Gender merupakan topik hangat yang sampai saat ini masih sering diperbincangkan dalam segala lini. Berbagai topik pembicaraan acap kali tak terasa lengkap jika belum menyentuh wilayah gender. Di berbagai bahasan mata kuliah, pengajian-pengajian, maupun di media masa, misalnya, banyak yang mengangkat pembahasan mengenai gender. Sebegitu ramainya pembahasan gender sehingga semua hal mengenai gender terlihat alami dan terjadi sebagaimana wajarnya.
Tanpa kita sadari, mungkin dari kelumrahan pembahasan tersebut, terdapat sebuah fakta maupun kebenaran yang sebenarnya dapat disingkap dengan ilmiah walaupun harus mengusik kenyamanan yang telah didapatkan sebelumnya.
Fakta bahwa seorang lelaki adalah seorang pemimpin, penguasa, dan politikus yang perkasa dibandingkan dengan seorang wanita yang dalam istilah Jawa mendapatkan bagian “masak, macak, dan manak” (baca: memasak, bersolek, melahirkan) merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, bahkan telah menjadi kepercayaan.
Seorang lelaki yang kemudian bisa memasak dan melakukan banyak pekerjaan domestik di rumah, dianggap sebagai sebuah hal yang tabu dan sering dianggap tidak wajar, tidak sesuai dengan adat kebiasaan.
Begitupula seorang wanita yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, mampu menjadi kuli angkut semen, juga yang mampu mengendarai ‘moge’ atau motor gede, dianggap sebagai wanita yang kurang sopan, bahkan dianggap tidak memiliki tata krama.
Contoh-contoh tersebut yang mungkin wajar jika ditilik dari kacamata lain, kemudian malah menjadi anomali bagi orang-orang yang telanjur mempercayai tradisi.
Selain hal-hal yang menyangkut kebiasaan tradisi tersebut, pembahasan sakral mengenai agama pun tidak dapat dilepaskan dari topik gender. Banyak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian dijadikan tameng untuk melindungi kenyamanan dan kepuasan suatu jenis gender, bahkan sebagiannya digunakan sebagai topeng pelindung atas dasar hak dan kewajiban.
Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para kaum lelaki terkesan menggiring pemahaman yang lebih mengarah pada penjunjungan laki-laki atas perempuan daripada menyejajarkan posisi keduanya. Penjelasan ini yang kemudian memberikan implikasi pada adanya ketidakadilan sosial yang dirasakan para perempuan dan akhirnya menggeliatkan para aktivis feminis untuk memperjuangkannya.
Lalu pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah, gender sendiri itu apa?
Untuk memahami masalah seputar ketidakadilan dalam konsep gender, kegiatan awal yang perlu dilakukan adalah membedakan definisi seputar gender itu sendiri dengan seks.
Kedua kata ini memiliki arti berbeda. Seks sendiri dalam KBBI diartikan sebagai jenis kelamin, dan secara terminologi merupakan pembedaan manusia berdasarkan pada karakteristik biologis, hormon, dan kromosom yang ada dalam tubuh masing-masing. Maka bagi manusia, klasifikasi biologisnya adalah laki-laki dan perempuan, sedangkan bagi hewan, klasifikasinya adalah jantan dan betina.
Kedua pengklasifikasian ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam penggalan Q.S. al-Ḥujurāt: 13, yā ayyuha al-nās (u) innā khalaqnākum min dhakarin wa unthā. Dari setiap jenis tersebut memiliki atribut biologis yang melekat pada tubuhnya.
Seorang manusia dapat dikatakan berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, juga sel sperma. Sedangkan, manusia yang memiliki vagina, alat untuk menyusui, dan memiliki sel telur akan dikatakan sebagai perempuan.
Adapun gender, definisinya lebih mengarah kepada sifat yang melekat pada masing-masing jenis seks, yakni laki-laki dan perempuan. Sifat ini dapat terbentuk melalui persinggungan sosial dan kultural.
Jika perempuan disebut sebagai perempuan jika memiliki ciri-ciri biologis seperti yang telah disebut sebelumnya, maka sifat yang biasa menempel pada diri seorang perempuan seperti lemah lembut, emosional, keibuan, dan anggunlah yang masuk dalam ranah gender. Begitu juga dengan laki-laki. Sifat kuat, perkasa, dan rasional yang melekat pada mereka yang masuk dalam pembahasan gender.
Maka pembahasan gender tidak paten sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan seks. Pada konsep gender, sifat yang melekat pada perempuan maupun laki-laki dapat dipertukarkan, dimana sifat ini dapat berubah dari masa ke masa, satu tempat ke tempat lain, maupun dari satu kelas ke kelas yang lain.
Namun, kemudian yang menjadi masalah adalah kapan pembahasan mengenai biologis itu berhenti dan kapan pembahasan mengenai gender dimulai.
Jika diperhatikan kembali, kedua hal itu saling berkaitan satu sama lain, di mana gender membahas sesuatu yang berkaitan dengan aspek biologis. Bahwa keduanya dapat dibangun, dibentuk, diperkuat, dan juga disosialisasikan melalui agama maupun negara dan pada akhirnya dianggap sebagai sebuah ketetapan pasti yang tak dapat diubah atau dianggap sebagai kodrat.
Padahal apa-apa yang dapat berubah atau dipertukarkan, maka hal tersebut adalah hasil dari konstruksi masyarakat yang memungkinkan untuk dirubah. Sejauh apapun keterkaitan keduanya, hal tersebut tidak mengalir secara alami dan berasal langsung dari suatu tubuh. Karena pada akhirnya pekerjaan, gaya berjalan, maupun penggunaan istilah warna tidak hanya ditentukan oleh biologi, tetapi juga oleh dinamika sosial dan kultural yang ada.
Maka konsep gender perlu dilakukan kajian lebih dalam lagi, bagaimana kemudian perbincangan tentang gender belum dapat memuaskan para pendengarnya. Juga yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memahami apa gender itu sendiri, baru mengetahui apa-apa yang menyebabkan lahirnya ketidakadilan gender. Sehingga dengan begitu, masalah-masalah yang muncul terkait gender dapat dicarikan solusi bersama.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress, 2008.
Putra, Aldomi. “SEKSUALITAS DALAM ISLAM: Kritik Wacana Tafsir tentang Gender.” El-Furqania, 2019: 126-127.