Kiai Mahdari bin Mutammam adalah pejuang pendidikan madrasah hingga titik tarikan napas penghabisan. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mengajar dan memajukan lembaga madrasah. Dari jejak sejarah pengabdian dan perjuangan hidup, Kiai Mahdari tidak pernah surut untuk selalu berdakwah, berjuang, dan berusaha sekuat tenaga demi kemajuan Islam secara umum dan madrasah secara khusus.
Lahir dari keluarga sederhana (sangat amat sederhana, penulis paham karena masih keponakannya), tidak menyurutkan niat Mahdari muda untuk mencari ilmu pengetahuan. Pendidikannya dimulai dari sejak masih kecil, berguru dan mengaji kepada Kiai Marhumuddin (masih keluarga dekat). Kiai Marhumuddin adalah tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati di daerah Batuputih, Sumenep. Dari Kiai Marhumuddin, Mahdari muda mendapat dasar pendidikan yang paling fundamental (mendasar).
Semangat belajar yang membara, meski dengan kondisi hidup yang sangat sederhana, Mahdari muda berangkat belajar ke sebuah pesantren di Sumenep. Di lembaga pesantren ini Beliau belajar dasar-dasar keislaman lebih mendalam lagi. Haus akan pengetahuan membuat Kiai Mahdari menggunakan kesempatan belajar tersebut dengan sebaik-baiknya. Beliau berusaha tidak akan mengecewakan keluarga di rumah, maka dengan semangat yang berapi-api, Mahdari muda terus belajar dengan penuh perhatian dan penghayatan.
Beberapa lama waktu setelah Kiai Mahdari belajar di Pesantren Sumenep, dipenuhi oleh keinginan yang begitu besar, kemudian Beliau melanjutkan pendidikan di Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Di pesantren ini Kiai Mahdari yang sudah mulai tumbuh dewasa berdaya upaya untuk mengenyam seluruh materi pendidikan yang diberikan oleh Kiai Ilyas Syarqawi. Semangat pantang menyerah, dengan kondisi biaya yang begitu minim, Kiai Mahdari seringkali menahan lapar demi sebuah cita-cita. Yaitu untuk mendaptkan ilmu yang bermanfaat, yang kemudian akan diberikan kepada masyarakat di lingkungan daerah kelahirannya.
Kiai Mahdari bin Mutammam lahir pada tanggal 22 Juli 1940 (sesuai manuskrip yang ditemukan) di Desa Batuputih Kenek, Batuputih, Sumenep, Madura. Di daerah tersebut, di sebuah surau yang sangat bersahaja, Kiai Mahdari yang masih lajang mulai memberikan pelajaran keagamaan kepada masyarakat di Batuputih. Dari berbagai penjuru, terutama dari daerah Batuputih sendiri, banyak orang-orang yang belajar kepada Kiai Mahdari yang baru saja pulang dari pondok. Kabar terkait keberadaan seseorang yang baru pulang dari pondok, ditambah lagi telah membuka suatu majlis taklim (surau), tidak sedikit orang-orang yang datang untuk belajar kepada Beliau.
Kiai Mahdari yang kharismatik, berwibawa, serta penuh dedikasi, menjadikan Beliau terkenal dan mahsyur dalam sekejab. Sebagian dari mereka (orang yang menimba ilmu kepada Kiai Mahdari) ada yang sampai bermukim atau menetap di surau yang didirikan oleh Beliau. Maka kemudian berkah kerja sama dengan masyarakat sekitar, dibangunlah pondok sederhana, terbuat dari bahan kayu, serta dinding bambu yang masih dapat dilewati hembusan angin. Tetapi kondisi tersebut tidak menghalangi semangat dan komitmen santri untuk tetap menimba ilmu (agama Islam).
Terkait dengan kharisma Kiai Mahdari, seorang murid pertama Beliau, Moh. Subki, mengatakan, “Kiai Mahdari itu sangat wibawa, kharisma. Mau lewat di depan rumahnya saja sangat sungkan,” demikian menurut Moh. Subki pada suatu waktu saat berbincang tentang Kiai Mahdari.
Seturut berjalannya waktu, dari hari ke hari, perkembangan lembaga surau semakin mengalami kemajuan. Maka kemudian dimulai proses pembelajaran formal dengan nama madrasah Darul Ulum. Madrasah yang ada di Desa Batuputih Kenek, Batuputih, Sumenep ini termasuk pembaga madrasah yang pendahulu. Sebelum ada madrah-madrasah lain di sekitar desa itu, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Ulum telah dulu berdiri. Sebuah bangunan madrasah berdiri dengan kokoh. Meski masih sangat sederhana, tidak ada mebeler yang dimiliki, siswa duduk di lantai berdebu, tetapi madarsah tersebut telah berkontribusi signifikan terhadap sebuah proses pengajaran. Khususnya pembelajaran dasar-dasar keislaman yang menjadi ciri khas sebuah madrasah.
Kiai Mahdari mengajarkan materi kemadrasahan tanpa adanya gaji atau honor. Akan tetapi Beliau mengajar semata-mata untuk mengabdi dan hanya untuk mengharap ridha Allah swt. Dan itu berlangsung hingga beberapa tahun lamanya. Hingga pada suatu kesempatan, Kiai Mahdari mencoba peruntungan untuk mengikuti tes Calaon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan berbekal ijazah PGA (Pendidikan Guru Agama), setingkat sekolah menengah, Beliau mendaftarkan diri dan ikut seleksi.
Jalan takdir Kiai Mahdari ternyata ada pada pengabdian keguruan. Jika kemudian Beliau diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama Islam, itu merupakan kelanjutan kesibukan kiai yang kharismatik ini untuk tetap bergelut dengan pengajaran dan pembelajaran.
Mengabdi di pemerintahan serta mengurusi lembaga madrasah yang telah dirintis sejak awal menjadi linier dan saling memberikan kemanfaatan serta bersinergi. Jika akhirnya di MI Darul Ulum dibantu oleh keponakan-kepobakan Beliau yang dianggap mumpuni dalam memberikan pembelajaran, itu merupakan bagian dari kesuksesan ilmu yang Beliau ajarkan. Penulis juga mengabdi di madrasah ini hingga saat ini.
MI Darul Ulum awal berdirinya hanya berupa sebuah surau yang sangat sederhana. Sehingga sulit melacak, kapan tanggal berdirinya lembaga pendidikan tradisional ini. Kemudian, seiring berjalannya waktu, terbentuklah Yayasan Darul Ulum yang menjadi titik balik berdirinya madrasah dengan legalitas formal. Tentu saja madrasah ini masih sangat sederhana. Tanpa adanya tempat duduk, bahkan lesehan di atas lantai semen yang berdebu. Sehingga kondisinya sungguh memprihatinkan. Tetapi bagi salik (penuntut ilmu) hal tersebut bukan halangan untuk tetap teguh dan sabar meski dalam kesahajaan.
Ada banyak hal yang menjadi kenangan antara Kiai Mahdari (saya memanggilnya Anom —Paman— karena Beliau adik kandung dari ibu saya) dengan penulis, seperti dasar-dasar ilmu nahu, kaidah tauhid, ilmu fikih, dasar-dasar salat, dan lain sebagainya. Bahkan dasar Bahasa Inggris pernah Beliau ajarkan kepada penulis. Dan yang sangat tidak dapat dilupakan, ketika penulis mengungkapkan untuk ikut ujian CPNS.
“Nom, saya mau ikut ujian CPNS,” kata penulis saat itu.
“Sudah daftar?” Kiai Mahdlari seakan tidak percaya. Karena penulis sebelumnya tidak tertarik untuk menjadi PNS.
“Sudah dapat nomor peserta, Nom.”
“Kalau begitu, jangan lupa qiyamul lail, salat tahajud, dan ikhtiar yang maksimal.” Demikian Kiai Mahdari memberikan nasihat saat itu dalam sebuah perbincangan santai. Dan, Alhamdulillah, penulis sukses menjadi PNS meskipun saat pengumuman kelulusan Beliau sudah menghadap Allah swt.
Setelah melalui perjuangan yang melelahkan untuk menciptakan disiplin pendidikan madrasah, maka pada Hari Kamis, 26 Januari 2006, Kiai Mahdari menghadap kepada Allah swt. Mendung kesedihan bergelayut di atas ufuk. Ketika ribuan pelayat tumpah ruah mengantarkan kepergian pejuang pendidikan madrasah ke peristirahatan terakhir. Air mata peziarah tidak dapat dibendung, mengingat Kiai Mahdari adalah guru yang digugu dan ditiru. Beliau telah menanam benih akhlaqul karimah kepada banyak orang. Semoga Kiai Mahdari di alam sana mendapat tempat yang layak serta mendapat ampunan dari Allah swt.
Kiai Mahdari bin Mutammam memang telah pergi. Tetapi nilai-nilai pendidikan yang Beliau tanam masih terpatri kuat di sanubari murid-muridnya. Perjuangan yang tidak mengenal lelah, melahirkan dasar-dasar kemadrasahan yang lekat dalam jiwa-jiwa generasi bangsa.
Kini, MI Darul Ulum yang dirintis Kiai Mahdari masih berdiri kokoh. Masih ditambah lagi dengan RA Darul Ulum dan MTs. Darul Ulum. Itu semua merupakan warisan dari perjuangan Kiai Mahdari yang yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Berkelindan dalam dunia pendidikan madrasah yang akan terus ada hingga waktu yang entah.
Wallahu A’lam bis-Showab!