Kriminalisasi Guru, Sistem Boarding School, dan Pesantren

14 views

Dalam sebuah pengantar buku karangan Pierre Riche mengenai sejarah pendidikan di Barat abad pertengahan, Education and Culture in Barbarian West (Sixth through Eight Centuries), Richard Eugene Sullivan, seorang sejarawan Amerika Serikat, mengungkapkan betapa pentingnya sebuah pendidikan. Menurutnya, kelangsungan peradaban bergantung kepada kualitas dan karakter yang dihasilkan oleh pendidikan tersebut.

Ungkapan tersebut masih selaras dengan keadaan hari ini. Guru atau tenaga pendidik memainkan peran penting sebagai pionir pembangunan masa depan sebuah peradaban.

Advertisements

Belakangan ini, dunia maya disesaki oleh pemberitaan terkait profesi guru sehingga melupakan sejenak kelesuan daya beli yang sedang melanda netizen Indonesia. Trending tersebut bukan karena adanya keputusan pemerintah untuk menaikkan gaji sebagai respon terhadap kesejahteraan guru, atau pun prestasi internasional oleh seorang murid yang dididik melalui fasilitas ala kadarnya oleh seorang guru di pelosok desa. Namun, insiden perseteruan antara guru dan wali murid yang telah menyita jari-jemari netizen pada akhir-akhir ini.

Kasus guru olah raga di Wonosobo, guru honorer di Konawe, dan guru agama di Towea menjelaskan adanya gap dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita belum mampu menjamin penerapan nilai kepemimpinan ing madya mangun karsa sebagaimana gagasan Ki Hajar Dewantara.

Dari ketiga kasus yang terjadi dalam lingkup sistem sekolah day school, dapat menyiratkan bahwa implementasi ing madya mangun karsa harus memiliki fundamental basis dari boarding school.

Dengan boarding school, segala gerak-tingkah laku guru dapat menjadi contoh ekslusif kepada murid. Dengan begitu akan terbentuk rasa penghormatan murid terhadap guru yang ditandai dengan melakukan apa yang telah dicontohkan oleh guru.

Oleh karena itu, adagium Hormati Guru, Sayangi Teman menjadi sangat mungkin diterapkan dalam lingkup sistem sekolah boarding school. Di lain sisi, peribahasa Murid Kencing Berdiri, Guru Kencing Berlari dapat digunakan sebagai katalisator wali murid untuk memberikan penilaian atas segala tindakan pengajaran yang diberikan oleh guru kepada murid.

Indonesia yang memiliki produk sistem pendidikan sendiri berupa pesantren telah mengadopsi sistem pengajaran boarding school. Melalui pendekatan sejarah, pesantren di Nusantara memang difokuskan untuk diskursus ilmu keagamaan sebelum adanya transformasi ke arah penerimaan ilmu modern di awal abad ke-20. Hal itu terjadi mengingat kebudayaan kita menerima secara masif pengaruh kebudayaan India terutama terkait aktivitas literasi.

Dalam kebudayaan India, terutama mengenai sistem masyarakat yang berkasta, kegiatan membaca dan menulis hanya diperuntukkan kepada kalangan Brahma atau pendeta keagamaan, sehingga institusi pendidikan masa itu lebih dimaknai sebagai padepokan Brahma.

Tidak hanya dalam kebudayaan India yang menciptakan wadah diskursus keagamaan melalui institusi pendidikan boarding school. Dalam sejarah kebudayaan Barat yang tidak bisa dianggap homogen, gerakan monastisisme atau lebih akrab dengan kerahiban telah membangun cikal bakal dari apa yang kita lihat saat ini sebagai dua universitas terbaik di dunia, Oxford University dan Cambridge University. Gerakan tersebut mendorong adanya institusi pendidikan keagamaan boarding school yang bertaut dengan kekristenan sehingga mampu menjadi mercusuar utama kekristenan serta kawah candradimuka bagi para calon pendeta.

Dalam kebudayaan Islam awal dan pertengahan (kebudayaan Islam Arab, Persia, dan Mughal), para penuntut ilmu terbiasa untuk menetap dalam waktu berkala yang cukup panjang di masjid-masjid yang menyediakan demontrasi keilmuan oleh para khatib. Kata Jaami’ atau Jaamiah seringkali tertukar atau interchangeable yang menjadi salah satu bukti historis bagaimana masjid menjadi tempat boarding atau menetap bagi para penuntut ilmu selain wadah menyerap keilmuan agama.

Pesantren yang merupakan konklusi dari dialog antara Nusantara dan beberapa kebudayaan yang pernah singgah dalam periode panjang, terus mempertahankan konsep adopsi sistem boarding school sebagai sistem waktu pengajaran, mewajibkan interaksi antara muallim dengan mutaallim secara kontinyu atau full-day.

Dengan begitu apa yang disaksikan kita pada hari ini terkait penyeretan ke meja hijau oleh beberapa oknum wali murid terhadap guru atas tindakannya kepada anak wali murid dapat terhindarkan. Mengingat dua adagium Hormati Guru, Sayangi Teman – Murid Kencing Berdiri, Guru Kencing Berlari, rasa-rasanya menjadi lebih masuk akal diamalkan dalam sistem pengajaran boarding school.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan