Populer dengan sapaan Mbah Syathori, KH Abdullah Syathori adalah sosok ulama terkenal di wilayah Cirebon yang merupakan santri kinasih Mbah Hasyim atau KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai santri didikan Mbah Hasyim, Mbah Syathori merupakan ulama yang mengedepankan keharmonisan masyarakatnya.
Di desa Arjawinangun, Corebon, Mbah Syathori dikenal sebagai perintis Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon yang berdiri pada tahun 1930. Saat itu, Mbah Hasyim pernah mengatakan, “Arek-arek Cirebon, Indramayu, lan liyan-liyane yang ndak sempat ngaji marang aku, kono kae marang Syathori.” (Anak-anak Cirebon, Indramayu, dan lain-lainnya yang tidak bisa ngaji pada saya, silakan ngaji kepada Syathori).
KMbah Syathori lahir di Dusun Lontang, Desa Panjalin, Majalengka tahun 1904 dari pasangan KH Syanawi dan Ny Hj Arbiyah. KH Syanawi merupakan seorang penghulu dan perintis Pondok Pesantren Dar al-Tauhid. KH Syanawi merupakan putra dari Kiai Abdullah yang merupakan salah satu putra dari Sultan Raja Qomaruddin II, yang pada ujung silsilahnya bermuara pada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Menurut sejarah, latar belakang pendidikan Mbah Syathori sangatlah berwarna. Mbah Syathori pertama kali belajar di pesantren di Kuningan pada KH Sobari, setelah itu di Pesantren Babakan Ciwaringin pada Kiai Isma’il bin Adzra’i bin Nawawi dan Kiai Dawud, yang merupakan murid dari Syaikhina Kholil Bangkalan. Dari sini, Mbah Syathori ke Pesantren Jamsaran Solo pada Kiai Idris. Selain itu, dari Madrasah Mamba’ul Ulum Solo, Mbah Syathori mendapatkan ijazah formal, namun di kemudian hari ijazah tersebut sengaja dibakarnya. Hal ini dilakukannya dengan tujuan agar tidak mengurangi keikhlasan dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Terakhir, Mbah Syathori mondok di Pesantren Tebuireng pada KH Hasyim Asy’ari.
Pada saat nyantri di Tebuireng, atas imbauan Mbah Hasyim, Mbah Syathori dipercaya untuk mengajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Di antara muridnya adalah Kiai Muhammad Ilyas, mantan Menteri Agama RI pada zaman Orde Lama. Ada juga KH Wahid Hasyim yang merupakan putra dari Mbah Hasyim, sekaligus juga Menteri Agama RI.
Kekaguman Mbah Hasyim tak hanya sampai di situ. Bahkan, Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud menikahkan Mbah Syathori dengan salah seorang putrinya. Namun, Mbah Syathori menghindar dengan cara bermain bola, salah satu permainan yang sangat kurang disukai oleh KH Hasyim Asy’ari.
Dalam cerita yang populer, Mbah Syathori digambarkan sebagai ulama sekaligus penggerak warga setempat, khususnya di Arjawinangun. Mbah Syathori memiliki karakter yang merakyat. Dalam keharmonisan masyarakat Arjawinangun, Mbah Syathori merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh. Salah satu kebiasaannya, ketika sepulang dari salat Jumat, setiap ada pintu warga yang terbuka Mbah Syathori mengetuk pintu dan mampir sejenak hanya untuk ngobrol-ngobrol dan bersilaturrahim.
Kedekatan Mbah Syathori dengan komunitas agama lain juga tergambar pada kedamaian dan keharmonisan dalam perbedaan agama masyarakat Arjawinangun. Di mana letak bangunan gereja yang berhadapan langsung dengan vihara dan antara jarak keduanya tidaklah jauh dari masjid besar Desa Arjawinangun. Bangunan tempat-temoat ibadah tersebut masih berdiri kokoh sampai saat ini.
Selain itu, ketika bulan puasa tiba, Mbah Syathori tidak menolak masyarakat Tionghoa Arjawinangun yang kerap memberikan ta’jil kepada para santri. Hemat saya, dakwah yang dikembangkan oleh Mbah Syathori menerapkan metode dakwah yang paling menyentuh (ablagh), karena dibutuhkah kelapangan psikologis dan teologis serta rasa toleransi yang sangat tinggi untuk bisa bersikap seperti itu.
Bahkan ada cerita menarik datang dari kalangan Tionghoa yang ahli dalam pengobatan, yang dalam proses pengobatannya mereka tidaklah aneh dan rumit, melainkan hanya dengan membacakan ayat suci Al-Qur’an yang diberikan oleh Mbah Syathori. Bacaan itu memang mereka minta untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit. Dan, ketika itu Mbah Syathori pun tidak memaksa kepada mereka untuk meyakini keyakinannya, namun hebatnya apa yang diberikan Mbah Syathori sangatlah ampuh.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, Mbah Syathori justru menyekolahkannya di sekolah umum, yang mana masyarakat nonmuslim juga sekolah di situ. Sehingga, tak heran sikap merakyat dan terbuka Mbah Syathori menurun kepada anak cucunya. Salah satunya adalah KH Husein Muhammad, sosok ulama feminis Indonesia, yang merupakan cucu dari Mbah Syathori. Kiai Husein dikenal sangat aktif dan progresif mengenai hal yang berkaitan dengan plularisme, dan kerap hadir dan mengisi dalam dialog antaragama.
Masa hidup Mbah Syathori dihabiskan dengan mengajar di pesantren yang didirikannya. Dalam mendidik santri, Mbah Syathori dikenal sangat teliti. Bahkan, Mbah Syathoritidak akan keluar dari kelas sebelum para santri memahami apa yang diajarkan. Selain, mendedikasikan masa hidupnya dengan menggeluti kitab kuning, Mbah Syathori juga aktif dalam ranah sosial dan politik. Mbah Syathori terlibat aktif di NU pada tahun 1950-an hingga 1970-an, dan pernah menjadi Syuriah Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama.
Mbah Syathorijuga dikenal dengan langkah-langkah khusus dan progresifmya, yang sekarang dikenal dengan istilah pemberdayaan perempuan. Pada masanya, Mbah Syathori rutin menyelenggarakan pengajian keagamaan yang khusus bagi kaum perempuan. Saat hampir seluruh kiai Se-Cirebon mengharamkan penulisan Al-Qur’an dengan kapur tulis, dengan alasan khawatir bekas debunya terinjak-injak setelah dihapus, Mbah Syathori justru membolehkan dan melakukannya.
Dengan sosok dan kiprah seperti itu, sangatlah wajar masyarakat menangisi kepergiannya. Mbah Syathori wafat pada hari Kamis, 6 Februari 1969 M. Saat itu, Arjawinangun bak lautan manusia, sebagai ungkapan kesedihan masyarakat dengan menghantarkan kiai tercintanya ke maqbaroh. Dan, untuk mengenang beliau salah satu pesan Mbah Syathori yang menjadi pedoman para santri Dar al-Tauhid sampai detik ini adalah “sing wekel nyekel, sing belok nyaplok”. Al-fatihah untuk Beliau.
Sumber bacaan:
Farihin, Rosidin, dkk. “Jaringan Ulama Cirebon Abad ke-19 Sebuah Kajian Berdasarkan Silsilah Nasab dan Sanad. Jurnal”. TamaddunVol. 7, No. 01, Juli 2019: 14.
Dzikroyat Pondok Pesantren Dar al-Tauhid tahun 2024.
Novianti Fuji. Dakwah Dalam Pluralisme Beragama. JURNAL ALMISHBAH: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi Vol. 17. No. 1: 89.
Murid Mbah Hasyim bertebaran dengan kualitas keagamaan yang sangat munpuni. Mantap,,,👍👍👍