Kisah tentang Takhta Suci Vatikan

49 views

*Catatan Perjalanan Ki Ageng Ganjur ke Vatikan (3)

Hari ke-2 setelah sarapan pagi, seluruh rombongan Ki Ageng Ganjur (KAG) sudah berada di ruang tamu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Vatikan. Agenda pagi itu adalah courtesy call atau penyambutan dan perkenalan secara resmi dengan Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan, Bapak Trias Kuncahyono.

Advertisements

Setelah dibuka oleh Mas Haryadi, Konselor Politik, Sosial, dan Budaya, kemudian Pak Dubes memberikan sambutan ucapan selamat datang dan perkenalan serta penjelasan mengenai KBRI untuk Takhta Suci Vatikan.

Pak Dubes menjelaskan, KBRI Takhta Suci merupakan kedutaan kecil namun vital dan penting. Hal ini sesuai dengan kondisi dan peran dari negara Vatikan itu sendiri yang kecil namun strategis.

Menurut penjelasan Pak Dubes, luas negara Vatikan hanya 0,44 km persegi (44 ha), dengan panjang 1.045 m dan lebar 850 m. Negara Vatikan berada dalam kota Roma, Italia dengan batasan wilayah meliputi Lapangan Santo Petrus, Kepel Sistina, dan Taman Vatikan.

Jumlah penduduk Vatikan sekitar 1000 orang yang berasal dari berbagai negara dengan mayoritas berasal dari Italia. Mereka memperoleh kewarganegaraan berdasarkan “permanent residence” dari pemerintah Italia yang diatur dalam Perjanjia Lateran.

“Karena negaranya kecil, maka tidak banyak yang diurus. Kami tidak menangani urusan ekonomi, pertahanan, atau perdagangan. Di sini kami hanya mengurus warga negara Indonesia yang menjadi biara, pendeta, atau mereka yang sedang melakukan pengabdian sosial di berbagai lembaga sosial dan mereka yang sedang belajar. Lebih banyak menangani urusan akhirat daripada dunia,” demikian kata Pak Dubes berkelakar.

Selanjutnya, beliau mengisahkan perjalanannya dalam bertugas. Meskipun bertugas sebagai Dubes Vatikan, namun sudah berkeliling hampir di seluruh wilayah Italia. Sebab, yang diurus adalah para rohaniawan yang tersebar di seluruh wilayah Italia.

Dikisahkan, banyak para bruder, frater, dan biarawan yang terharu saat menerima kunjungan Pak Dubes. “Mereka menganggap kami seperti orang tua, bahkan banyak di antara mereka yang cium tangan saat bertemu saya. Jadi saya sudah seperti kiai,” kata Pak Dubes sambil tertawa lebar.

Yang mengharukan, lanjut Pak Dubes, adalah saat pentasbihan. Ini adalah peristiwa monumental yang bersejarah bagi seorang rohaniawan. Biasanya dalam acara seperti ini orang tua dan keluarga datang mendampingi. Tapi karena jauh, mereka tidak bisa datang. Maka, ketika Pak Dubes hadir dalam upacara sakral yang monumental tersebut, maka dianggap sebagai orang tua yang mewakili keluarga mereka.

Yang menarik, seringkali para rohaniawan yang dikunjungi memberikan oleh-oleh hasil pertanian yang mereka tanam, seperti kentang, buah-buahan, dan sayur. “Mobil saya sering penuh sayuran dan buah-buahan, oleh-oleh dari mereka yang kita kunjungi,” lanjut Pak Dubes. I

Itulah tradisi masyarakat Indonesia yang selalu guyub, rukun, dan tahu berterima kasih. Tetap terbawa meskipun mereka sudah tinggal dan berada di negeri modern.

Pak Dubes juga cerita tentang sejarah berdirinya negara Takhta Suci Vatikan. Menurut cerita Pak Dubes, negara Vatikan dibentuk pada tahun 1929 melalui Traktat Leteran yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Pemerintahan Takhta Suci Kardinal Pietro Gaspari dan Perdana Menteri Kerajaan Italia, Benito Mussolini. Nama negera Vatikan adalah Stato Citta del Vaticano.

Dalam traktat tersebut dijelaskan bahwa Negara Kota Vatikan diakui sebagai badan politik yang menjamin keberadaan Takhta Suci sebagai institusi tertinggi dalam Gereja Katolik sedunia dan sebagai negara berdaulat dengan nama pemerintahannya Takhta Suci atau Santa Sede. Negara juga disebut dengan The Holy See dengan Pimimpin/Kepala Negara disebut Paus (The Holy Father).

Sejarah panjang Vatikan berakar pada terbentuknya Negara Kepausan (Stato Pontificio) pada pertengahan abad ke-8. Wilayah Negara Kepuasan meliputi seluruh kota Roma yang terbentang antara pesisir Timur dan Barat Italia. Istana Paus terletak di sebelah Basilika Santo Yohannes Leteran, sehingga sering disebut dengan Istana Leteran. Istana ini digunakan hingga akhir abad ke-19.

Beberapa kali Negara Kepausan terlibat dalam konflik politik dan perang wilayah sehingga mengancam eksistensi negara tersebut. Hal ini terjadi pada saat proses penyatuan kerajaan-kerajaan Italia. Pada tahun 1870 Negara Kepausan berakhir, ketika Garibaldi berhasil merebut Roma dan menyerahkan kekuasaan pada Raja Vittorio Emanuelle II. Sejak saat itu Paus Pius IX meninggalkan Istana Leteran, kemudian pindah dan menetap di Istana Vatikan dengan mengurung diri.

Kisah Pak Dubes tentang sejarah Vatikan makin menarik perhatian kami. Mendengarkan kisah sejarah Vatikan pagi itu seperti menemukan mata air peradaban. Kami menggali dan menampung air jernih yang memancar dari informasi yang disampaikan Pak Dubes. Kami menyimak kisah ini dengan antusias dan mencatatnya dengan serius. Suatu sarapan pagi yang bergizi bagi kami.

Melihat kami serius menyimak, Pak Dubes semakin bersemangat bercerita. Dikisahkan, setahun setelah Paus Pius mengurung diri di Istana Vatikan, tepatnya pada 1871, Raja Vittorio Emanuelle II memberikan jaminan kedudukan Paus untuk menempati Istana Leteran dan Castel Gondolfo. Jaminan ini tertuang dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Raja Vittorio. Namun tindakan unilateral ini ditolak oleh Paus.

Pada tahun 1919 pemerintah Itali kembali mengeluarkan “Law of Guarantte” yang isinya mengakui kedaulatan Paus atas wilayah tertentu dan memberi hak untuk menggunakan beberapa gedung yang ditunjuk sebagai bagian dari wilayahnya. Namun tindakan sepihak dari pemerintah Itali ini juga ditentang oleh Paus yang berkuasa pada saat itu, yaitu Paus Benediktus XV.

Sebagai jalan tengah, maka dilaksanakan perundingan. Setelah beberapa kali berunding, pada tahun 1929 berhasil membuat kesepakatan terbentuknya negara kota Vatikan (The Vatican City State). Kesepakatan ini tertuang dalam Traktat Leteran yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari 1929 antara Perdana Menteri Kerajaan Italia, Benito Mussolini, dengan Wakil Perdana Menteri Vatikan Kardinal Pietro Gaspari.

Dalam waktu yang bersamaan ditandatangani pula suatu konkordat sebagai protokol yang menjamin kedudukan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma yang memimpin umat Katolik baik di Roma maupun di seluruh dunia. Sejak saat itu Vatikan adalah negara yang memiliki kedaulatan penuh dan dilindungi hukum internasional dalam hubungan antarbangsa.

Setelah bercerita tentang sejarah negara Vatikan, Pak Dubes juga berkisah tentang hubungan dan arti penting negara Takhta Suci Vatikan bagi Indonesia. Dikisahkan oleh Pak Dubes, Vatikan adalah negara di kawasan Eropa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Saat Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha merebut kembali dengan melakukan serangan fisik dan lobi pada negara-negara Eropa untuk menolak kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1947, secara tegas Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia.

Meskipun negara kecil, namun pengakuan Vatikan ini memiliki arti penting dan strategis bagi Indonesia. Sebab, Vatikan memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi politik dunia, yaitu sebagai pemimpin umat Katolik sedunia. Berkat pengakuan Vatikan dan beberapa negara lain, posisi Indonesia sebagai negara merdeka, semakin kokoh di mata dunia internasional.

Selain sebagai negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, Vatikan juga mengakui kehebatan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Pak Dubes, sejak Takhta Suci menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia tahun 1947, Vatikan sudah terpesona pada Pancasila. Hal ini terlihat pada pernyataan para Paus. Di antaranya, Paus Pius XII yang terpesona pada Pancasila karena menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di tempat yang paling tinggi dan semuanya menyepakati. Paus Pius XII menyebut Pancasila sebagai “jembatan” yang menghubungkan Indonesia dengan Takhta Suci.

Kekaguman terhadap Pancasila dan Bhineka Tunggal juga terjadi pada Paus yang lain. Misalnya, Paus Johanes Paulus II yang berkunjung ke Indonesia pada 1989. Kekaguman Paus Paulus II pada Pancasila ini disampaikan sebelum berkunjung ke Indonesia, tepatnya pada 24 April 1984. Pada saat itu Paus Paulus menyatakan: “Saya memahami azas dasar yang menjadi landasan negara Anda sekalian, Pancasila, yang merupakan khazanah kebudayaan (peradaban dan nilai-nilai luhur) bangsa Anda dan mencanangkan kebebasan beragama di antara hak azasi lainnya.”

Dalam surat yang dirilis dalam rangka memperingati “450 Tahun Kehadiran Gereja Katolik di Indonesia”,  Paus Paulus juga menyampaikan bahwa Pancasila menjamin umat Katolik Indonesia dapat menghayati imannya dengan bebas, dan dengan demikian bersama semua golongan sesama warga negara, bekerja untuk membangun bangsanya.

Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Paus Fransiskus. Menurut Pak Dubes, Paus Fransiskus sangat kagum pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Kekaguman Paus Fransiskus pada Pancasila ini diungkapkan saat memberikan pidato di hadapan uskup dan rohaniawan di Gereja Katedral saat berkunjung ke Indonesia.

Dalam pidatonya, Paus Fransiskus menyampaikan: “Pada saat yang sama Anda sekalian oleh sebah pergumulan untuk mewujudkan persatuan dan kehidupan bersama yang bersatu dan damai seperti yang dicerminkan oleh prinsip-prinsip tradisional Pancasila.”

Demikianlah, para Paus mengagumi Pancasila dan menjadikannya sebagai acuan dalam merawat keberagaman. Mendengar kisah ini semakin kuat rasanya meneguhkan sikap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Tak ada alasan untuk menyia-nyiakan Pancasila apalagi menggantikannya.

Pagi ini kami merasa seperti biji kering yang mendapat siraman air jernih sehingga tumbuh menjadi benih. Kami masih ingin menggali kisah tentang Vatikan, para Paus, dan Pancasila. Tapi kami harus berhenti, karena mobil jemputan yang akan membawa kami pada acara selanjutnya sudah menunggu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan