran Rasulullah, yakni tidak rigid, akomodatif, dan mengutamakan maslahat. Islam (di) Indonesia di samping mengajarkan tentang hubungan sosial, juga diarahkan bagaimana memperlakukan alam lingkungan. Lingkungan yang aman dan nyaman, berbanding lurus pada kelancaran dakwah hingga ibadah.
Kedua, sosiologi Indonesia. Patut disyukuri bahwa Indonesia memiliki keragaman komunitas masyarakat yang telah termanifestasikan nilai-nilai kearifan dan budaya adiluhung. Salah satu komunitas masyarakat terbesar serta mempunyai andil ialah pesantren. Keunggulan pesantren mampu membentuk pandangan, sikap, dan perilaku ke arah yang lebih arif dan beradab. Di dalam pesantren termuat beberapa elemen dasar, sebagaimana menurut Zamakhsyari Dhofier, yakni lokus: pondok —masjid, subjek: kiai, objek: santri, dan konten: pengajaran kitab klasik (kuning).
Hal yang menarik adalah, bahwa pesantren mempunyai pengaruh dalam menentukan arah tindakan lapisan masyarakat. Ketika pimpinan (pengasuh) pesantren mengeluarkan sebuah fatwa acapkali diikuti petuahnya secara organik. Masyarakat tidak pernah ragu, karena menganggap kiai sebagai figur sentral yang mumpuni. Kiai adalah pemimpin informal. Maka tidak heran, kiai mendapat tempat spesial dan menjadi panutan terbaik.
Tepat di sini makna modalitas menemui titik signifikansinya. Uraian tersebut mengafirmasi Islam-Indonesia berperan secara berkelindan. Masing-masing memberi sentuhan yang berarti, menyatu, dan menyeluruh. Dengan memahami posisi ini, besar peluang keterlibatan pesantren dapat mengurai permasalahan lingkungan hidup yang menggurita. Pesantren harus memulai dari diri, dengan penanaman budaya sadar lingkungan beserta program turunannya kepada para santri. Baru kemudian, para santri ditugaskan diseminasi ke umat masyarakat. Inilah kekuatan dari bilik pesantren yang sanggup menyentuh akar rumput (grass root).
Yang Luput
Pesantren mempunyai tanggung jawab besar terhadap kondisi lingkungan hidup. Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang menempa para santri mengkaji rumpun keislaman; Al-Qur’an, hadis, hingga kitab-kitan klasik. Dalam ajaran Islam, terdapat wahyu bahwa agama Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Selain itu juga, manusia —hamba adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang tugasnya memelihara, mengatur, dan menjaga ekosistem bumi.
Beban berlapis berada di pundak pesantren. Elemen pesantren mestinya menjadi pionir keteladanan sebagai khalifah yang sejati. Namun, harapan demikian agaknya jauh panggang dari api. Banyak dari pesantren, dalam hal ini para kiai—santri, abai terhadap isu lingkungan. Sependek pengamatan dan riset, di dunia digital maupun dekat daerah tempat tinggal, belum terlihat upaya penitikberatan pada gerakan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam skala nasional juga serupa. Hal ini dilihat dari data pondok pesantren dalam program “ekopesantren” yang diselenggarakan Pusat Pengajian Islam (PPI) Universitas Nasional (UNAS) bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjumlah 50 pesantren. Padahal, berdasarkan data Kemenag tahun 2023, sebaran pesantren di wilayah Indonesia ada 37.626 unit. Itu artinya skala perbandingan pesantren yang melek isu ekologis 1:752 unit.
Memang, perlu diakui bahwa data ini memiliki keterbatasan. Apakah jumlah pesantren yang ikut program ekopesantren benar-benar hanya 50? Atau sebelumnya dilakukan proses seleksi? Kalau sebelumnya ada proses seleksi, maka peserta program ekopesantren sebenarnya lebih dari 50 pesantren. Dan itu artinya jumlah pesantren yang melek isu ekologis mengalami perubahan. Namun, apakah jumlahnya tiba-tiba mendongkrak kuantitas skala jadi setara? Cukup ragu bila melihat kondisi saat ini.
Terlepas dari itu semua, yang perlu menjadi perhatian bersama ialah hari-hari ini sedang defisit sumber daya pesantren peduli lingkungan dan isu ekologis. Pemahaman kiaisantri luput/hilang dari pancaran jati dirinya. Boleh jadi mereka berhenti pada taraf “tahu” tapi belum “paham”. Sehingga, amanah rahmatan lil ’alamin dan khalifah belum diresapi secara maksimal dan diejawantah dalam laku sehari-hari.
Para santri di pesantren kebanyakan adalah perokok aktif. Salah satu kebiasan buruk perokok adalah membuang abu, hingga puntung, secara sembarangan. Santri yang merokok turut juga melakukan kebiasaan buruk ini. Lagi jalan, misalnya, tiba-tiba mengetuk rokoknya sehingga menyebabkan abunya berserakan. Kemudian setelah habis, puntung dibuang sesuka hati. Coba bayangkan jika jutaan santri menormalisasi tindakannya, akan seperti apa kondisi lingkungan di masa depan?
Ini baru berbicara masalah rokok. Belum lagi masalah-masalah lain yang lebih kompleks, seperti pemborosan air, penumpukkan sampah, polusi, hingga pemanasan global. Pesantren harus segera merenung –insyafi sikap abai yang selama ini dipertontonkan. Pasalnya, para peneliti sudah memberi alarm warning bahwa Bumi akan memuntahkan ragam bencana jika tak kunjung dirawat.
“Kiai Hijau” dan Ikhtiar Santri
Sebelum lebih jauh ihwal konkretisasi santri dalam meruwat Bumi, penting sekiranya membahas sosok pengasuh pesantren atau kiai dahulu. Ini memiliki korelasi yang berkesinambungan. Kiai adalah elemen penting karena memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan. Mafhum bahwa menilai kecenderungan sikap para santri dengan melihat kebijakan yang dibuat pemimpin.
Model kepemimpinan kiai sudah seharusnya mengalami pemugaran dan pengembangan. Sekadar menonjolkan model otoriter, paternalistik, maupun kharismatik tidak efektik untuk menjawab serangkaian masalah yang menyeruak. Tawaran model baru yang relevan di abad ini, yakni kepemimpinan hijau (green leadership). Kepemimpinan hijau menekankan kepedulian untuk keberlanjutan hidup. Pemimpin hijau bertindak aktif, penuh inisiatif, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
“Kiai hijau” menjadi sangat dinanti sosoknya di setiap pesantren. Untuk melahirkan kiai hijau, perlu pelibatan berbagai pihak, seperti Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag dan KLHK, serta pembuatan program semacam Pendidikan dan Latihan (Diklat) guna mengubah paradigma lama. Selain itu, bisa juga mewajibkan para kiai melaksanakan studi banding ke pesantren-pesantren yang sudah menjalankan program ekopesantren. Di sana, para kiai bisa berdiskusi dan bertukar pandangan. Tak lupa juga diharuskan membuat rencana tindak lanjut untuk di pesantrennya masing-masing.
Nah, selanjutnya bagi santri, langkah yang perlu dilakukan dalam berkontribusi menjaga lingkungan tidak perlu yang ndakik-ndakik. Santri bisa mengadopsi pendekatan profetik. Nabi selalu mengajarkan dan memberi keteladanan untuk selalu hidup dalam kesederhanaan dan beriringan. Pertama, hemat air. Dengan menghemat air, artinya sedang menjaga cadangan air agar tidak menipis. Banyak orang belum tahu bahwa air yang bisa dikonsumsi ialah air tawar. Sedangkan, jumlah air tawa hanya berada di angka 3%, dan itupun sekitar 2% terkunci dalam es beku di kutub dan pegunungan.
Kedua, program hidup bersih-suci-sehat. Santri dapat menanam sayuran dan tumbuhan di lingkungan pesantren. Di samping menghasilkan penghijauan, dapat dimanfaatkan berbagai kebutuhan. Misalnya sayur buat lauk makan, serta tumbuhan untuk kesehatan; seperti daun jambu menghilangkan diare.
Ketiga, menjaga satwa. Di pesantren biasanya terdapat beberapa satwa. Dengan dibiasakan menjaga satwa, akan terbangun sikap kepedulian yang tinggi terhadap satwa maupun tempat yang menjadi habitatnya, dalam hal ini hutan.
Keempat, penggunaan transportasi. Santri dapat berperan dalam mengurangi polusi udara yang sekarang sudah pekat. Misalnya, bagi yang jarak tempat taklim dekat, lebih memilih jalan kaki atau naik sepeda. Kemudian, bagi yang sekolah formal dan jaraknya agak jauh, menggunakan kendaraan umum atau memanfaatkan kendaraan bersama.
Kelima, pemanfaatan limbah plastik. Di pesantren, apalagi setelah ada acara, biasanya sampah plastik berserakan. Santri dapat mendaur dengan membuat kerajinan tangan, seperti kerajinan bunga, lampu hias, tempat alat tulis, hingga keranjang belanja.
Itulah beberapa langkah kecil yang dapat dilakukan santri. Lantas, apakah berhenti pada titik ini? Tidak. Saya selalu besuara bahwa santri harus visioner-revolusioner. Maksudnya, santri tidak boleh mandek dengan gegap euforia masa lalu. Santri harus proaktif dalam percaturan kompetisi di era modern. Memahami berbagai disiplin ilmu dan mengkajinya secara mendalam. Santri tidak perlu minder karena membawa bekal yang belum tentu dimiliki liyan, yakni adab dan etika. Dengan perpaduan ilmu (modern) dan etika, niscaya santri terbentuk menjadi manusia paripurna (insanul kamil).
Akan sangat berkesan jika ada santri menjadi ilmuwan, dan menerapkan hasil penelitiannya di pesantren. Misalnya, seperti kehadiran robotik yang membantu operasional pesantren, terpasangnya panel surya sebagai pengganti listrik di pesantren, terciptanya energi terbarukan biogas limbah kotoran ternak pengganti gas LPJ, adanya kendaraan listrik, terintegrasinya kecerdasan buatan dalam pesantren, dan terobosan-terobosan lain.
Sebagai penutup, perlu menjadi permenungan bersama bahwa memelihara kelestarian alam bukan saja didorong oleh kesadaran terkait bencana yang mengancam jika alam tidak dirawat, akan tetapi juga sebagai wujud ketaatan seorang hamba yang beriman. Menjadi khalifah bukan pasif, melainkan harus aktif. Ini adalah amanah agung yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul asli “Santri Meruwat Bumi: Mengurai yang Luput, Merumuskan Langkah Konkret”.