Siklus kehidupan pasti akan sedinamis saat kita bangun tidur, yang kemarin ternyata masih mendengar kicau burung tetangga, hari ini mendengar burung milik sendiri, laku hari-hari berikut bergabung dangan sesama pecinta burung.
Sesederhana itu kita melihat dinamisnya kehidupan. Kita bisa beranggapan bahwa burung itu dijual karena pemiliknya sedang kepepet kebutuhan, atau mungkin ia sedang mengincar burung lain untuk dipelihara, dan dari sini kita sama-sama beranggapan dan berbagai warta yang akan kita ungkapkan.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah peran manusia dalam menyikapi perubahan sebagai keniscayaan. Jika Anda dulu pernah belajar iqra’, ngaji ngeja, lalaran di mushala, langgar, atau surau, pasti merasakan bagaimana pola pengajaran dan peran sosial para guru-guru kita itu.
Salah satu contoh, saat salah satu santri khatam Quran atau iqra untuk pertama kalinya pasti akan ada selamatan atau syukuran yang digelar di langgar.
Interpretasinya beragam, bahkan yang menjadi unik adalah adanya jarum, sejumlah uang, benang, dan daun di bawah nampan atau tempat nasi tumpeng dihidangkan. Hal ini menjadi simbol harapan bahwa yang disyukuri semoga memiliki kecerdasan setajam jarum, seulet benang, memiliki fondasi dasar yang kokoh tapi fleksibel seperti daun, dan tidak kekurangan rezeki.
Harapan-harapan yang disimbolkan tersebut tidak lain adalah bagian dari warisan leluhur, yang juga dikonservasi dan dikembangkan oleh para kiai langgar. Kiai langgar tidak seperti halnya kiai dengan tradisi pesantren yang agung dan elite. Kiai langgar memiliki dialektika sendiri, yang lebih akrab dengan masyarakat, bahkan ketika ia memiliki kelebihan seperti bisa mengobati sawan, atau sakit gigi, dan lain sebagainya dengan istilah suwuk, maka akan berdatangan masyarakat sekitar untuk bertamu dan bergaul dengannya.
Kiai langgar memiliki ritus sosial yang lebih lekat dengan jejaring masyarakat dari berbagai tingkatan. Tidak hanya itu, ketika pagi sampai siang, kiai langgar juga bekerja layaknya masyarakat biasa, tanpa risih dengan gelar sosial sebagai kiai langgar.
Namun jauh daripada itu, yang perlu diluruskan adalah stigma bahwa kiai hanya mereka yang berada di pesantren atau yang keturunan kiai langsung. Ini yang perlu dikaji dan didalami betul.
Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, kiai langgar seperti halnya kiai di pesantren, juga memiliki peran mendidik. Ujar-ujar lama mengatakan, “iso alip alipan yo gara-gara kyai langgar“. Bisa membaca huruf hijaiyah berkat kiai langgar. Artinya, ada peran penting seorang kiai langgar sehingga kita bisa membaca kitab kuning dengan fasih, hafal Quran dan hadisnya.
Sedang dewasa ini, tidak sedikit yang melupakan peran kiai langgar. Bahkan untuk mengingat lamat-lamat pun tidak terjangkau. Hal ini bukan berarti mengesampingkan kiai pesantren, paling tidak kita tahu bahwa ada perubahan sosial yang dibangun oleh peran kiai langgar sehingga berdampak pada diri kita saat ini.
Kiai langgar menatap perubahan zaman dengan ragam kedewasaan sosial, seperti sikap istikamah menjaga tradisi ajar ajer, serta menjaga tradisi lama namun tak melupakan perkembangan zaman, mengambil sikap dinamis adalah pola para leluhur. Sedangkan, bersikap konservatif dan cenderung menyalahkan zaman juga terlampau tidak dewasa.
Kiai langgar dan pesantren memiliki orientasi sosial masing-masing. Yang jelas tetap menjaga ukhuwah islamiyah wa wathaniyah. Hal ini menjadi siratan penting dari napas Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Oleh sebab itu, bagaimanan pun kiai pesantren, tetap tak akan pernah luput dari “peran pembantu”, yaitu kiai langgar. Disadari atau tidak jasanya luar biasa dan perlu kita kirim hormat dengan bacaan alfatihah bagi beliau-beliau semua.