Bayangkan seorang petani di perdesaan Mesir. Setiap pagi, ia bangun sebelum fajar, menghadap kiblat, dan memanjatkan doa. Doanya bukan untuk panen yang melimpah, melainkan untuk ridho Tuhan semata. “Jika Tuhan menghendaki, panen akan berhasil,” pikirnya. Ia bekerja seadanya, tanpa inovasi, tanpa upaya lebih.
Baginya, semua telah ditentukan oleh Tuhan. Saya rasa, ada suatu kenikmatan tersembunyi di balik kepasrahan total ini, kenikmatan dalam menghindari beban kebebasan. Seperti menyerahkan kemudi pada orang lain dan tidur dengan nyenyak di kursi penumpang, sementara mobil melaju kencang menuju jurang.
Teosentrisme seperti ini, dengan penekanannya pada Tuhan sebagai pusat semesta, telah mendominasi pemikiran keagamaan selama berabad-abad. Dalam Islam, pengaruh filsafat Yunani, perkembangan teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, serta interpretasi teks-teks klasik, semakin memperkuat cengkeraman teosentrisme.
Akibatnya, manusia diposisikan sebagai makhluk pasif yang hanya bisa berserah diri pada takdir. Saya curiga, ini adalah bentuk ideologi yang sangat efektif untuk menjaga keadaan apa adanya, mencegah orang untuk berpikir kritis dan menantang kekuasaan.
Namun, di tengah dominasi paradigma ini, muncul seorang pemikir yang berani “melawan arus”: Hasan Hanafi. Dengan teologi antroposentrisnya, Hanafi menyerukan pembebasan manusia dari belenggu fatalisme dan menegaskan peran aktif manusia di dunia modern. Saya melihat Hanafi sebagai sebuah sinyal, sebuah pertanda yang mengungkapkan kebenaran yang tertutupi oleh cara pandang yang dominan.
Bagaimana Hanafi mengkritik teosentrisme dan menawarkan alternatif yang membebaskan? Bagaimana teologi antroposentris dapat memberdayakan manusia dan menjawab tantangan zaman?
Saya tertarik untuk menganalisis struktur keinginan dan fantasi yang mendasari wacana teosentris, membongkar lapisan-lapisan ideologi yang membentuk pemahaman kita tentang Tuhan dan manusia.
Akar Teosentrisme
Teosentrisme bukanlah konsep yang muncul tiba-tiba. Ia memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Dalam Islam, pemikiran teosentris dapat ditelusuri dari berbagai sumber, mulai dari pengaruh filsafat Yunani hingga perkembangan teologi klasik.
Filsafat Yunani, terutama pemikiran Plato dan Aristoteles, memperkenalkan konsep Tuhan sebagai “Penggerak yang Tidak Bergerak”. Tuhan dipandang sebagai sumber segala gerak dan perubahan di alam semesta, sementara Ia sendiri tetap abadi dan tidak berubah.
Konsep ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Saya menduga, konsep ini merupakan upaya untuk mengatasi kecemasan manusia akan ketidakpastian dan kekacauan.
Perkembangan teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran teosentris dalam Islam. Kedua mazhab teologi ini menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya di hadapan Tuhan.
Semua peristiwa di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan, dan manusia hanya bisa menerima takdir dengan pasrah. Saya berpikir, ada sesuatu yang “kosong” di balik citra Tuhan yang mahakuasa ini, sesuatu yang ingin diisi oleh manusia dengan proyeksi-proyeksi keinginan mereka.
Teks-teks klasik dalam tradisi Islam, seperti kitab-kitab teologi karya al-Ghazali, al-Asy’ari, atau Imam al-Maturidi, banyak mengandung ayat-ayat dan hadis-hadis yang menegaskan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Interpretasi teks-teks tersebut pada masanya seringkali dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik, di mana penguasa menggunakan agama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Saya melihat ini sebagai contoh bagaimana tatanan simbolik selalu beroperasi untuk mempertahankan struktur kekuasaan.
Namun, seiring perkembangan zaman dan munculnya pemikiran-pemikiran baru, interpretasi terhadap teks-teks klasik tersebut mulai bergeser. Para pemikir Muslim kontemporer mencoba menawarkan pemahaman yang lebih relevan dengan tantangan zaman, tanpa meninggalkan esensi ajaran Islam. Saya menilai ini sebagai bentuk “peniadaan dari peniadaan”, di mana tradisi dilampaui melalui proses dialektika.
Penantang Peradigma
Di tengah dominasi pemikiran teosentris, muncul seorang pemikir Muslim kontemporer yang berani menantang paradigma yang ada: Hasan Hanafi. Lahir di Kairo, Mesir, pada tahun 1935, Hanafi menawarkan sebuah perspektif baru dalam memahami agama, yaitu teologi antroposentris. Saya menganggap Hanafi sebagai seorang pemberontak intelektual, yang berusaha mendobrak tembok-tembok dogma dan membebaskan pemikiran keagamaan dari kungkungan tradisional.
Pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh berbagai arus intelektual, seperti Marxisme, Eksistensialisme, dan gerakan pembebasan di dunia Arab. Marxisme memberinya kerangka kritik terhadap penindasan dan keterasingan yang dialami oleh masyarakat, sementara Eksistensialisme menekankan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab individu.
Gerakan pembebasan di dunia Arab membakar semangatnya untuk melawan penjajahan dan keterbelakangan. Saya melihat perpaduan yang unik dalam diri Hanafi: seorang cendekiawan Muslim yang menerima pengaruh pemikiran Barat, namun tetap berakar pada tradisi intelektual Islam.
Dalam karya-karyanya, seperti al-Turath wa al-Tajdid, Hanafi secara tegas mengkritik teosentrisme yang dinilainya telah membelenggu potensi manusia. Ia menawarkan teologi antroposentris sebagai alternatif, di mana manusia diposisikan sebagai subjek yang aktif dan berperan penting dalam menentukan nasibnya sendiri.
Saya berpendapat, teologi antroposentris Hanafi merupakan upaya untuk “mengembalikan” manusia pada tempatnya yang sebenarnya, sebagai aktor utama dalam drama kehidupan, bukan sekadar boneka yang dimainkan oleh kekuatan gaib.
Membebaskan Manusia
Salah satu kritik utama Hanafi terhadap teosentrisme adalah bahwa ia menciptakan sikap fatalisme dan pasrah pada takdir. Ketika semua peristiwa dianggap telah ditentukan oleh Tuhan, manusia cenderung kehilangan motivasi untuk berusaha dan berubah. Saya percaya, fatalisme adalah sebuah jebakan psikologis yang membuat manusia terlena dalam kenyamanan semu, menyerah pada keadaan tanpa berusaha untuk mengubahnya.
Fatalisme memiliki dampak negatif yang luas, mulai dari menghambat perkembangan individu hingga menghalangi kemajuan masyarakat. Dalam bidang pendidikan, fatalisme dapat menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk belajar karena merasa nilai mereka telah ditentukan oleh Tuhan.
Dalam bidang ekonomi, fatalisme dapat menimbulkan kemalasan dan keengganan untuk bekerja keras karena merasa rezeki telah diatur oleh Tuhan. Dalam bidang politik, fatalisme dapat menciptakan masyarakat yang apatis dan tidak peduli terhadap nasib bangsanya. Saya melihat fatalisme sebagai bentuk “penghindaran” dari realitas, sebuah penolakan untuk menghadapi tantangan dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan hidup.
Teologi antroposentris Hanafi menawarkan solusi atas permasalahan ini. Dengan menekankan peran aktif dan kebebasan manusia, Hanafi mendorong manusia untuk aktif menentukan jalan hidupnya dan mewujudkan potensinya secara maksimal.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai objek pasif yang dikendalikan oleh Tuhan, melainkan sebagai subjek aktif yang berperan dalam menciptakan sejarah dan peradaban. Saya berhipotesis, teologi antroposentris Hanafi dapat membantu manusia untuk “bangun” dari tidur panjangnya, menyadari potensi yang dimilikinya, dan berani untuk mewujudkannya.
Menggugat Hierarki Kuasa
Teosentrisme, dengan penekanannya pada kekuasaan mutlak Tuhan, seringkali digunakan untuk melegitimasi struktur kekuasaan yang ada dan menindas kelompok marginal.
Dalam sejarah, banyak penguasa yang mengklaim mendapatkan mandat dari Tuhan untuk memerintah, sehingga kekuasaan mereka tidak dapat diganggu gugat. Saya interpretasikan ini sebagai bentuk “penyembunyian” kekuasaan yang sebenarnya, di mana para penguasa bersembunyi di balik topeng agama untuk melanggengkan dominasi mereka.
Wacana teosentris juga sering digunakan untuk menjustifikasi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan, kaum minoritas, dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Dengan mendasarkan aturan sosial pada interpretasi teks-teks agama yang bias gender dan kelas, teosentrisme dapat menciptakan sistem sosial yang menindas dan mengekang kebebasan individu.
Saya beranggapan, ini adalah contoh bagaimana “Yang Lain” yang abstrak dan mahakuasa digunakan untuk menormalisasi penindasan dan menghilangkan pertanyaan kritis.
Hasan Hanafi dengan tajam mengkritik penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik dan ekonomi. Ia menyerukan perlunya menghidupkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam beragama, serta menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan atas nama agama.
Saya memahami kritik Hanafi sebagai seruan untuk “membuka kedok” kekuasaan, mengungkap kepentingan-kepentingan tersembunyi di balik wacana keagamaan, dan memperjuangkan keadilan bagi semua.
Menjembatani Kesenjangan
Teosentrisme cenderung menciptakan dikotomi, sebuah pemisahan yang kaku, antara manusia dan alam. Manusia dipandang sebagai makhluk yang superior, yang berhak mengeksploitasi alam sesuka hati.
Pandangan ini berakar dari interpretasi tertentu terhadap teks-teks agama yang menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Saya melihat dikotomi ini sebagai cerminan dari keangkuhan manusia, sebuah ilusi yang membuat kita lupa bahwa kita juga adalah bagian dari alam.
Namun, pemisahan yang kaku antara manusia dan alam telah menyebabkan krisis lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim adalah beberapa contoh akibat dari pandangan antroposentris yang sempit.
Saya berkeyakinan, krisis lingkungan adalah sebuah “tamparan” keras bagi manusia, sebuah peringatan bahwa kita tidak bisa terus-menerus menindas alam tanpa menerima akibatnya.
Hasan Hanafi menawarkan alternatif dengan mengusung pandangan yang lebih holistik, yang menyatukan, tentang hubungan manusia dan alam. Manusia diposisikan sebagai bagian dari alam dan memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Ia menyerukan perlunya etika lingkungan yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup.
Saya menilai pandangan Hanafi ini sebagai upaya untuk “menyembuhkan” luka pemisahan antara manusia dan alam, untuk menemukan kembali keselarasan dan keharmonisan dalam hubungan kita dengan alam semesta.
Teologi yang Membebaskan
Teosentrisme, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah mewarnai perjalanan sejarah pemikiran Islam. Namun, di era modern yang penuh dengan tantangan dan perubahan, sudah saatnya kita menggeser paradigma teologi dari teosentrisme ke antroposentrisme.
Saya berharap, pergeseran ini dapat membawa manusia pada kesadaran akan keterbatasan dan ketidaksempurnaannya, membebaskannya dari ilusi kemahakuasaan dan membawanya pada pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat kebebasan.
Teologi antroposentris menawarkan pembebasan bagi manusia dari belenggu fatalisme, penindasan, dan eksploitasi alam. Ia memberikan ruang bagi manusia untuk berkembang, berkarya, dan mewujudkan potensinya secara maksimal.
Saya meyakini, teologi antroposentris adalah jalan menuju tindakan yang etis, di mana manusia bertanggung jawab atas kebebasannya sendiri dan berani mengambil resiko untuk mewujudkan cita-citanya.
Hasan Hanafi, dengan pemikiran kritis dan beraninya, telah membuka jalan bagi kita untuk menghidupkan teologi yang membebaskan. Tugas kita sekarang adalah melanjutkan perjuangannya dengan merefleksikan kembali pemahaman kita tentang agama dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mengajak Anda untuk berani melepaskan diri dari belenggu dogma dan menciptakan makna hidup Anda sendiri, dengan bertanggung jawab dan penuh kesadaran.