Kritik Muhammad Arkoun Terhadap Autentitas Al-Qur’an

33 views

Era kontemporer mendorong para pemikir untuk memberikan sumbangan ide kepada wacana keagamaan, perpolitikan, sosial, kebudayaan, dan lain-lain. Dalam tradisi intelektual, hal tersebut merupakan siklus normal dalam membentuk antitesa dari setiap tesis yang eksis. Daya intellectual curiousity ini menggiring manusia melakukan riset-riset ilmiah yang bersifat kontinu. Hal itu membentuk normal science baru di tengah-tengah masyarakat. Normalitas sains tersebut kemudian menjadi keadaan kultural dan landasan keilmuan bagi masyarakat universal (Faisal Ismail, Islam Dinamika Dialpgis, Keilmuan, dan Kebudayaan, 16).

Muhammad Arkoun, seorang tokoh Islam kontemporer turut berkontribusi dalam regulasi keilmuan, khususnya dalam ranah wacana Qur’aniyah. Meskipun terkenal dengan pendapat-pendapatnya yang kontroversial terkait Al-Qur’an, umat muslim tidak boleh menutup mata karena justru dialektika yang seperti ini dibutuhkan untuk menuntun umat ke pusara peradaban yang unggul.

Advertisements

Selayang Pandan tentang Arkoun

Muhammad Arkoun dilahirkan di desa Taourit-Mimoun Kayblia, wilayah persukuan di bagian timur Aljazair, pada 1 Februari 1928. Dari keluarganya, ia mampu menguasai tiga bahasa yaitu Berber, Prancis, dan Arab. Karier intelektualnya dimulai dimatangkan di Universitas Aljazair pada tahun 1950-1954 dengan menekuni bidang sastra Arab dan pemikiran Islam.

Selanjutnya, pada tahun 1961 ia mengajar Sejarah dan Filsafat Islam di Universitas Sorbonne. Di sana pula ia mengambil gelar Ph.D, tepatnya pada tahun 1969 dengan judul karya “Humanisme Arabe au IVe/ Xe sience: Miskawayh philospo et historian (Humanisme Pemikiran Etika Ibn Miskawaih).

Setelah itu ia tetap mengajar di beberapa universitas di berbagai negara seperti Arab, Eropa, Amerika Utara, dan Asia dengan mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam (Nicolas J. Wolly, Perjumpaan di Serambi Islam: Suatu Studi Tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen,  232).

Penjelajahan intelektual Arkoun melibatkan penjelajahan fisik, karena dia rela berkelana ke penjuru dunia untuk menyebarkan pemikirannya. Di Barat, ia menjadi penentang paham orientalisme yang pada saat itu sedang marak. Sedangkan di Timur-Tengah, ia merasa tidak cocok dengan paham fundamentalisme agama yang baginya malah menjadi alat untuk menurunkan martabat Agama Islam.

Bahkan Arkoun tidak segan-segan untuk berdialektika dengan para tokoh yang secara ideologis berbeda. Hal itu dilakukan melalui proses ajar-mengajar ketika menjadi dosen tamu di beberapa universitas seperti University of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembaga Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia (Moh. Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, 219).

Al-Qur’an dalam Pandangan Arkoun

Dalam lingkup kajian Al-Qur’an, Arkoun memahami bahwa Al-Qur’an hanya mampu ditangkap oleh manusia dalam aspek langue, dan tidak pada parole Tuhan. Atas pengaruh dari Saussure ini, Arkoun memberikan tingkatan-tingkatan wahyu, yang ia bagi menjadi tiga tingkatan.

Tingkatan pertama, wahyu sebagai parole. Arkoun menyebutkan bahwa wahyu dalam tingkatan parole ini berarti wahyu yang sifatnya transenden dan tidak terbatas (infinite), dalam artian maknanya murni dimiliki oleh Allah. Manusia tidak akan mampu menggapai realitas makna tersebut.

Kedua, wahyu sebagai firman yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk Bahasa Arab. Ini adalah wahyu sebagai langue, atau wahyu yang terefleksikan dengan sistem bahasa yang berlaku di masyarakat.

Ketiga, yaitu wahyu dalam bentuk korpus resmi atau yang telah dibukukan seperti yang kita lihat pada mushaf-mushaf al-Qur’an, yaitu yang telah diimbuhi dengan segala tanda baca (h}arakat). Wahyu pada tangkat ini merupakan rekaman dari langue Tuhan.[1]

Kritik Arkoun terhadap Penafsiran Al-Qur’an

Arkoun berujar, bahwa turunnya Al-Qur’an lahir dari kompleksitas fenomena-femonena sosial, politik, dan budaya yang terjadi pada dan dialami manusia. Berhubungan dengan itu, maka penafsiran yang diperlukan untuk mempertajam pemaknaan terhadap Al-Qur’an adalah dengan menganalisa sisi historisitas turunnya Al-Qur’an. Usahanya adalah mengaktualisasikan Al-Qur’an ke dalam kehidupan nyata dan menjadikan Al-Qur’an sebagai teks yang hidup dan menghidupi.  Tidak cukup jika hanya dijadikan sebagai ideologi.

Arkoun mengkritik upaya untuk menghegemoni penafsiran, yang menutup pintu ijtihad terhadap pemaknaan Al-Qur’an. Akibatnya, banyak para mufasir yang terpengaruhi oleh berbagai konflik teologis politik dan sebagainya. Bagi Arkoun, hal inilah yang menjadi tertutupnya ide-ide universalitas Al-Qur’an.

Implikasi lebih jauh adalah Al-Qur’an menjadi jauh dari realitas sosial. Ide-ide dasar Al-Qur’an tidak mungkin bisa dikembangkan oleh berbagai tafsir yang sudah mapan. Jadi perlu ada sekularisasi, dan pluralisasi pemahaman Al-Qur’an.

Sebagai alternatif dari metodologi tersebut, Arkoun mencoba menawarkan pola penafsiran Al-Qur’an secara kontemporer dengan menggunakan ideom-ideom postmodern (Efendi, Epistemologi Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman, jurnal Miyah, 2015).

Kesimpulan

Arkoun merupakan pemikir kritis dari dunia Islam yang memberikan gagasan matang terhadap pemahaman Al-Qur’an dan penafsirannya. Ia memberikan fondasi epistemologis dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan sistem kebahasaan dan historisitas yang kuat. Hal ini menjadi kemajuan tersendiri bagi kaum Islam.

Arkoun juga menunjukkan terkait purifikasi dalam penafsiran tanpa anasir-anasir teologis, politis, sosial, atau apapun itu. Meraih pemahaman Al-Qur’an perlu dengan upaya yang jujur dan benar-benar datang dari keimanan yang kuat. Karena menggapai pemaknaan Tuhan itu tidak mudah. Selain menjadi tantangan bagi manusia, juga menjadi bukti autentiats keislaman (penyerahan diri) kepada Tuhannya.

Daftar Pustaka

Faisal Ismail, Islam Dinamika Dialogis Keilmuan, Kebudayaan, dan Kemauniaan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), 16.

Nicolas J. Wolly, Perjumpaan di Serambi Islam: Suatu Studi Tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), 232.

Moh. Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 219.

[1] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, terj, Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998), 67-71.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan