Langgar Putih, Saksi Sejarah Pendidikan Islam di Jambi

225 kali dibaca

Jika menelusuri peran surau di Sumatera, maka kita akan menemukan banyak sekali surau yang berperan tidak hanya untuk ibadah melainkan juga sebagai sarana pendidikan. Pondok saya dulu, Musthafawiyah Purba Baru awalnya juga Surau di Tano Bato, Kayu Laut. Kampung yang berada tepat di sebelah selatan Purba Baru.

Akan tetapi, tidak ada surau yang lebih terkenal dari Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Surau ini sudah seperti legenda dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Pengaruhnya tidak hanya sebatas Padang Panjang atau Sumatera Barat, melainkan hingga pergerakan Islam Nasional. Dari surau inilah muncul organisasi Sumatra Thawalib yang terkenal itu.

Advertisements

Kembali ke judul yang saya buat, di Jambi juga punya surau yang berperan besar atas kemajuan pendidikan Islam. Mungkin tidak sebesar pengaruh yang diberikan Surau Jembatan Besi. Tetapi, surau ini juga merupakan cikal bakal lahirnya empat institusi pendidikan Islam pertama di Jambi. Surau tersebut adalah Langgar Putih.

Langgar Putih berdiri di Kampung Tengah, Pecinan (sekarang dikenal sebagai Seberang Kota Jambi). Tidak jauh dari Langgar Putih berdiri Langgar Besak (baca: besar) yang tak kalah bersejarahnya di Kota Jambi. Tidak diketahui sejak kapan Langgar Putih didirikan. Yang pasti langgar ini sudah ada sejak Syekh Abdul Majid Jambi yang lahir pada 1850.

Layaknya surau dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, begitu juga dengan sejarah surau, atau dalam konteks ini langgar di Jambi, Langgar Putih merupakan tempat orang Jambi belajar agama Islam sebelum madrasah dan pondok pesantren menjamur di Jambi. Di antara yang menjadi pengajarnya adalah Ketib Mas’ud, seorang ulama Jambi yang cukup populer pada abad ke-19.

Ketib Mas’ud mengajar di Langgar Putih pada paro kedua abad kr-19. Tidak banyak informasi yang ditemukan terkait apa saja pelajaran yang diajarkannnya. Sudah barang tentu pelajaran agama dasar diajarakan di sini. Hanya, tidak diketahui jenis kitab apa yang digunakan.

Murid-murid terdiri dari para lelaki. Mereka membentuk setengah lingkaran mengelilingi guru yang berada di depan. Metode ini dikenal pada masa tersebut dengan sebutan halakah. Tidak diketahui apakah perempuan juga belajar dengan metode yang sama. Menurut beberapa keterangan, perempuan tidak mendapatkan pendidikan layaknya laki-laki. Mereka hanya belajar dasar agama dan diajarkan langsung oleh para guru di rumah, bukan di Langgar Putih.

Ketika Ketib Mas’ud wafat pada 1886, beliau digantikan oleh Syekh Abdul Majid yang baru kembali dari Mekkah. Pada masa ini memiliki banyak murid yang kompeten sehingga beberapa nama menjadi ulama yang terkenal di Jambi. Di antaranya adalah Hoofd Penghulu Abdul Samad, Guru Utsman, Guru Abdullah Affandi, Guru Ibrahim, Guru Ahmad bin Abdul Syakur (Guru Gemuk), dan Tuk Han.

Syekh Abdul Majid kembali ke Mekah pada sekitar 1904. Tidak diketahui alasan pasti mengapa Syekh Abdul Majid kembali ke Mekkah. Konon, karena dia dicurigai Belanda. Ada pula yang mengatakan bahwa ia membawa surat Sultan Taha ke Turki. Entah apa alasannya yang pasti dia tidak pernah kembali ke Jambi sejak itu.

Karena posisi guru di Langgar Putih menjadi kosong, Tuk Han akhirnya menggantikan Syekh Abdul Majid menjadi guru di Langgar Putih. Kondisi ini bertahan hingga berdiri tiga madrasah di Seberang Kota Jambi pada 1915. Pada 1923 berdiri pula Madrasah Al-Jauharain di Tanjung Johor, Seberang Kota Jambi menggantikan Al-Jauharain di Sungai Asam yang sudah ditinggalkan.

Sejak itu, kiprah Langgar Putih sebagai sarana pendidikan di Jambi seperti hilang ditelan bumi. Peran Langgar Putih tergantikan oleh empat madrasah tersebut. Nama Langgar Putih kembali muncul ketika terjadi huru-hara di Nurul Iman, salah satu madrasah dari empat madrasah tersebut.

Pada 1938, Nurul Iman baru saja melantik mudir baru yang energik. Dia adalah Tuan Guru Abdul Kadir, seorang reformis dari kalangan Islam tradisional. Visinya mirip dengan KH Wahid Hasyim dari kalangan Nahdhatul Ulama  (NU). Tuan Guru Abdul Kadir sendiri pun merupakan tokoh NU di Jambi.

Sekitar tahun 1949, di suatu malam terjadi perdebatan alot di antara Tuan Guru Abdul Kadir dengan guru-guru sepuh di Nurul Iman. Ada yang mengatakan karena perbedaan politik, ada pula yang mengatakan soal kebijakan. Tidak ada informasi yang valid soal perdebatan mereka pada malam itu. Yang pasti esoknya Tuan Guru Abdul Kadir sudah tidak lagi mengajar di Nurul Iman. Tuan Guru Saman Muhyi segera diangkat menjadi penggantinya.

Karena Tuan Guru Abdul Kadir merupakan ulama yang disegani dan begitu aktif, ia tetap mengajar murid-murid yang ingin belajar kepadanya. Langgar Putih sekali lagi menjalankan fungsi lamanya. Beberapa guru muda di Nurul Iman tetap setia kepadanya dan mengikuti pengajiannya.

Tidak butuh waktu lama hingga pengajiannya di Langgar Putih menjadi penuh. Ia kemudian membagi jam pelajaran siang dan sore. Namun, karena murid di Langgar Putih semakin membeludak, pada 1951 ia membangun madrasahnya sendiri. Madrasah tersebut berdiri berdasarkan swadaya dirinya dan masyarakat yang mendukungnya.

Seorang saksi bercerita waktu itu masyarakat sangat bersemangat mendirikan madrasah Tuan Guru Abdul Kadir. Semua golongan terlibat. Dimulai dari para murid, orang tua, anak-anak hingga perempuan bahu membahu mengumpulkan pasir dari Sungai Batanghari. Tuan Guru Abdul Kadir menginginkan madrasah yang kokoh, yang dibangun dari semen seperti bangunan sekolah Belanda. Sekolah tersebut baru bisa dipakai pada tahun 1953 dengan nama As’ad di Olak Kemang, Seberang Kota Jambi.

Dengan berdirinya Madrasah As’ad, selesailah cerita Langgar Putih sebagai pusat pendidikan Islam di Jambi. Langgar Putih tetap digunakan sebagai sarana pendidikan setelahnya. Hanya, perannya tidak lagi signifikan sebagaimana pada masa dulu.

Kalau pembaca yang budiman hendak berkunjung ke Langgar Putih, pergilah ke Seberang Kota Jambi, tepatnya di Kampung Tengah. Lalu, tanyakan kepada penduduk sekitar di mana letak Langgar Putih. Insyaallah akan dibawa ke sebuah bangunan kecil dua lantai, panggung, khas bangungan masyarakat Seberang Kota Jambi, atapnya berbentuk tumpang layaknya bangunan masjid kuno khas Nusantara, keseluruhan gedung dicat putih dengan atap genteng berwarna hijau. Demikianlah bentuk langgar yang telah menjadi saksi perkembangan pendidikan Islam di Jambi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan