Kosmopolitanisme Versus Kesetaraan Gender

42 views

Kehidupan dari masa ke masa pasti mengalami perubahan, seiring berjalannya waktu secara tidak sadar manusia dihadapkan pada kehidupan yang semakin beragam.

Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya membutuhkan manusia lainnya demi keberlangsungan hidup. Keberagaman dalam suatu negara merupakan hal yang lumrah, perbedaan suku, ras, agama, budaya maupun gender akan saling beriringan ketika suatu masyarakat memiliki rasa cinta tanah air, toleransi antar sesama, serta menjunjung tinggi kebersamaan. Baik itu laki-laki ataupun perempuan, baik itu dari kalangan elit ataupun kalangan bawah, dan baik itu penguasa atau rakyat biasa.

Advertisements

Sejatinya, menusia diciptakan sama, yang membedakannya hanyalah tingkat keimanannya kepada sang Kuasa. Akhir-akhir ini publik sedang dihebohkan dengan banyak fenomena, salah satunya yakni perbedaan pendapat, baik itu dari aspek budaya, politik, hingga dari sisi agama.

Yang sering menjadi perbincangan saat ini, tidak lain mengenai adanya wacana kesetaraan gender yang kemudian dikaitkan dengan agama. Banyak kalangan dari tokoh agama yang tidak setuju, sehingga mengakibatkan perdebatan yang sengit antar pemuka. Hingga penyebutan tokoh liberal dilabelkan kepada mereka yang setuju bahkan menyiarkan kesetaraan gender dalam setiap dakwahnya.

Dalam membahas kontroversi yang terjadi pada masa kini antara perbedaan perspektif yang ada, terdapat kosmopolitanisme yang sering dijadikan jalan tengah.

Dalam sejarah peradaban Islam, kosmopolitanisme telah menjadi teori beberapa Abad lalu, yang kemudian dipraktikkan oleh orang muslim melalui penerimaan berbagai wujud budaya dan wawasan global yang datang dari negara lain. Terlihat pada seni arsitektur maupun non material berupa konsep pemikiran tokoh.

Jika wacana kesetaraan gender berhasil masuk dan berusaha mengubah pola pikir masyarakat tentang perempuan, maka kosmopolitanisme membawa teori yang nantinya bersifat Internasional atau global.

Kosmopolitanisme merupakan sebuah ideologi yang menganggap semua manusia berasal dan mempunyai kedudukan yang sama dalam satu komunitas. Kosmopolitan menjadikan identitas global menjadi lebih penting daripada identitas individu maupun identitas nasional.

Menurut Habibullah dengan mengikuti pernyataan Nussbaumm yakni: ide kosmopolitanisme yang diungkapkan oleh Diodeges merupakan konsep pendobrak batas-batas identitas individual dan sosial kemasyarakatan bangsa Yunani dan identitas bangsa-bangsa yang dipengaruhi olehnya (hellenis) ketika itu.

Konsep inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof Stoa (stoisism) dalam sebuah konsep yang menekankan bahwa setiap manusia (human being) hidup dalam dua komunitas, yaitu komunitas lokal tempat seseorang lahir dan juga komunitas di mana argumentasi dan aspirasi manusia secara keseluruhan diakui (Nussbaum, 1997), yaitu sebagai komunitas dunia global.

Jadi, artinya para filosof Stoa memahami bahwa manusia pada dasarnya adalah warga dunia, di mana tugas warga dunia adalah untuk mewarnai dan memaknai setiap lingkaran atau tempatnya menuju terminal yang menjadikan semua manusia lebih sebagai penduduk negerimya sendiri, demikian seterusnya (Nussbaum, 1997) yakni bagaimana seseorang dapat memperlakukan orang lain sebagai saudaranya sendiri tanpa melihat latar belakang budaya, etnis, dan gender serta identitas yang melekat dalam kemanusiaan lainnya.

Dengan adanya kosmopolitanisme, manusia antar suku, ras, agama, budaya dan gender harusnya memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab dalam menciptakan kerukunan dan persatuan diantara keberagaman yang ada. Menganalisis kosmopolitanisme dengan parameter persatuan dan kesatuan mengenai esensi dan urgensi kebudayaan yang ada dengan budaya luar yang masuk. Kosmopolitanisme lebih mendorong orang untuk memiliki rasa kepekaan terhadap orang lain, yang biasanya disebut humanisme universal, merupakan sintesa dari berbagai nilai dan budaya di dunia.

Dalam budaya Indonesia, telah beragam budaya luar yang masuk kedalam Indonesia,  yang kemudian ditelisik lagi apakah budaya itu baik atau sebaliknya. Bagi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kosmopolitanisme dapat terbentuk ketika semua orang diberi hak kebebasan mengekspresikan pikiran-pikirannya. Dalam tulisan karya Muhammad Ijlal yang berjudul “Gus Dur dan Keberagaman di Indonesia” menyatakan bahwa ciri khas Gus Dur tentang keberagaman, salah satunya adalah penolakan terhadap pemahaman sempit dan ekslusif terhadap agama.

Selama hidupnya, Gus Dur selalu memperjuangkan nilai-nilai keberagaman yang inklusif. Menekankan pada pentingnya menghormati hak-hak minoritas dan melindungi kebebasan beragama. Keberagaman bagi Gus Dur bukan hanya mengenai praktik ritual, namun juga tentang menjaga keadilan sosial dan mengedepankan hak asasi manusia.

Wacana kesetaraan gender yang dikaitkan dengan budaya ataupun tradisi turun temurun yang terjadi di perdesaan, mengakibatkan perempuan tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri sesuai kehendaknya, namun telah dirumuskan oleh masyarakat bahkan orang tuanya sendiri.

Tradisi tersebut memang masih sangat melekat, namun tidak menutup kemungkinan jika kita pertimbangkan lagi dengan realita yang ada. Masa kini telah zaman modern yang tentunya hampir semua masyarakat dapat mengakses media sosial untuk mengakses informasi.

Dengan adanya teori kosmopolitanisme ini, banyak harapan untuk para perempuan serta masyarakat sekitarnya mulai mempertimbangkan nasib perempuan yang tidak semuanya dapat menerima budaya yang ada. Bahwa tradisi perjodohan dan pernikahan dini dapat mengakibatkan ketidakadilan hak-hak kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, angka kematian anak dan ibu, angka stunting semakin hari semakin meningkat karena kurangnya edukasi yang mumpuni oleh pasangan suami istri.

Kosmopolitanisme di sini membawa arus agar menganggap laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia, sama-sama masyarakat dunia dan berhak mendapatkan hak-hak asasi manusia yang relatif sama.

Selanjutnya ketika wacana kesetaraan gender dikorelasikan dengan agama, maka akan banyak pihak yang kontra, khususnya dari tokoh agama. Namun sekali waktu saat dikaitkan dengan realita masa kini, sebagian tokoh berpendapat untuk melakukan tafsir ulang atau rekonstruksi dalil-dalil keagamaan yang mengandung ketidakadilan, contohnya dalil-dalil yang bersifat misoginis (dalil-dalil yang memuat ketidakadilan bagi perempuan).

Dalam aspek ini, kosmopolitasime hadir untuk menjadi jalan tengah. Melalui kosmopolitanisme, seharunya sesama manusia saling menghormati dan menghargai satu sama lain termasuk juga kepada perempuan.

Menurut Gus Dur, sekontroversial apapun pemikirannya, pikiran harus diberi ruang berekspesi. Puncak kosmopolitanisme terbentuk pada saat semua orang bebas mengekspesikan pikiran-pikirannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan