Kisah ini saya dengar langsung dari KH Tsabit Khozin. Selagi Beliau masih muda, sekitar umur 20-an atau lebih sedikit, persaingan ilmu kanoragan atau ilmu kejunelan (kekebalan?) begitu marak dipelajari oleh kalangan terbatas. Termasuk kalangan terbatas adalah KH Tsabit Khazin dan KH A Warits Ilyas. Kedua kiai muda ini mempelajari ilmu kanoragan untuk menjaga diri atau benteng diri sendiri.
Sebagai pemuda, darah mudanya ingin menunjukkan eksistensi diri. Menasbihkan diri bahwa mereka berdua (KH Tsabit Khozin dan KH Warits Ilyas) memiliki keilmuan lain dari yang lain. Eksistensi diri menyebabkan antara Kiai Tsabit (sebagaimana yang Beliau sampaikan sendiri kepada saya) dan Kiai Warits terjadi persaingan dalam ilmu kanoragan. Ilmu bela diri dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Persaingan adu ilmu kanoragan hingga menyebabkan perseteruan untuk menunjukkan siapa yang unggul di antara Beliau berdua.
Suatu ketika, perseteruan sudah sangat memuncak. Di antara ilmu kanoragan yang dimiliki Kiai Tsabit adalah bulu kulit lengannya bisa berubah menjadi duri yang tajam yang, jika dihantamkan ke musuh, akan menyebabkan petaka. Tentu saja hal ini akan terjadi jika musuh tidak punya ilmu kanoragan lainnya sebagai bentuk perlawanan.
Adapun, sebagai “musuh”, K Warits tidak tinggal diam dan bersiap untuk menerima tantangan yang sebenarnya dari kerabatnya sendiri. Tetapi begitulah di usia remaja, eksistensi diri menjadi pengabaian terhadap kenyataan hubungan keluarga.
“Saya dan Warits sudah saling berhadapan untuk unjuk kebolehan dalam ilmu kanoragan,” demikian Kiai Tsabit menceritakan persaingannya dengan kerabatnya, Kiai Warits. Tetapi, pertempuran kanoragan itu tidak sampai terjadi. Sebab, dari arah kejauhan ada KH A Bashir AS yang melihat pertengkaran keduanya. Kiai Bashir pun bergegas menghampiri keduanya, dan dengan sekali hantam, Kiai Tsabit terpental dan tidak berdaya dengan pukulan Kiai Bashir. “Kanoragan saya tidak ada apa-apanya di hadapan Paman Bashir,” demikian Kiai Tsabit menuturkan kejadian masa mudanya sambil tertawa ringan.
Di lain kesempatan, masih terkait dengan Kiai Tsabit yang diceritakan langsung oleh Kiai M Faizi dalam sebuah kesempatan. Bahwa pohon sawu yang ada di area Pesantren Annuqayah semula tumbuh lurus ke atas. Tetapi kemudian miring/condong ke arah timur (ondhung dalam bahasa Madura) karena diraih dengan tangan kosong (epanggu’ dalam bahasa Madura) hingga condong ke arah timur. Pohon tersebut diperlakukan sedemikian dalam keadaan sudah besar. Secara logika atau dengan tangan biasa tidak akan mungkin terjadi. Namun dengan keilmuan (karomah) Kiai Tsabit, hal yang tidak logis dapat terjadi.
Itulah kisah kanoragan yang terjadi di masa muda sebagian pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah (kususnya Kiai Tsabit Khozin dan Kiai A Warits Ilyas). Kisah tersebut menjadi indikasi bahwa ilmu yang dimiliki oleh para pengasuh bukan hanya sebatas ilmu sosial kemasyarakatan. Namun ilmu-ilmu lainnya, kanoragan atau bela diri, juga dipelajari demi membangun benteng diri sendiri dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini, bahwa ilmu bela diri dipelajari untuk kemaslahatan. Di atas langit ada langit, dan ilmu yang kita pelajari untuk kebaikan bukan buat kesombongan. Wallahu A’lam!
Note: Seperti yang diceritakan oleh Abdurrohim Elsanie (alumnus Pesantren Annuqayah) kepada penulis.