Kisah Lelaki Sunni di Kota Syiah

313 kali dibaca

“I just wanna cry…”

Kelakar Iqbal sembari tersendu-sendu saat tetiba seorang wartawan mencegatnya dalam Ziarah Arbain di Iraq akhir 2023. Bagi Iqbal Aji Daryono, turut hadir pada Ziarah Arbain, atau Arbain Walk merupakan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan olehnya.

Advertisements

Pasalnya, dengan turut serta pada Ziarah Arbain, Iqbal mendapatkan sudut pandang baru tentang pemahamannya terhadap Syiah. Salah satu golongan umat Islam yang membela kubu Syaidina Ali saat terjadi polemik besar dengan kubu Muawiyah.

Sekilas tentang aliran Syiah. Aliran tersebut masih mendapatkan stereotip miring di Indonesia. Mendengar Syiah, orang akan langsung menilai bahwa mereka adalah  aliran Islam sesat karena terkenal dengan ritual-ritualnya yang mengerikan, misalnya memukul-mukul badan hingga terluka untuk mengenang kesyahidan Imam Hussein, belum lagi sempat viral gerakan salat aneh-aneh orang Syiah, bahkan di titik ekstrim aliran Syiah dianggap tidak mengakui kenabian Baginda Muhammad SAW. Sebab lebih memilih 12 imam besar sebagai junjungan tinggi.

Namun, setelah Ziarah Arbain itu, Iqbal mendapat pemahaman yang terbalik dari yang ia dengar selama ini. Bahwa dalam Ziarah Arbain sama sekali tak ada orang menyakiti diri hingga luka-luka, tak ada orang salat dengan cara aneh, bahkan panji-panji yang dibawa oleh orang Syiah pun menuliskan kata Nabi Muhammad sebagai nabi mereka.

“Apa yang salah di sini?”

Begitu kiranya pikiran Iqbal saat memandang berjejal manusia di jalur Najaf hingga Karbala. Sebab Ziarah Arbain –meminjam istilah Iqbal—merupakan long march terbesar dan terpanjang di dunia. Karena dalam ziarah itu kurang lebih 45 juta orang lebih berkumpul, berdesakan, berjalan di bawah panas terik 40-46 derajat Celcius untuk mengenang kesyahidan Imam Hussein yang terbantai pada peristiwa Karbala menghadapi tentara Yazid bin Muawiyah.

Dalam bukunya ini, Iqbal setidaknya telah menjawab bahwa anggapan yang selama ini kita terima tentang orang Syiah sepenuhnya keliru. Membaca buku Lelaki Sunni di Kota Syiah adalah langkah yang  tepat untuk ikut menengok khazanah aliran Syiah supaya tak salam paham.

Keunggulan Buku

Lepas membaca buku terbaru Iqbal Aji Daryono. Peresensi menemukan beberapa hal penting  yang patut dituliskan di sini untuk sejenak mengakui, seri buku travelling Iqbal ini amat mengejutkan.

Pertama, Iqbal memoles ceritanya dengan story telling yang apik. Tak dimungkiri, buku Iqbal sebelumnya dengan judul Sapiens Di Ujung Tanduk (Bentang Pustaka, 2022) meledak di pasaran. Gaya tulis yang diusung Iqbal memang menyentil dan runut sehingga menarik pembaca untuk “nagih”, mau membaca tak mau berhenti. Bahasa-bahasa Iqbal, jika peresensi berpendapat, kiranya bermodel ala-ala seorang bapak yang ngecewes di tongkrongan. Sesulit apapun topik yang diangkat, namun jika seorang Iqbal yang menuliskan maka tiada yang susah dipahami di situ.

Kedua, tambahan visual yang cukup meyakinkan. Saat peresensi menghadiri diskusi buku Lelaki Sunni di Kota Syiah dengan pembicara Iqbal sendiri di situ (Jogja Art & Book Fest 2024), ia mengungkapkan bahwa seri book travelling baiknya ditunjang dengan gambar, sebab hal itu akan membuat tulisan jauh lebih hidup dan mengena. Foto-foto yang dijepret Iqbal ala kadarnya membuat gambaran pengalaman Ziarah Arbain lebih bisa tervisualkan. Di satu sisi, ini adalah langkah Iqbal untuk menjawab bahwa apa yang dituliskan olehnya itu pure experience tak mengada-ada.

Ketiga, buku ini menjadi highlight bagi orang-orang yang kecele terhadap aliran Syiah. Sebagaimana disinggung di awal, bahwa citra orang Syiah di Indonesia seperti ulat bulu yang dijauhi mana kala datang menggeliat. Apa yang tertampil di media dengan narasi “beginilah cara orang Syiah salat” telah ikut serta diluruskan oleh Iqbal.

Ia menuliskan pengalamannya sewaktu salat di maukib (tempat singgah jamaah). Tak ada yang aneh di sana, masih pakai takbir, masih pakai rukuk-sujud, masih pakai salam, dan sama persis sebagaimana cara salat orang-orang Sunni. Di sinilah titik temu bahwa media-media itu hanyalah alat pendulang adsense dan viralitas, dengan cara mengkambinghitamkan orang Syiah. Iqbal menyebut, satu-satunya yang berbeda hanyalah penggunaan tanah turbah untuk bersujud. Sebab imam mereka meyakini kesucian dan keberkahan tanah turbah, dan ini diterustradisikan oleh orang Syiah hingga kini sebagai alas sujud.

Kekurangan Buku

Pertama, Iqbal kurang bisa menggambarkan suasana yang memikat, utamanya penggambaran cuaca. Tulisan Iqbal masih kurang bisa membawa narasi untuk memantik pembaca hanyut dalam suasana. Ini tentu berbeda dengan Agustinus Wibowo dengan buku terkenalnya Titik Nol (2013). Iqbal sendiri mengakui bahwa penulis book traveller terbaik masih dipegang oleh Mas Agustinus Wibowo. Sebab gaya Agustinus ala-ala novel dan penuh aksi, dan itulah yang absen dari buku Iqbal kali ini.

Kedua, ukuran buku yang tidak nyaman. Buku yang diterbitkan oleh Mizan pada Januari 2024 ini memiliki dimensi ukuran 21 cm x 21 cm terkesan terlalu lebar. Untuk penataan di rak pun akan terlihat menonjol sendiri sebab jarang ditemui buku dengan ukuran semacam ini.

Ketiga, buku ini hampir-hampir mirip dokumenter karena banyak gambar di situ. Di sini pula Iqbal mengakui bahwa pada mulanya pengalamannya Ziarah Arbain tak diniatkan untuk dibukukan. Namun karena dorongan dari klien penerbit maka Iqbal terpaksa harus menuliskan, hitung-hitung proyek cuanisasi. Oleh karenanya pembaca tak perlu heran jika buku ini akan dipenuhi oleh gambar-gambar untuk setiap bab yang dimuat oleh Iqbal. Buku dengan gambar memang bagus, namun kembali ke wejangan lama bahwa apapun yang berlebihan tidaklah baik.

Data Buku:

Judul                : Lelaki Sunni di Kota Syi’ah: Kisah Perjalanan Ziarah Arbain dari Najaf hingga Karbala
Penulis             : Iqbal Aji Daryono
Tebal               : 192 halaman; 21 Cm/21 Cm/0 Cm
ISBN               : 978-602-441
Penerbit           : Mizan

Multi-Page

Tinggalkan Balasan