Seringkali terdengar di telinga kita pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apakah Jawa bisa menyatu dengan Islam? Atau sebalikmya, bukankah Islam dan Jawa adalah dua unsur yang berbeda, di mana Islam adalah agama, sedangkan Jawa adalah salah satu kebudayaan yang di Nusantara.
Begitu banyak orang yang menyangsikan akan validitas dan rasionalitas relasi antara Islam dan Jawa. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis mencoba memberikan penjelasan singkat bagaimana agama dan budaya tidak dapat dipisahkan. Semoga artikel ini mampu menjawab segelintir pertanyaan yang sering terngiang tersebut, utamanya orang yang sedang lagi mendalami agama, pun kebudayaan Jawa.
Sebelum berbicara mengenai dua hal tersebut, alangkah baiknya apabila kita mengetahui dulu bagaimana kosmologi (read: asal usul) akan munculnya kedua hal yang akan kita bahas. Islam, salah satu agama samawi (agama langit) dibawa oleh seorang nabi bernama Muhammad yang diturunkan oleh Allah melalui perantara malaikat Jibril. Sedangkan, kosmologi Jawa belum bisa dipastikan.
Dalam buku Falsafah Hidup Jawa, Prof Dr Suwardi Endraswara mengatakan, sebagian orang Jawa masih mempercayai bahwa dirinya juga keturunan Nabi Adam, Pertama, melalui orang Timur Tengah yang mengembara sampai ke Jawa. Kedua, melalui para dewa dari wilayah Hindustan. Ketiga, dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia, seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan menduduki peran penting dalam kehidupan orang Jawa. Ini menunjukkan bahwa ada nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu, Jawa, dan Islam Jawa yang amat halus.
Ada beberapa teori sebagai refrensi tentang kapan tepatnya Islam masuk ke Jawa. Pertama, teori Gujarat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari pedagang Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim pada sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang asal Persia yang sempat singgah ke Gujarat sebelum akhirnya memasuki Nusantara pada abad ke-13 M.
Itulah beberapa teori yang disampaikan oleh sejarawan. Sementara itu, menurut cerita turun- temurun, masyarakat Jawa lebih memercayai bahwa Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh seorang ulama bernama Syeikh Muhammad al-Bakir yang kemudian terkenal dengan nama Syeikh Subakir.
Awal mula kedatangan Syeikh Subakir ke tanah Jawa disambut tidak dengan ramah, bahkan ajaran yang dibawanya ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Jawa. Lalu, Syeikh Subakir pun memutuskan untuk kembali ke tanah asalnya dan mencari petunjuk dengan cara tirakat di makam Nabi Muhammad SAW.
Dalam tirakatnya, Syeikh Subakir mimpi bertemu Nabi Muhammad, dan diberi petuah agar pada saat memasuki tanah Jawa membaca beberapa ayat dari al-Quran, yakni surat al-Hasyr 21-24. Saat itu, kehidupan masyarakat Jawa masih sangat kental dengan warisan nenek moyangnya berupa kepercayaan animisme dan dinamisme, bahkan pernah dikenal sebagai masyarakat kanibal. Sampai saat ini pun, ayat yang digunakan Syeikh Subakir tersebut dipercayai mampu mengusir jin, karena kandungan mukjizat yang terdapat di dalamnya.
Lalu, Islam di Jawa disebarkan oleh para sunan, diambil dari kata susuhunan yang berarti orang yang diagungkan. Para sunan dalam menyebarkan Islam tidak serta merta langsung mengajak untuk berpindah agama secara eksplisit, akan tetapi harus dengan cara implisit, perlahan-lahan dengan menanamkan substansi dari ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.
Karena masyarakat Jawa sarat dengan pengamalan kebudayaan, maka para sunan pun mencari celah-celah di mana dapat dimasukkan unsur-unsur ajaran Islam. Contoh yang paling simpel adalah metode yang digunakan oleh Sunan Kalijaga, yakni dengan membuat lagu-lagu yang menyimpan makna begitu dalam, seperti lagu Sluku-Sluku Bathok, E Dhayohe Teka, dan Cublak-Cublak Suweng.
Sunan Kalijaga pun juga memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam dunia pewayangan, misal Semar yang dikenal sebagai tokoh wayang yang bertugas memayu hayuning bawana. Ternyata nama Semar diambil dari kata simaar atau mismar yang artinya paku. Paku itu alat yang digunakan untuk mengokohkan barang agar tegak, kokoh, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni Ismaya, yang dalam bahasa Arab berarti asma-Ku, simbol dari kemantapan dan keteguhan.
Lalu, ada tokoh wayang yang bernama Petruk, yang diambil dari bahasa Arab fatruk, berarti tinggalkanlah, Harapannya agar setiap orang mampu meninggalkan kejahatan, atau amar ma’ruf nahi munkar. Juga terdapat seorang tokoh antagonis bernama Togog dari kata arab thogoo, yang berarti durhaka, melampaui batas. Dalam wayang juga terdapat dalang sebagai penggerak semua alur cerita dalam pewayangan, ini merupakan simbol bahwa delam kehidupan semua sudah diatur oleh yang Mahakuasa.
Di sisi lain, para sunan juga menerapkan dakwah dengan cara sederhana, sehingga masyarakat Jawa selaku obyek dakwah tidak merasa terkekang ataupun merasa dibatasi dalam segala aspek kehidupannya. Di sini, para sunan jarang melarang adat yang telah ditetapkan dan diturunkan oleh nenek moyang mereka, melainkan hanya mengubah dan/atau memberi alternatif untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, yang tentunya berseberangan dengan syariat.
Sebagai contoh, sampai saat ini sering kita dapati masjid yang area masuknya terdapat kolam kecil untuk cuci kaki yang berisikan air tidak terlalu banyak, kira-kira hanya serukuran mata kaki. Konsep arsitektur ini sudah ada sejak dulu, yang oleh para sunan dimaksudkan agar orang yang hendak masuk masjid selalu dalam keadaan suci. Karena, pada saat itu orang Jawa masih sedikit yang mengenakan sendal.
Jalan dakwah melalui macapat juga sebagai salah satu media dakwah yang mudah dan menyenangkan yang diterapkan oleh para sunan. Kata macapat sendiri memiliki bermacam-macam makna. Ada yang memaknai bahwa macapat berkaitan dengan cara melagukannya, yakni empat-empat, pemberhentian napas setiap empat-empat suku kata. Ada juga yang menafsirkan bahwa macapat berarti maca cepat (moco cepet: membawa cepat), yang mengalami perubahan sedikit, yakni dari pat menjadi pet (cepet).
Saat itu, macapat ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Jawa, karena macapat berisikan tembang-tembang yang tentunya memiliki banyak makna. Tembang-tembang yang tersebut, misalnya Mijil, Pangkur, Kinanthi, Dhandanggula, Sinom, Asmaradana, Megatruh, Durma, Maskumambang. Setiap tembang dari macapat memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan esensi ajaran Islam.
Itulah sedikitnya beberapa integrasi antara Islam dengan Jawa. Islam sebagai agama yang membaur atau beradaptasi sesuai dengan lingkungan, karena yang terpenting dalam beragama bukanlah bagaimana bersikap seolah-olah beragama, namun menjalankan esensi dari ajaran agama tersebut.
Budaya bukan sesuatu yang harus dipertentangkan dengan agama. Karena cakupan agama begitu luas, maka sudah sewajarnya apabila agama mampu diintegrasikan dengan budaya. Islam memang lahir di Arab, tapi bukan berarti ketika Islam masuk ke Jawa, orang Jawa harus berbudaya sesuai dengan tempat lahirnya Islam. Budaya ibaratkan wadah, sedang Islam adalah air atau isinya.
Maka, bagaimana bentuk wadah tersebut, Islam mampu menyesuaikan bentuk dari wadah yang ditempatinya, sehingga tidak ada pertentangan dari keduanya, kecuali kalau wadah berisi air dimasukkan ke wadah lain yang berbeda bentuk, maka akan ada hal yang kurang pas di antara kedua wadah tersebut. Cara yang benar adalah memindahkan air tersebut, bukan memindahkan beserta wadahnya ke wadah lain. Seperti itulah ibarat antara budaya dengan agama.
Dari paparan tersebut kita bisa metarik kesimpulan, bahwa agama itu bersifat fleksibel, mampu beradaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat di sekelilingnya. Agama juga bersifat tantularistik (terbuka), sehingga tidak ada paksaan dalam agama, sebagaimana firman Allah, laa ikraaha fi addiin. Demikian yang dapat disampaikan oleh penulis, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamin.