Kronik Peristiwa 1965 (2): Salah Tembak “Genjer-genjer”

56 views

“Genjer bukanlah jendral” itu sudah pasti. Begitu pula lagu Genjer-genjer yang terlarang. Pasti bukan jendral-jendral. Lagu ciptaan Muhammad Arif dari Banyuwangi itu benar-benar berbunyi dan berkisah tentang genjer.

Genjer-genjer ring kedokan pating keleler

Advertisements

          Emak-e tole teka-teka mbobot genjer

          Loih sak tenor mungkur sedot ting tolah-toleh

          Genjer-genjer saiki wis digawa mulih

Bukan jendral seperti yang diplesetkan secara politis oleh politisi dan pejabat tinggi Orde Baru kelahiran Banyuwangi dan besar di Jember menjadi begini:

Jendral-jendral ring ibu kota pating keleler

          Emake gerwani teko-teko nyuliki jendral

          Olih olih sak truk mungkur sedot sing tolah-toleh

          Jendral-jendral saiki wis podo dipateni

Arif sendiri menciptakan lagu itu, seperti dituturkan teman-teman dekatnya Fatra Abal dan Andang, saat Banyuwangi dilanda paceklik selama tiga tahun pada 1942. Genjer, sejenis tumbuhan mirip enceng-gondok, yang tumbuh subur di daerah itu sama sekali tak disentuh oleh orang Banyuwabgi yang memang enggan memakannya, meski dalam lilitan lapar sekalipun.

“Saya masih ingat mas Arif mengatakan bahwa lagu itu dimaksudkan untuk mendorong masyarakat Banyuwangi yang sudah kelaparan agar memakannya,” kisah Fatra Abal suatu hari pada 1993. Arif sendiri telah beberapa kali merasakan nikmatnya genjer yang disajikan istrinya yang bukan orang asli Banyuwangi.

M Arif, pencipta lagu “Genjer-genjer”.

Dalam kehidupan sehari-hari, selain mengarang lagu, Arif tergolong rajin beribadah. Ke langgar dan ke masjid, kebiasaan Arif sejak kecil, tetap berlangsung terus meski malang-melintang di dunia seni. Demikian pula keakrabannya dengan teman-teman sepengajian, selanggar, dan semasjid. “Arif juga menciptakan lagu-lagu yang bernapaskan Islam”, lanjut Fatra yang lupa judulnya. Oleh teman-temannya, karena kemampuan ngaji dan berbahasa Arabnya yang unggul,  ia dikenal guru ngaji dan bahasa Arab.

Semula, Arif cukup puas dengan grup angklungnya, “Sri Muda” yang independen dan non-partisan. Angklung adalah kesenian yang, mungkin karena selalu mendendangkan Genjer-genjer, lalu dikenal sebagai kesenian genjer-genjer. Tetapi pengaruh Lekra meluas hingga di pelosok kampung Banyuwangi, satu per satu anggota Sri Muda pindah ke grup angklung Lekra “Agung Wilis”. Dan dengan berbagai pertimbangan, Arif pun pada akhirnya mengikuti jejak teman-temannya, masuk Lekra meski ia tetap membawa “Sri Muda”-nya.

Sejak saat itu Arif aktif dalam Lekra, dan atas inisiatif Nyoto yang berkunjung ke Banyuwangi pada 1962 dan mengklaim Genjer-genjer sebagai lagu favorit Lekra, lagu itu pun lalu tersiar luas tidak hanya di Banyuwangi dan sekitarnya, tetapi juga di Jakarta (tersiar melalui RRI dan TVRI). Dan karena itulah, si anak langgar dan guru ngaji itu pun, pada peristiwa 1965, ikut diculik, dan siapa pun, termasuk si pembunuhnya, tak tahu pasti di mana kuburnya. Istri dan anak-anaknya hanya bisa nyelameti tanpa tahu persis tanggal dan harinya.

Membunuh Arif ternyata tidak cukup memuaskan. Lagu ciptaannya yang paling populer, Genjer-genjer, juga harus terkubur bersamanya, dilarang beredar bahkan dinyanyikan oleh siapa pun terutama di zaman Orde Baru. Lagu yang pernah “di-PH-kan” oleh Lokananta Solo ini harus ditembak mati bersama 39 lagu Banyuwangen lainnya, meski hanya bercerita tentang genjer. Salah tembak lagi!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan