Tatkala hidup kita semakin menapak taraf lebih tinggi, halangan dan cobaan yang beragam dan beresiko lebih dominan siap menghampiri. Kehidupan laksana sebatang pohon. Terpaan angin saat ia masih kecil tak begitu membahayakan. Tapi, seiring perputaran cakrabuana membuatnya ter-evolusi menjadi pohon yang menjulang rindang, hempasan angin dari berbagai arah terasa lebih mencekam bahkan berpotensi menjadikannya tumbang.
Realita akan aneka ciptaan yang terhampar di lingkungan sekitar, sebenarnya memendam secercah kesamaan dengan pergulatan kehidupan yang tengah kita jalani sekarang. Kesimpulan sejenis ini akan kita tuai, jika kita giat merenungkan fenomena alam dalam rangka memburu pesan Tuhan.
Sebagaimana catatan sejarah memaparkan bahwa merenung ternyata sudah diaplikasikan oleh para filsuf Yunani kuno dengan orientasi mencari kebenaran. Bahkan sang revolusioner dunia, kanjeng Rasulullah SAW ketika berkhalwat di gua Hira` begitu rajin merenungkan keadaan masyarakat Quraisy yang bertambah jauh dari nilai-nilai moral.
Semestinya kita tumbuhkan kesadaran lewat proses perenungan bahwa zaman senantiasa siap menyuguhkan ujian dan rintangan lebih menggetarkan di setiap tahap usia dalam mengarungi kehidupan. Ragam masalah lambat tapi pasti akan menghimpit kita, bermacam tugas dan amanah serta tanggung jawab akan berdatangan menindih kita sehingga aktualisasi usaha ekstra harus kita canangkan untuk mengembannya.
Sepintas diperhatikan, semakin usia kita meningkat sejengkal demi sejengkal, kuantitas urusan di sela-sela keseharian terus menumpuk dan memaksa kita untuk berinteraksi dengannya sebagai langkah penyelesaian tanpa kenal sesi penundaan sehingga ia terkesan sering preventif terhadap kita untuk menikmati kebebasan.
Inklinasi hipotesa ini gemar mengarah pada orang-orang yang berpikir dangkal. Mungkin menurut perspektif mereka, manifestasi kebebasan terpaku pada rajutan kenikmatan. Jikalau statemen tersebut begitu nyata dalam kancah kehidupan, berarti dapat kita petik konklusi bahwa ia merupakan generasi dari paham hedonisme yang pernah bersemayam dalam persepsi sebagian filsuf Yunani terdahulu.
Makna kebebasan tidak terbatas pada apa yang telah diuraikan diatas. Berlandaskan substansi maksud gagasan Dr Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Dasar bahwa semakin kita memberanikan diri menghadapi masalah dan tugas, maka bertambah luas ruang kebebasan kita. Manusia berhak menentukan dirinya sendiri.
Sedangkan, cara yang mampu mengarahkan kita dalam petualangan mencari jati diri adalah tidak menghindar dari mengemban tugas dan bertanggung jawab atas akibat tindakan diri sendiri. Jadi, kalau orientasi kehidupan hanya bertumpu pada upaya menjaring kenikmatan, suatu waktu disaat tugas berat menghinggap, kemungkinan besar bahkan pasti kita akan membiarkannya berlalu ditelan waktu. Perkara ini merupakan aksidensi pecundang, ia tak layak kita sandang, dan semestinya kita bersikap jantan dalam meladeni pluralitas problematika kehidupan.
Sikap tersebut dapat memproduksi sifat pesimis, utamanya berkenaan dengan masalah seperti yang dahulu, kemudian berujung pada wawasan menyempit, akibatnya peluang untuk berkreasi dan berinovasi semakin sedikit. Faktor lahirnya sikap ini biasanya karena prioritas kepentingan pribadi tanpa pertimbangan akan kepentingan orang lain. Kebanyakan tugas ataupun masalah yang kita hadapi ada sangkut pautnya dengan khalayak.
Apabila kita mau mengekskavasi hikmah di balik implementasi tugas dan usaha memecahkan masalah, pasti akan timbul kesadaran bahwa konsekuensi positif semua itu sebenarnya akan bertandang kepada kita sendiri. Konfusius berkata, “Dia yang mau melayani orang lain dengan kebaikan, maka dia telah melayani dirinya sendiri.”
Tanggung jawab terhadap tugas, masalah, akibat perbuatan pribadi, dan amanah yang begitu sering datang silih berganti, setidaknya menyimpan dua manfaat berdasarkan analisis Dr Magnis Suseno. Pertama, sebagai ajang pengembangan wawasan. Aplikasi tanggung jawab dapat mengisi ruang hidup yang dahaga akan hal-hal bermanfaat. Di tengah perjalanan memikul tanggung jawab, kita akan menemukan hal-hal baru yang turut berpartisipasi bagi peningkatan kualitas wawasan. Sehingga sudut pandang dan observasi kita dalam membaca fenomena, problematika, dan peluang yang tersaji di belantara alam semesta menjadi lebih terasah dan mumpuni.
Kedua, ruang lingkup kebebasan bertambah luas dan harapan menemukan jati diri semakin dekat. Manusia bebas menentukan dirinya. Sedangkan, apabila kita terbiasa pesimis menghadapi rintangan, maka persistensi bisa terkikis tatkala rintangan yang sama atau yang lebih berat darinya kembali menimpa. Akibatnya, harapan mencari jati diri hanya bergejolak dalam lamunan, namun tak direalisasikan dalam bentuk tindakan. Jika demikian, kapan kita akan menuai kesuksesan?.
Oleh karena itu, tendensi bahwa kebebasan hanya dapat dirasakan lewat media merengkuh kenikmatan harus segera dinetralisir, supaya kita tak terperangkap jala kontaminasi pemikiran. Segeralah benahi kesadaran bahwa jati diri, cita-cita, dan kebahagiaan hanya mampu kita capai melalui usaha meladeni rintangan serta usaha mengembangkan bakat dan kemampuan. Bukan malah menghindarinya dan hanya tertuju pada apa yang bisa mengundang kenikmatan pribadi saja. Dr Franz Magnis Suseno berkata, “Dia yang mencari diri, tidak akan menemukan dirinya. Sedangkan, dia yang melupakan dirinya demi suatu tugas, cita-cita, dan orang lain, maka dia yang akan menemukan dirinya sendiri.