Lelaki yang duduk di lincak depan teras itu tampak gelisah. Matanya nanar. Mulutnya sesekali mendesah, entah oleh resah ataukah sebab apa. Yang pasti, surat di tangannya itu telah menyesaki pikirannya. Salah seorang kerabatnya di kampung telah memanggil dirinya untuk pulang. Kaus yang dia kenakan basah oleh keringat, dan perlahan membuatnya kedinginan. Akan tetapi, hawa dingin yang mulai menjalar di tubuhnya itu ternyata tak mampu mendinginkan suasana hatinya. Angin senja yang juga meniup selembar surat di tangannya itu mengayun-ayunkan perasaannya. Pantaskah ia pulang setelah semua dendam yang hari demi hari membakar jiwanya?
Ia adalah Barjo, pemuda yang merasa dikhianati oleh tanah kelahirannya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah kehilangan kedua orang tuanya, dia merasa hidupnya telah kehilangan arah. Ayahnya ditangkap oleh aparat karena terlibat sebuah pergerakan yang, kata orang, pro-wong cilik.
Tahun 1965 kala itu memang begitu mencekam. Siapa saja yang terlibat partai berlambang palu arit pasti menjadi buronan aparat dan berujung pada kematian. Setelah ibunya juga ditangkap, ia pun juga harus pergi sebagai orang yang terusir. Dan semakin hari ia semakin merasa, tanah pesisir itu tak lagi menghendakinya. Semua orang menganggap dirinya sebagai najis yang harus dihindari. Dan kini dendam itu tetap membara walau waktu telah lama berlalu.
Kopi di depan pemuda itu telah berhenti beruap. Waktu yang berlalu telah mengusir hawa panas minuman hitam itu. Seperti diingatkan oleh sesuatu, ia buru-buru menyeruput kopinya. Tak berapa lama, terdengar suara beduk maghrib menggelegar dari beberapa sudut kota. Pemuda bertubuh kekar itu menyeruput lagi kopinya. Entah sudah berapa kali kopi itu diseruputnya. Dan entah berapa kali pula adzan yang berkumandang selalu ia abaikan.
Dia adalah Barjo, lelaki yang resah itu, merasa panggilan adzan tak ubahnya sebagai penanda waktu belaka. Ia telah membuktikan, tubuhnya tetap kekar walau selalu mengabaikan panggilan dari langit itu. Dia sangat yakin, bahwa salat yang dia tinggalkan tidak akan membuat dirinya terpenjara atau akan mendapat hukuman lainnya.
Barjo baru beranjak dari kursi ketika Kemal, balita anak tetangga kosnya, mengajak salat maghrib di musala. Bukannya ikut salat, ajakan itu justru dijawab Barjo dengan sesungging senyuman pahit. Sepahit kopi hitamnya yang telah lama berpisah dengan gula ini. Itu belum seberapa. Beberapa waktu yang lalu Kemal malah dilemparinya dengan sendal karena terus mengajaknya salat sambil mengata-ngatainya. “Dasar anak PKI, tak mengenal Tuhan!” olok-olok Si Kemal saat itu sambil memegangi pantat.
Suara adzan bertalu-talu. Petang telah menyelimuti kota. Barjo kemudian berjalan menuju kamar mandi demi menghindar dari tatapan ibu kos yang berangkat ke masjid bersama para tetangga. Sebenarnya lelaki itu tidak malu dilihat ibu kosnya tak pernah salat. Dia hanya tak ingin ditagih utang biaya kos di depan para tetangganya yang berseliweran menuju musala.
Barjo mengusap rambutnya dengan handuk kumal berlubang tiga sambil menatap orang-orang kampung pulang jamaah salat. Orang-orang kampung yang lewat depan kosnya itu tak lupa memberikan lirikan sinis. Barangkali mereka sudah bosan menggunjingkan dirinya yang tak pernah terlihat ke masjid atau musala. Pemuda yang aktif sebagai staf ahli kantor kabupaten di bidang kebersihan yang setiap hari berjibaku dengan sapu itu sudah tidak menarik lagi untuk dibicarakan.
Barjo sudah duduk kembali di depan teras, menikmati sebatang rokok dan sisa-sisa kopi di gelas besar tadi. Ia mengabaikan ibu kosnya melintas masuk rumah. Mereka tidak saling sapa. Janda tanpa anak itu khawatir akan membuat Barjo tak nyaman jika dia terlalu memasuki dunianya. Dia harus berhati-hati, melakukan tindakan yang salah bisa berbuah kehilangan anak kos yang kini tinggal satu-satunya itu. Dan itu berarti ia akan kehilangan penghasilannya. Sebagai janda yang masih doyan makan dan belum bosan bersolek ia berkewajiban untuk mempertahankan anak kosnya itu. Bahkan dia sudah merindukan suasana rumah yang ramai oleh anak kos seperti dulu. Tentu saja tidak benar-benar merindukan keramaian. Lebih tepatnya, ia merindukan hari di mana ada banyak anak yang menyetorkan uang padanya. Selain itu, ia begitu merindukan hari di mana ada banyak pemuda menunduk penuh takdhim padanya ketika musim bayaran telah tiba dan mereka tidak punya apa-apa. Saat -saat seperti itu begitu membuatnya bahagia. Ia merasa begitu terhormat dan berkuasa. Sayangnya ia terlalu sibuk bersolek sehingga lupa mendandani rumahnya. Pencari kos pun jadi tidak tertarik dengan rumah pucatnya itu.
Dengan berpenerangan temaram rembulan, surat yang kini lusuh itu dibaca lagi oleh Barjo. Janda itu menyusul ikut duduk di teras tidak jauh dari Barjo.
“Jadi kamu beneran mau pulang kampung Jo?” tanyanya. Janda itu kelihatan gelisah. Ia memberanikan diri bertanya tentang masalah yang dihadapi anak kosnya itu, memperlihatkan simpati.
“Belum tahu, Bik.”
“Kalau kamu sendiri nggak tahu, lalu siapa yang tahu?” Barjo tak menjawab. Sebentar kemudian mereka saling diam, terjebak ke dalam pikiran masing-masing.
Surat itu sudah dua hari berada di tangan Barjo. Bentuknya telah kusut masai karena seringnya dibaca. Sama seperti hatinya yang juga tak kalah kusut. Walaupun mereka berdua terlihat tidak akrab, sebenarnya mereka cuma tidak ingin saling mengganggu kehidupan pribadi masing-masing. Ketika yang lain punya masalah mereka berdua tak ubahnya ibu dan anak yang sering kali berbagi keresahan. Kemarin, Barjo telah menceritakan keluh kesahnya itu.
“Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar, Jo. Apa kamu yakin kerabatmu itu memang benar masih mengharapkan kamu pulang? Sadarlah, Jo, waktu selama itu bisa mengubah banyak hal. Termasuk pikiran kerabatmu itu. Yang aku khawatirkan justru jika ada jebakan yang menantimu di sana.”
“Lima belas tahun hidup di kampung itu meninggalkan banyak sekali kenangan, Bik. Ada yang manis ada yang pahit. Di samping dendam yang masih terpendam, rasa rindu pun sering menggangguku. Dan sekarang aku ingin menengok kampung itu, rindu sekali rasanya. Aku tak peduli apa pun yang bakal terjadi di sana nanti. ”
“Kau pulang untuk memuaskan rindu atau dendam?” tanya janda itu tiba-tiba.
“Mungkin keduanya,” Barjo menjawab tangkas. Asap rokok kembali mengepul di depan mulutnya.
“Kalau kau memang mantab mau pergi, lunasi dulu semua utang-utangmu, Jo,” tegas Si Janda.
“Tentu Bik, akan aku bayar semuanya. Tapi setelah aku pulang kampung nanti. Kau tak perlu khawatir, uang hasil penjualan tanah warisan orang tuaku akan cukup buat aku tinggal di rumahmu ini bertahun-tahun lamanya,” Barjo menjawab lantas tertawa terkekeh-kekeh. Jarang sekali janda itu melihat Barjo tertawa. Ia merasa janggal.
Setelah kepulan-kepulan asap habis diisapnya. Setelah bergelas-gelas kopi ditandaskannya. Akhirnya Barjo membulatkan tekat untuk pulang. Jikalau kampungnya itu masih mau menerimanya, maka dia akan tinggal di sana. Namun jika tidak, dia akan jual tanah milik orang tuanya. Jikalau semua daratan tak ada yang mau menerimanya, dia akan merakit perahu dan hidup di atas lautan. Begitu tekadnya dalam hati.
***
“Sebaiknya kau tinggal di sini, Le. Tanah ini milik orang tuamu,” ujar seorang lelaki tua di depan Barjo. Dia telah sampai di kampung halaman sehari sebelumnya.
“Keinginanku saat ini hanyalah menuntut balas atas kematian kedua orang tuaku, Pakde,” jawab Barjo garang. “Akan kulumat nyawa Sardoko dengan tanganku ini.”
Lelaki tua itu terbengong dan bergidik ngeri mendengar jawaban Barjo.
“Apakah rumahnya tetap di balik bukit itu, Pakde?”
“Sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas kematian orang tuamu adalah Kiai Darsun, bukan lurah bodoh itu,” tukas lelaki yang dipanggil pakde oleh Barjo tadi. “Lurah Sardoko hanya menjalankan instruksi Kiai Darsun,” lelaki itu menambahi jawabannya disertai batuk kecil.
Barjo terdiam memahami maksud ucapan pakdenya. Selama ini orang yang dia ketahui sebagai yang paling berhak atas dendamnya adalah Lurah Sardoko. Nama Kiai Darsun tak pernah terlintas di benaknya. Dia masih ingat, sepuluh tahun yang lalu, dengan lidahnya yang fasih Sardoko telah mengusir dirinya, padahal waktu itu umurnya masih lima belas tahun. Bukan hanya itu, orang tuanya juga dia tangkap dan kabarnya ditembak mati tidak jauh dari kuburan desa itu. Lalu kenapa pakdenya mencatut nama Kiai Darsun?
“Kiai Darsun yang memegang pengaruh di desa ini. Lurah itu tunduk patuh jika disuruh olehnya. Jadi, jangan salah alamat menaruh rasa bencimu itu,” ucap paman Barjo meyakinkan.
Barjo terdiam, menakar alur pikirannya. Dia kemudian tersadar atas apa yang sebenarnya telah terjadi. Ungkapan-ungkapan kebencian ayahnya pada keluarga Kiai Darsun puluhan tahun yang lalu kini mulai teringat kembali. Cengkeraman tangannya menggenggam kuat. Tekadnya semakin bulat. Dendam harus terpuaskan!
Menjelang subuh udara begitu dingin. Angin berkesiutan di pohon-pohon beringin kemudian berembus perlahan di sudut-sudut pesantren. Di tempat lain suara para santri mengaji di gothakan-gothakan dan serambi masjid mengalun indah. Dari kamar mandi santri terdengar gemericik air wudhu menambah kesejukan suasana pagi.
Dengan bantuan tongkat kayu, Kiai Darsun berjalan tertatih-tatih menuju masjid sebagai rutinitasnya setiap pagi. “Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man nashir,” bibirnya mengucap dzikir lirih sambil mengayunkan langkah. Rumah pengasuh pesantren itu memang terletak agak jauh dari masjid. Rumah yang mepet dengan masjid milik mendiang abahnya sudah di tempati adik bungsu Kiai Darsun itu.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat menyongsong langkah kiai sepuh itu. Ia menyerang Kiai Darsun. Tubuh orang tua itu seketika tersungkur di tanah basah dan bersimbah darah. Dengan rasa sakit yang datang tiba-tiba itu, Kiai Darsun mencoba berdiri. Namun gagal, dia roboh lagi. Darahnya berceceran di tanah dan memerahkan baju putihnya.
“Rasakan sakitnya nyawa oncat dari ragamu Kiai! Ha-ha-ha,” pekik orang yang menyerang Kiai Darsun.
“Siapa kau anak muda?” tanya Kiai Darsun lemah. Tangannya memegang belati yang menancap di perutnya.
“Aku adalah anak lanang Samad yang telah kau bunuh sepuluh tahun yang lalu,” tukasnya dengan suara tangkas.
“Kau balas dendam padaku anak muda?”
“Tak perlu kau tanya itu, Kiai. Nikmatilah detik-detik terakhir kau menghirup napas yang segar ini!”
“Salah sekali kalau kau bilang aku membunuh Samad ayahmu itu anak muda.”
“Pembunuh mana yang mau mengaku jadi pembunuh?”
“Justru bapakmulah yang mencoba membunuhku, tapi ternyata gagal. Anak-anakku serta suadaraku menyelamatkanku. Namun kemudian mereka mati di tangan gembong PKI pimpinan bapakmu. Mereka tewas karena melindungiku,” suara Kiai Darsun tersengal-sengal. “Aku sama sekali tak menyuruh Lurah Sardoko untuk menangkap dan mengadili bapakmu. Itu sudah tugas mereka.”
Barjo berdiri memaku. Tubuhnya tiba-tiba terasa gemetar.
“Jangan mengada-ada, Kiai!” sergah Barjo mulai ragu.
“Aku bisa membuktikan kebenaran ucapanku, anak muda. Sayang sekali kau terlalu terburu-buru membunuhku. Sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Segera berlarilah menjauhi tempat ini sebelum santri-san-tri-ku me-nang-kap-mu…” suara Kiai Darsun mulai putus-putus.
Barjo terperangkap rasa bingung. Ucapan kiai pengasuh pesanten itu mungkin saja benar. Namun dia telah membunuhnya. Dari kejauhan kemudian terdengar teriakan. Para santri telah melihatnya duduk terbengong di samping tubuh Kiai Darsun yang lemah terkulai bersimbah darah. Cahaya lampu minyak tanah temaram yang terpasang di pinggir jalan menyinari tubuh sang kiai dan pembunuhnya.
“Ce-patlah per-gi. Aku su-dah me-maafkan-mu. Tapi me-re-ka tak akan per-nah bisa me-maaf-kanmu…”
Barjo berlari cepat. Namun sayang, dari semua arah, para santri Kiai Darsun telah mengepungnya.
Mentaraman, 14 Mei 2020