Kisah Sepotong Bibir

20 views

Sepotong bibir adalah lambang bagi perempuan. Katamu suatu kali. Sebab itu, akhirnya aku berencana memoles bibir ini dengan gincu paling langka di dunia. Hingga kau dapat terperangkap dan tidak bisa lepas dariku. Kini, kegemaran baruku hanya ada dua: selain ranjang, juga tempat rias.

Hanya di siang hari, kau akan tampak lebih menyenangkan aku pandang. Siang hari bagiku adalah pelengkap dari keping-keping kesedihan. Sebab malamnya, aku hanya rubah betina yang meringkik dalam pelukan orang-orang. Tetapi tak mengapa. Sungguh tak mengapa. Sebab mencintaimu sepanjang siang sudah cukup melegakan.

Advertisements

***

Sebuah siang jatuh dari bibir bus jurusan balai kota dan singgah di pinggir jalan Parangtritis. Sedari tadi, bus tersebut merayap, lagu dangdut dari sebuah kumpulan puisi seorang penyair berdendang menguasai ruang. Sedikit pengap memang, sebab kota ini, mungkin juga kota-kota lain, diserang hawa panas. Lelehan matahari jatuh, gerutu orang-orang. Dan aku, sewaktu itu, hanya bersandar dekat jendela lalu mengingat banyak hal.

Sebagai perempuan tanggung yang tersekap belasan tahun di sebuah tempat yang biasa orang-orang normal sebut rumah, merasa terkesima. Betapa jejeran gedung menjulang-rendah, sekumpulan orang bercakap, anak-anak bersepeda pulang sekolah, penjaja es buah, dan beberapa hal yang tak pernah aku lihat selain dari layar kaca televisi, nampak melintas.

Dengan sedikit gugup aku turun di jalan ini, mengekor seorang nenek yang membawa bakul kecil berisi ikan-ikan segar. Aku tebak ia tiba dari pasar entah di mana. Sungguh, aku terharu sekaligus bimbang. Ini kali pertama aku menjejalkan diri di luar rumah. Lepas dari kenyataan buruk dan menyedihkan yang berulang-kali menimpa.

Aku terharu. Sebetulnya aku tidak ingin mengingat, tetapi aku tahu, jika tidak aku ceritakan pengalaman buruk ini, pembaca akan kebingungan dan merasa cerita pendek ini membosankan. Maka setidaknya, aku memaksa –tentu setelah berdebat lama dengan si pengarang cerita, untuk menceritakan hal menyedihkan dari hidupku.

***

“Sebaiknya, kau diam. Dan berlatih menikmati. Permainan ini tidak buruk, bukan? Setidaknya kau merasa nyaman,” ujar bapak. Dia baru saja membuka pintu lalu menyeret kursi kecil dekat jendela. Matanya, nampak gelap. Dia menyulut rokok pertama-kedua-ketiga sambil sesekali memandangiku. Sedetik kemudian menoleh ke jendela dengan tatapan kosong. Lalu bergumam lagi, “Seperti yang ibumu lakukan dulu, hanya seperti itu.”

Jadi aku berupaya diam. Ia kini sumringah tersenyum. Lalu mengangguk ganjil. Segera setelah itu, seperti biasa, aku lucuti sendiri pakaian satu-satu hingga hanya menyisa kutang dan celana dalam. Pembaca dapat menebak apa yang terjadi setelahnya. Kejadian menjijikkan dan tak elok jika dibaca khalayak. Tetapi tentu, setelah sekian jam dan bapak keluar ruangan, aku hanya merangkul lutut. Termangu dan menatap kosong.

Ruangan ini, dulu adalah ruangan paling menyenangkan dalam rumah. Biasanya, di pojok samping dekat jendela, ada kursi empuk tempat ibu biasa merajut. Sungguh, seperti orang miskin lainnya, ibu menekuni apa yang dapat ia lakukan dengan telaten. Juga dengan harapan sederhana: segera selesai, dan dapat dijual.

“Jika rajutan ini laku, kau ingin apa Asti?” Sambil tetap merajut dan sesekali membetulkan posisi kacamata, Ibu berucap, “Apakah kau ingin sesuatu? Bagaimana jika kita nanti ke pasar Beringharjo dan membeli dua potong sayap ayam?” Ia berhenti merajut, lalu menoleh padaku.

Sedari tadi aku berjalan jinjit agar kedatanganku tak diketahui ibu. Sebab ini hampir petang. Dan aku selalu khawatir, jika pulang petang akan dimarahi seperti waktu bocah dulu. Tapi, bukankah kau masih bocah? tegur hatiku. Tapi pikiranku menolak, sebab aku sudah memiliki pacar. Seketika, pipiku merona. Lalu yang terucap dari bibirku hanya, “Duh, padahal baru ketemu, Sukab kasihku, kenapa sudah merindukanmu lagi?”

Tiba-tiba ibu mengulang pertanyaan, “Kau kenapa Asti?” dengan dahi mengkerut. Aku sedikit tersentak lalu cengengesan. Lalu dengan riang menghampiri ibu dan bergelayut di pahanya.

Ibu dengan tenang membelai rambutku. Sambil mendongak ke arah ibu, aku ingin membicarakan Sukab kepada ibu, tapi urung. Dan ibu berdesis kecil kemudian bergumam. Sebuah gumaman yang lekat aku kenang, hingga sekarang.

“Asti, betapa bibirmu, adalah sepotong bibir paling indah dunia.”

“Ya, sangat indah, Asti. Kelak, bibir itu jika tak kau jaga benar, akan mencipta petaka.”

“Benarkah, Ibu? Berarti mirip bibir Ibu ya?” tanyaku, cepat-cepat.

Ibu hanya tercenung, lama. Setelah itu melempar pandang ke jendela luar. Ke petang malam.

***

Jalan Parangtritis siang hari sedikit ramai. Aku tak bisa menduga banyak hal. Sebetulnya, setelah sekian tahun tak keluar rumah, aku sudah menjadi orang penakut. Sedikit kikuk. Dan sangat jarang berkomunikasi selain mengangguk dan menggeleng. Tentu. Tetapi parasku mesti menyangkal itu. Meski mataku ada cekung hitam sebab kebanyakan menangis, tetapi bibirku, ah bibir yang dikatakan ibu dulu sebelum ia meninggal terkena penyakit tuberkulosis menyedihkan, semakin merah menggoda juga menggairahkan.

“Tetapi, aku membenci bibir ini. Merah marunnya, merah yang mengantar malapetaka,” desis batinku, tidak terima.

Sekarang, meski aku pergi dari rumah, pakaianku ternyata cukup menyita perhatian orang-orang. Agaknya, dres oranye dengan renda ungu muda bertabur manik-manik bintang malah menyamarkanku sebagai pelarian. Kau seperti pelancong, Asti. Sungguh! Puji batinku kemudian. Tetapi, aku tak merasa apapun, apalagi tersipu. Batin ini, kadang-kadang memberi pesan aneh dan menyebalkan soalnya.

“Mbak, panas-panas gini mau ke mana? Saya antar boleh?” Begitu ucap seorang lelaki, dengan jaket hijau tersenyum di bawah pohon beringin, pada sisi jalan.

Sedang aku, hanya menunduk sambil terus berjalan.

“Jangan menoleh, Asti. Jangan. Lelaki itu pasti hanya ingin mengenalmu. Menggodamu. Lalu berusaha mengambil-alih sepotong bibirmu,” begitu ucap batinku seketika.

Aku menggeleng sedikit, berusaha menghargai.

“Asti! Jangan bersopan-sopan dengan orang asing. Ingat bukan, apa yang ibumu dulu pesankan?” begitu sergah batinku sengit.

Akhirnya, aku berusaha mempercepat langkah. Menuruti saja apa yang batinku katakan. Sebab, sungguh aku merasa capai. Perjalanan ini, rasanya melelahkan dan membuat kantuk terus menyerang. Padahal, ini masih siang. Matahari tetap menyengat. Tetapi, aku merasa, setelah belasan tahun tak keluar rumah, dunia bergerak terlalu cepat. Dan bahkan imajinasi paling liar diriku sekalipun tak mampu menjangkaunya. Dulu aku mengira, ketika diperbolehkan menonton televisi oleh bapak, apa yang ada di layar kaca hanya fiksi belaka. Memikirkan hal itu, membuat tubuhku limbung.

Pembaca yang terhormat, jika akhirnya kalian sampai di paragraf ini, aku sedang duduk di bangku kecil tukang sate yang belum buka. Aku pandangi terus muka jalan. Orang-orang berkendara yang saling salip-menyalip, seorang orang tua mendorong gerobak, juga beberapa pejalan kaki yang terburu-buru sekali. Tetapi kalian tahu? Mata mereka selalu mengarah padaku. Aku merasa dicurigai. Aku merasa, mereka mata-mata bapak. Aku jadi khawatir. Aku jadi takut.

“Jangan khawatir, Asti. Jangan. Meski mereka mata-mata bapakmu sekalipun. Bapakmu tidak akan pernah menemukanmu. Kau sudah pergi, jauh sekali dari kampung. Dari rumahmu. Jangan khawatir, ya,” ucap batinku, menenangkan.

Aku perempuan penurut, ternyata.

***

Sungguh, di jalan Parangtritis ini, ada sebuah kelokan, pada kampung Cabeyan. Di kelokan tersebut ada sebuah sungai kecil. Sungai jernih dengan sebuah jembatan yang mungkin orang-orang pakai sebagai tempat melintas. Tetapi bagiku, sebab aku terpengaruhi cerita pendek seorang pengarang yang karangannya biasa aku baca di ruang tamu rumah, di bawah jembatan tersebut ada sebuah rumah kecil yang jika siapapun masuk, akan pergi ke tempat paling indah dunia.

Menjelang sore, aku mendekati jembatan tersebut. Aku berpikir, jika akhirnya memutuskan masuk ke rumah tersebut, akan meredakan ketakutan dikejar-kejar bapak. Tiba-tiba kau berucap, “Asti, ke sana ya. Kita bercumbu dan senggama. Kita nikmati dunia.”

Tiba-tiba kau berucap pelan pada telinga kiri. Meski begitu, aku bergeming.

“Akan aku pinjam sepotong bibirmu, Asti. Bibirmu yang indah dan sendu itu,” ucapmu tenang dan menghanyutkan.

Aku demikian terperanjat. Ini sudah malam. Matahari jatuh. Tetapi mengapa kini, kau tiba-tiba hadir di depanku menggunakan batik coklat yang memabukkan. Sungguh, aku tak kuasa menolak akhirnya. Sebab, aku pun rindu bersenggama dan menciumi leher jenjangmu.

***

Pembaca yang budiman, setelah Asti meloncat di sungai kecil itu, dan keesokan harinya ditemukan mengambang, sebagai pengarang akan aku ceritakan kejadian tersebut dengan terbuka. Kalian tahu, dua minggu sebelum Asti kabur dari rumah, ia atas bisikan seseorang yang ada di kepalanya sendiri mengambil sebilah pisau dan menikam-nikam bapaknya sendiri yang telah memperkosa dirinya belasan tahun. Ia berseru-seru dengan kata yang tak dipahami siapapun. Sewaktu itu, ketika Ia ditangkap oleh pihak berwajib ternyata banyak gores luka di kemaluan, bokong, dan dada. Ia diperiksa dan dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan.

Pembaca yang terhormat, mayat Asti ditemukan di sebuah selokan kecil dekat Kampung Cabeyan, Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Ia ditemukan pagi harinya dengan tubuh telungkup. Bibirnya mencium batu besar yang mirip wajah laki-laki. Sedang pakaiannya, sobek sana-sini. Dan menurut pengakuan warga sekitar, kemarin menjelang Maghrib ketika orang-orang hendak pulang masjid, ada suara-suara aneh perempuan. Melengking dari sekitar jembatan. Tetapi, warga sekitar tak mencurigai apapun selain berpikir ada hantu penunggu di sana.

Mungkin, jika akhirnya warga sekitar mengerti apa yang diungkapkan Asti malam itu, kira-kira akan seperti demikian, “Akan aku berikan sepotong bibir paling indah di dunia ini padamu, kasihku, tetapi bawa aku ke tempat paling indah dunia. Hingga aku tak merasa cemas lagi, tak merasa cemas lagi.”

Yogyakarta, 2024.

Sumber ilustrasi: sprayedpaint.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan