“Susunya habis.” Kata ibu ketika bocah kecil itu terus menangis. Aku belum sempat bertanya, tetapi ibu sudah paham tatapan mataku saat mendengar tangisnya.
“Nanti aku belikan, Bu,” jawabku sambil berlalu menuju ke warung. Mendengar tangisanbocah itu aku tidak tega.
***
“Lalu anak-anak bagaimana? Sudah dapat sekolah di tempat baru?” tanya suara di seberang melalui HP jadul yang dipegang ibu.
“Dia bilang anak-anak belum bisa dibawa. Takut tidak betah di tempat baru,” jawab ibu
“Kamu jangan gegabah, pikir masak-masak! Jangan hanya menuruti kemauanmu. Pikirkan nasib anak-anak!” Suara di seberang meninggi.
HP itu satu-satunya barang yang ditemukan bersama tubuh bapak. Meski penuh dengan darah, ternyata masih dapat digunakan. Aku tahu, suara di seberang itu adalah suara Pakde Parmin, kakak ibuku yang tinggal di Jombang, Jawa Timur.
Kami sekarang jarang bertemu. Dulu sewaktu masih ada, bapak sering mengajak kami ke rumah Pakde Parmin dengan naik kereta. Kami berangkat pagi-pagi dari stasiun Balapan dan turun di stasiun Jombang. Menempuh perjalanan selama hampir empat jam di pagi buta membuat aku, Rahim, dan Ridho sangat senang. Setelah sampai di stasiun, Pakde Parmin dan anaknya akan menjemput kami. Kemudian dengan sepeda motor kami menuju rumahnya di wilayah Wonosalam, sebuah kecamatan di ujung Jombang yang terkenal dengan buah duriannya yang sangat enak.
Sejak bapak meninggal karena kecelakaan, perjalanan itu tidak pernah lagi kami rasakan. Bapak meninggal sewaktu bekerja sebagai supir bus. Dia seorang pekerja keras. Waktu libur pun digunakan untuk bekerja.
Pada saat ada tanah longsor dan banyak mobil yang putar balik karena tidak berani lewat, bapak menawarkan jasanya untuk menjadi “sopir pocokan”, yaitu joki untuk menyetir mobil melalui jalan itu. Semua uang bapak dikumpulkan dan hanya digunakan seperlunya. Beberapa kali aku melihat bapak menyerahkan kepingan berwarna keemasan, kecil, tetapi ibu menyimpannya dengan sangat hati-hati. Terakhir baru aku tahu, kepingan itu adalah logam mulia yang berhasil bapak beli dari hasil kerja kerasnya.
Aku ingat, setiap menyerahkan pada ibu, bapak selalu bilang, “Jangan diutak-atik. Simpan saja! Ini bekal untuk anak-anak sekolah kelak.”
Tentu berat bagi ibu harus kehilangan suami dengan tiga anak di usianya yang baru tiga puluh dua tahun. Ibu perempuan yang sangat lugu. Ia anak bungsu dari dua bersaudara. Ia baru keluar dari desanya ketika menikah dan diboyong bapak ke Solo.
Setelah bapak meninggal, kami tetap menempati rumah pemberian Mbah Putri, ibu dari bapak. Ibu melanjutkan hidup dengan tabungan peninggalan bapak yang semakin menipis. Beberapa kali, ibu mencoba menawarkan jasanya sebagai buruh cuci. Sayang, penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan harian kami berempat.
Mbah Putri sering memberikan beras dan sedikit lauk mentah untuk dimasak setiap beliau dari pasar menjual sayuran yang dipetik di pekarangan rumahnya yang tidak seberapa luas. Mbah Putri terlalu sayang pada kami, tapi tidak mampu membantu banyak. Ibu tidak pernah berpikir membawa kami pulang ke Jombang setelah kepergian bapak.
“Mau tinggal di mana?” jawabnya ketika aku bertanya kenapa tidak pulang saja ke Jombang.
“Tidak mungkin membawa kalian bertiga menumpang di rumah pakdhe,” lanjut ibu. “ Sedang di sini, ada rumah peninggalan bapakmu yang dapat ditempati. Mbah Putri juga tidak keberatan kita tetap di sini, karena ini adalah rumah kalian.”
***
Setelah telepon dari pakdhe terakhir itu, ibu tidak pernah menelepon lagi. Pun begitu dengan pakdhe. Rupanya selisih paham keduanya membuat pakdhe enggan peduli lagi kepada kami.
“Aku tidak bisa melarangmu, Lastri. Kamu masih muda. Kalau memang anak-anak harus tetap di sini, biarlah,” ucap Mbah Putri ketika malam itu datang ke rumah kami yang hanya berjarak dua ratusan meter.
Aku tidak tahu apa yang ibu sampaikan kepada Mbah Putri. Sepertinya pembicaraan yang sangat serius. Sebelumnya, yang aku tahu ada seorang laki-laki datang ke rumah kami. Laki-laki yang belum pernah aku kenal sama sekali.
Laki-laki itu nampak bicara serius dengan ibu, Mbah Putri dan Lik Gito. Lek Gito adalah adik dari almarhum bapak. Yang aku ingat, ibu memintaku untuk menyalaminya, dan lelaki itu memintaku untuk memanggilnya “bapak”.
Lelaki itu kemudian menjadi suami baru ibu. Setelah ijab kabul sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang, tanpa Pakdhe Parmin, kakak kandungnya, ibu pergi bersama laki-laki itu. Kami bertiga ditinggal di rumah. Setiap hari Mbah Putri mengirim makanan untuk kami.
Ridho, adik terkecilku yang saat itu berumur empat tahun, sering sekali menangis menanyakan kapan ibu kembali. Aku tidak bisa menjawab. Karena aku juga tidak tahu kapan ibu akan pulang. Ketika berangkat bersama laki-laki itu, ibu hanya berpesan agar kami menunggunya, ibu pasti menjemput. Namun, sudah hampir setahun, ibu tidak pernah menjemput kami dan tidak pernah memberi kabar.
Setelah kepergian ibu, aku bekerja membantu di toko milik tetangga yang tidak jauh dari rumah. Meski usiaku baru lima belas tahun, aku harus bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuk Rahim dan Ridho.
***
Sore itu sepulang kerja, aku melihat Ridho sedang memeluk seseorang. Dari belakang nampak perempuan itu sangat kurus. Rupanya dia adalah ibu. Ridho masih terus memeluk dengan erat, seperti takut jika lepas dan akan ditinggal kembali. Maklum saja, dia sudah menahan rindu hampir satu tahun. Melihatku datang, ibu menunduk. Menyembunyikan rasa takut, atau malu. Ibu kelihatan kusut dan kurus. Perbedaan yang lebih menonjol adalah perutnya yang membesar.
Ibu pulang dalam keadaan hamil sembilan bulan. Seorang diri. Tanpa ditemani lelaki yang dulu pernah memintaku memanggilnya bapak itu . Kemana dia? Aku tidak tahu. Aku juga belum mau bertanya kepada ibu. Tiba-tiba ibu menangis dan memelukku. Kami berempat, aku, ibu, Ridho, dan Rahim yang baru saja keluar dari rumah menangis sesenggukan sambil berpelukan erat.
“Maafkan ibu,” lirih suaranya. Kami, anak-anaknya, tidak ada yang menyahut. Hanya suara tangis kami yang menjawab.
Tidak lama kemudian Mbah Putri datang. Tangis ibu kembali pecah. Ibu memeluk dan berlutut di kaki Mbah Putri. Mbah Putri nampak kebingungan, kemudian mencoba mencari jawaban dari tangisan ibu.
Lepas maghrib, Mbah Putri, ibu, dan Lik Gito nampak berbicara serius. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mbah putri memintaku untuk membawa Rahim dan Ridho menjauh. Sayup aku mendengar ucapan Mbah Putri, “ Ya sudah. Tinggallah lagi di sini. Urus anak-anakmu.”
Keesokan harinya, ketika Rahim dan Ridho masih tidur, Mbah Putri, ibu, dan Lik Gito memanggilku. Mereka menjelaskan apa yang membuat ibu tiba-tiba pulang dan menangis. Ibu akan kembali tinggal bersama kami. Mengasuh dan merawat kami seperti sebelum ibu pergi. Tentu saja dengan bayi yang ada di dalam kandungannya jika sudah lahir nanti.
Bukan perkara yang mudah bagi ibu untuk tinggal di rumah ini kembali dengan keadaanya yang sekarang. Setelah ibu menerima lamaran laki-laki itu, ibu bukan lagi menantu Mbah Putri. Jika dulu sebelum menikah lagi, meski bapak sudah meninggal, ibu adalah menantu Mbah Putri dan ipar Lik Gito. Tetapi sejak dibawa pergi oleh suami barunya meninggalkan kami di rumah hanya bertiga, keadaan berbeda.
Banyak yang harus ditanggung oleh ibu. Omongan tetangga pasti pedas mengarah padanya. Meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Apalagi Ridho masih berumur empat tahun waktu ditinggalkan demi suami barunya, dan sekarang kembali dengan keadaan hamil. Untuk datang menemui Mbah Putri saja tentu berat sekali. Tetapi sepertinya ibu tidak ada piihan lain.
Setelah suami barunya meninggalkannya di rumah kontrakan di Bandung dalam kedaan hamil muda, ibu harus mencari makan dan membayar kontrakan sendiri. Ibu bertahan, berharap suami barunya datang menemui.
Ternyata, menjelang kelahiran bayinya pun, suami barunya itu tidak pernah kunjung kembali setelah membawa pergi kepingan-kepingan berwarna keemasan yang dulu dibelikan bapak sewaktu masih hidup. Kepingan yang kata bapak untuk persiapan kami sekolah.
Ibu benar-benar sudah jatuh dan tertimpa tangga. Demi melihat Ridho yang hampir setiap hari menatap ke jalanan menunggu ibu pulang, Mbah Putri menerima kedatangan ibu kembali.
Bayi dalam kandungan ibu sudah lahir. Kini sudah berumur tiga tahun. Kini anak yatim ibu ada empat. Bedanya tiga anak yatim karena memang bapak kandungnya sudah meninggal akibat kecelakaan. Sedangkan, satunya “yatim” karena bapaknya kabur entah kemana, bahkan sejak dia belum lahir.
Dulu aku berpikir, betapa malangnya nasih kami, aku, Rahim, dan Ridho karena ditinggal bapak ketika masih kecil. Ternyata bocah itu jauh lebih malang. Dia tidak pernah melihat bapaknya, lelaki yang dulu memintaku memanggilnya bapak itu.
Sebagai anak tertua, bebanku tentu jauh lebih berat sekarang. Harus menghidupi kami berlima. Sudahlah! Toh aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan. Menyalahkan ibu, juga sama saja. Ibu sudah sangat menderita. Tidak mungkin aku tambah dengan umpatan dan kemarahanku.
Mencari lelaki itu? Untuk apa? Bukankah lelaki itu memang tidak pantas masuk dalam lingkaran kehidupan kami? Setelah pergi membawa ibu dulu, dia juga tidak pernah mengirim kabar atau menemui kami. Bahkan membawa kabur kepingan emas peninggalan bapak, yang seharusnya untuk biaya sekolah kami.
****
Perjalanan dari Solo ke Semarang ini sangat istimewa bagiku. Setelah perjalanan jauh terakhirku sewaku bapak masih hidup dulu. Pak Sakir, pemilik toko tempat aku bekerja, mengajakku ikut bersama keluarganya ke Semarang untuk rekreasi. Hanya aku satu-satunya pegawai yang diajak. Mungkin Pak Sakir kasihan melihatku tidak pernah ke mana-mana. Hanya dari rumah ke warungnya setiap hari yang aku lalui. Atau karena aku dianggap pegawai yang paling rajin. Aku tidak tahu.
Sesampainya di tempat wisata, Pak Sakir mengajak kami memasuki rumah makan yang besar dan nampak hidangannya sangat lezat. Aku duduk di pinggir. Di sampingku ada seorang lelaki dan perempuan yang juga sedang makan. Begitu aku perhatikan, alangkah kagetntnya aku. Lelaki yang duduk tepat di sampingku itu adalah lelaki yang menjadi suami ibuku.
Dia tidak mengenaliku karena hanya bertemu dua kali. Itu juga sepintas. Kami tidak pernah terlibat percakapan yang lama. Tetapi aku sangat mengenalinya. Ketika dia membawa pergi ibu setelah ijab kabul dulu, aku perhatikan benar semua gurat wajahnya. Tidak ada yang terlewat sehingga meski bertahun-tahun tidak bertemu aku tetap mengenalinya.
Muncul keinginanku untuk menghampiri dan mendampratnya karena sudah menelantarkan ibu dan membawa pergi kepingan-kepingan warna keemasan itu. Tetapi untuk apa? Aku yakin kepingan itu sudah habis untuk perempuan yang ada di sampingnya. Dan toh aku juga tidak pernah mau dia menjadi bapak tiriku.