Pendidikan seharusnya menjadi jendela yang membuka pandangan kita terhadap dunia. Sekaligus, ia sebagai alat untuk mengembangkan potensi manusia seutuhnya. Namun, dalam arus globalisasi dan komersialisasi yang semakin deras, tujuan luhur ini tampaknya makin terpinggirkan.
Pendidikan saat ini lebih mirip sebuah industri; ia bergerak dalam kerangka ekonomi pasar yang mengutamakan efisiensi dan output ketimbang substansi. Alih-alih menjadi tempat persemaian ide-ide besar dan pemikiran kritis, pendidikan kita justru semakin menyerupai pabrik yang berorientasi pada produksi massal tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan pasar, bukan pada pembentukan individu yang kritis dan reflektif.
Metamorfosis Pendidikan kita
Kita tak dapat menghindari keprihatinan ketika menyaksikan bagaimana sekolah-sekolah dan universitas kita beroperasi seperti bisnis, di mana pendidikan dijual sebagai komoditas. Keberhasilan pendidikan lalu diukur berdasarkan statistik kelulusan atau akreditasi, bukan kualitas pemikiran.
Ketika pendidikan terjebak dalam logika ekonomi, maka keinginan untuk belajar demi pemahaman lebih mendalam akan dunia menjadi tergantikan oleh hasrat untuk meraih gelar dan sertifikasi.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, sekitar 80% perguruan tinggi di Indonesia kini berstatus swasta dan sebagian besar beroperasi dengan orientasi keuntungan. Fakta ini menunjukkan bagaimana pendidikan telah berubah menjadi arena komersial di mana akses terhadap pengetahuan dan pengembangan diri menjadi suatu hal yang bergantung pada kekuatan finansial.
Kondisi ini membawa kita pada persoalan mendasar: pendidikan yang seharusnya menjadi alat pembebasan justru menjadi sumber ketidakadilan. Ketika pendidikan semakin mahal, akses terhadap ilmu pengetahuan juga semakin terbatas.
Di dalam masyarakat kita yang sarat dengan ketimpangan, pendidikan yang dikomodifikasi hanya memperbesar jurang antara mereka yang memiliki akses dan yang tidak.
Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi alat untuk mengangkat masyarakat ke tingkat pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi, kini menjadi simbol eksklusivitas dan privilege.
Penulis melihat ini sebagai bentuk ketidakadilan yang berakar pada sistem pendidikan itu sendiri, di mana nilai ilmu pengetahuan diukur dari keuntungan ekonomi yang bisa dihasilkannya, bukan dari potensi transformatifnya bagi kehidupan.
Dalam sistem yang berorientasi pada keterampilan praktis, pendidikan semakin jauh dari cita-cita membentuk manusia kritis yang mampu berpikir mendalam dan reflektif. Penulis kerap merenung, apakah tujuan utama dari pendidikan tinggi semata-mata untuk menyiapkan individu menjadi tenaga kerja yang siap pakai? Ataukah pendidikan memiliki makna yang lebih tinggi, yakni mencetak generasi yang mampu mempertanyakan dan memaknai hidup dengan sudut pandang yang lebih luas?
Gus Dur pernah menyebut kondisi ini sebagai “IQ jongkok,” suatu keadaan di mana pendidikan hanya menjadi formalitas, tanpa substansi yang mendalam, sekadar untuk menghasilkan lulusan, bukan pemikir.
Ini sejalan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa 75% dari kurikulum sekolah di Indonesia berfokus pada aspek teknis tanpa memberikan cukup ruang bagi pengembangan pemikiran kritis. Paradigma ini menciptakan generasi yang “terampil” tetapi tanpa daya kritis.
Saat ini, pelajaran di sekolah-sekolah kita lebih sering berpusat pada hafalan, akumulasi pengetahuan tanpa refleksi, dan penguasaan keterampilan teknis yang dianggap relevan dengan pasar tenaga kerja.
Albert Einstein pernah berkata, bahwa “Pendidikan adalah apa yang tersisa setelah seseorang melupakan apa yang telah dipelajari di sekolah.” Bagi penulis, ini berarti pendidikan seharusnya tidak hanya berupa transfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu, pendidikan harus menanamkan pola pikir yang memampukan seseorang untuk memahami kompleksitas dunia.
Namun, ketika sekolah hanya mengajarkan apa yang perlu dihafal, tanpa mengajarkan cara berpikir kritis, kita hanya menciptakan manusia yang siap mengikuti instruksi, bukan yang siap berpikir mandiri.
Penulis sering kali merasa bahwa dunia pendidikan tinggi kita, yang semestinya menjadi tempat kebebasan berpikir dan kreativitas intelektual, justru telah berubah menjadi mesin birokrasi yang kaku.
Di berbagai universitas, skripsi dan tesis bukan lagi sarana eksplorasi pemikiran, tetapi sekadar ritual yang harus dilalui demi mendapatkan gelar. Karya-karya ilmiah mahasiswa sering kali bukan hasil dari pemikiran mendalam, melainkan hasil dari tekanan untuk segera menyelesaikan studi dan memenuhi standar administratif yang kaku.
Menurut penelitian Prasetyo (2019), mahasiswa cenderung memilih topik yang dianggap aman dan mudah untuk diselesaikan, ketimbang mengeksplorasi tema-tema baru yang mungkin kontroversial atau sulit, tetapi berpotensi membawa pemahaman yang lebih dalam. Birokratisasi pendidikan tinggi menciptakan sistem yang kering dari inovasi. Mahasiswa lebih cenderung bermain aman daripada mengambil risiko dalam mengejar ide-ide yang lebih bermakna.
Di tengah keadaan ini, kita bertanya-tanya: apa yang sebenarnya kita harapkan dari pendidikan tinggi? Apakah hanya sekadar output kuantitatif dalam bentuk lulusan, atau keberanian untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang bermakna?
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi wadah bagi kebebasan intelektual dan ruang bagi eksplorasi ide-ide tanpa batas. Ketika pendidikan tinggi kehilangan misi fundamentalnya dan lebih mengutamakan kepatuhan administratif, kita tidak bisa berharap banyak pada kualitas lulusan yang dihasilkan. Pendidikan menjadi suatu proses mekanis yang mengutamakan kelulusan tepat waktu dan pengulangan pengetahuan yang sama, tanpa keberanian untuk berpikir berbeda.
Sebuah Tawaran
Pendidikan, dalam pandangan penulis, seharusnya berakar pada filosofi yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, yang tergerak oleh keinginan untuk memahami dunia di sekitarnya. Socrates pernah mengatakan bahwa “Pendidikan bukan tentang mengisi bejana, tetapi tentang menyalakan api.”
Penulis yakin bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses untuk membangkitkan pemikiran kritis dan menantang asumsi-asumsi yang sudah ada. Namun, pendidikan yang sekadar berorientasi pada keterampilan pragmatis cenderung mengabaikan pentingnya refleksi dan pemahaman filosofis. Pendidikan yang terlalu fokus pada pasar hanya menghasilkan manusia-manusia yang terlatih untuk bekerja, tetapi tanpa kepekaan untuk memahami makna keberadaan mereka.
Gus Dur pernah mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi lahan persemaian bagi bibit-bibit pemikiran baru. Bagi beliau, pendidikan bukan hanya alat untuk menyiapkan individu agar siap kerja, melainkan sebuah proses transformasi yang memperkaya jiwa dan meningkatkan kesadaran sosial. Ketika pendidikan direduksi menjadi industri, maka kita kehilangan salah satu fungsi terpentingnya: yakni membentuk manusia yang utuh, yang mampu berpikir independen, dan memiliki wawasan luas tentang kehidupan. Pendidikan yang berorientasi pasar melahirkan generasi yang hanya peduli pada tujuan material, sementara nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan cenderung terabaikan.
Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan khususnya di pesantren, penulis merasa bahwa pendidikan seharusnya berfungsi sebagai medium kolektif untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Pendidikan yang benar-benar mencerdaskan tidak hanya melahirkan tenaga kerja, tetapi juga menghasilkan pemikir yang dapat mempertanyakan dan mengkritisi ketidakadilan dalam masyarakat.
Namun, sistem pendidikan kita saat ini mengabaikan aspek-aspek tersebut. Kita melihat bahwa logika komersial yang mendominasi pendidikan menyebabkan individu-individu dalam sistem ini terjebak dalam ambisi personal dan material, yang akhirnya menghambat proses penciptaan manusia yang kritis dan reflektif.
Krisis pendidikan ini, bagi penulis, adalah suatu panggilan untuk kembali pada esensi pendidikan sebagai proses pencerahan dan pembebasan. Pendidikan harus kembali ditempatkan sebagai alat untuk mencerdaskan, bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan ekonomi atau mengisi pasar kerja.
Kita perlu mengingat kembali bahwa tujuan pendidikan bukanlah sekadar mencetak individu yang dapat bekerja dengan efisien, tetapi individu yang mampu berpikir dengan jernih, bertindak dengan bijaksana, dan memiliki empati terhadap sesama. Gus Dur mengingatkan bahwa jika kita tidak segera mengembalikan pendidikan ke dalam jalur yang benar, maka kita sedang menciptakan generasi yang hanya siap untuk memenuhi persyaratan minimal tanpa memiliki keberanian untuk mempertanyakan dan mencari makna hidup yang lebih luas.
Dalam dunia yang semakin mengutamakan kecepatan dan hasil yang instan, pendidikan seharusnya menjadi satu-satunya tempat di mana kita diajak untuk melambat, merenung, dan berpikir secara mendalam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada keterampilan pragmatis akan kehilangan potensi transformasinya dan gagal menciptakan generasi yang memiliki kesadaran penuh akan kompleksitas dunia ini. Pendidikan adalah tentang membentuk manusia yang berjiwa bebas, yang mampu melihat dunia dengan mata yang lebih terbuka, dan yang berani mengarungi ketidakpastian hidup dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.
Jika kita benar-benar peduli dengan masa depan, maka kita harus bersedia mempertimbangkan kembali cara kita mendefinisikan dan menerapkan pendidikan. Kita harus berani menolak logika komersial yang mendominasi sistem pendidikan saat ini, dan sebaliknya, berfokus pada pengembangan pemikiran kritis dan etika.
Pendidikan harus kembali menjadi proses pencerahan yang memperkaya jiwa dan membangun kesadaran sosial. Sebagai masyarakat yang bercita-cita menuju kemajuan, kita tidak boleh melupakan bahwa pendidikan memiliki fungsi yang jauh lebih besar daripada sekadar memenuhi tuntutan ekonomi. Pendidikan adalah instrumen paling kuat yang dimiliki manusia untuk mengembangkan kesadaran, memahami nilai-nilai universal, dan membentuk kehidupan yang bermakna.
Jika pendidikan terus dilihat sebagai sarana pencapaian material dan output statistik, kita berisiko kehilangan masa depan yang penuh dengan individu-individu yang mampu berpikir dan bertindak secara bijaksana. Kita berisiko menghasilkan masyarakat yang terobsesi pada angka dan nilai, tetapi miskin dalam hal pemahaman dan kepekaan terhadap dunia di sekitar mereka. Masyarakat yang berhasil bukanlah masyarakat yang hanya melahirkan tenaga kerja siap pakai, tetapi masyarakat yang menciptakan pemikir, inovator, dan individu-individu yang berani mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan. Inilah inti dari pendidikan sebagai proses pembebasan, sebuah proses yang bukan hanya mencerdaskan akal tetapi juga memperkaya jiwa dan merawat hati.
Menutup opini ini, penulis kembali pada pernyataan Gus Dur yang sederhana tetapi mendalam: “Kita harus menjadikan pendidikan sebagai ladang persemaian bagi pemikiran baru.” Pernyataan ini mengandung amanat besar yang hanya dapat terwujud jika kita, sebagai masyarakat, berkomitmen untuk mempertahankan pendidikan sebagai sesuatu yang sakral, bebas dari dominasi pasar dan birokrasi yang kaku. Hanya dengan demikian, kita dapat berharap pada hadirnya generasi yang tidak hanya terampil tetapi juga kritis, tidak hanya siap kerja tetapi juga siap berpikir, dan tidak hanya menginginkan kemajuan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan kemanusiaan secara keseluruhan.
Dengan mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai sarana pencerahan dan penciptaan manusia yang utuh, kita tidak hanya membangun bangsa yang lebih baik, tetapi juga meletakkan dasar bagi terciptanya dunia yang lebih adil, bijaksana, dan penuh harapan.