Dunia literasi saat ini sudah tidak asing lagi, termasuk bagi kalangan santri. Gerakan literasi menyebar bagaikan jamur di musim penghujan. Hal ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski terkadang, tulisan yang dibuat jauh dari manfaat, bahkan hanya melahirkan mafsadat, kegaduhan di tengah masyarakat yang melahirkan permusuhan dan pertentangan.
Tetapi, jika dunia tulis menulis ini digarap dengan apik, diniatkan untuk saling membagi kemanfaatan, maka tidak menutup kemungkinan untuk menjadi sebuah jembatan silaturrahmi yang saling mengasihi, saling mengayomi, dan interaksi sosial yang efektif-kreatif.
Tak terkecuali di Bulan Ramadan ini. Bulan yang bisa dijadikan momentum untuk berbagi (manfaat) melalui karya tulis. Jika dilakukan dengan benar, bukan tidak mungkin apa yang kita tulis menjadi amal ibadah dan mendapat pahala dari Allah.
Baginda Rasulullah saw bersabda, “Banyak amal perbuatan yang berbentuk amal dunia, lalu menjadi sebagian amal-amal akhirat dengan baiknya niat. Dan banyak amal perbuatan yang berbentuk amal akhirat, lalu menjadi sebagian amal-amal dunia dengan buruknya niat.” (Al-Hadits).
Dari hadis tersebut, Hadratus Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam Syarkh Ta’lim menjelaskan bahwa yang dimaksud amalan dunia dipandang sebagai amal ibadah adalah seperti makan. Pada awalnya, makan adalah sesuatu yang mubah, boleh. Namun jika diniatkan dengan cara yang baik, semisal makan karena ingin kuat beribadah kepada Allah, maka makan menjadi ladang akhirat, berpahala. Sebaliknya, amalan akhirat semisal salat atau naik haji, jika didasari oleh rasa pamer atau riya, maka hal tersebut dipandang sebagai amal dunia yang tidak ada faedahnya.
Begitu pun dengan kegiatan menulis. Jika di dalam hati telah terpatri niatan untuk saling berbagi, mengingatkan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, maka perbuatan ini menjadi ladang ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Di bulan suci ini, kita meluruskan niat untuk taqarrub dengan cara menulis. Selagi masih bisa, ada kesempatan tidak ada salahnya kalau kita mencoba berdakwah dengan cara berkarya tulis, menebar kebaikan melalui tulisan.
Ada beberapa manfaat berkarya tulis di Bulan Ramadhan. Pertama, diniati sebagai media taqarrub kepada Allah. Sebab, niat merupakan langkah awal positif untuk sebuah amaliyah atau perbuatan. Jika dalam menulis kita niatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, maka tulisan atau karya kita bernilai lebih di hadapan-Nya. Niat dengan tulus, ikhlas semata-mata mengharap rida Allah, merupakan awal langkah untuk menaiki tangga-tangga mencapai maqom sebagai kasih Allah.
Selain itu, menulis dengan niat yang positif akan berdampak baik bagi ketenangan jiwa. Nurani kita akan terasa damai bahkan saat kita telah menghadap kepada-Nya. Tidak ada yang mustahil untuk sebuah harapan, selagi kita terus memohon pertolongan kepada Allah.
“Janganlah kalian berputus asa atas rahmat Allah. Sesungguhnya tidak akan berputus asa kecuali orang-orang yang zhalim (aniaya).” (Al-Quran).
Kedua, memanfaatkan waktu luang dengan cara positif dan kreatif. Sebab, menulis juga dapat dijadikan sebagai relaksasi. Ketika banyak waktu dihabiskan untuk berbagai aktivitas, maka menulis dapat dijadikan “refreshing” yang memungkinkan agar pikiran kita rehat. Sejenak bernostalgia dengan tulis menulis, merupakan bagian terpenting untuk sebuah kebugaran. Mencari keriangan dengan cara menulis bisa dijadikan sebagai pilihan.
Waktu yang ada, saat senggang, adalah waktu yang tepat untuk menulis. Jika kita telah berkomitmen untuk menulis, kesempatan untuk itu pasti ada. Tinggal bagaimana kita mencoba mengatur waktu yang ada, sehingga kita dapat menuangkan ide atau gagasan dalam sebuah karya tulis.
Ketiga, berbagi melalui tulisan. Menulis bisa menjadi wadah silaturrahmi. Saling memberi dan menerima subyek tulisan adalah sesuatu yang mungkin. Maka menulis dapat dijadikan ajang saling bertukar pikiran, saling mengingatkan, dan saling memberi masukan (bukan kritikan yang destruktif).
Di dalam sebuah naskah karya terdapat pengetahuan yang mungkin diperlukan oleh orang lain. Maka, ilmu yang kita tuangkan dalam tulisan dapat dijadikan wahana pemahaman akan sebuah permasalahan. Dapat pula dijadikan sebagai rujukan untuk sebuah pengetahuan yang sifatnya positif.
Keempat, sebagai media introspeksi. Dalam hal ini, menulis juga dimanfaatkan sebagai media otokritik. Dengan menulis kita dapat memberikan nasihat terhadap diri pribadi, sehingga kita bisa lebih waspada terhadap pertanggungjawaban apa yang telah kita tulis.
Introspeksi melalui tulisan merupakan kewajaran yang mesti dikedepankan. Artinya, hal apa yang telah kita tulis tidak hanya memberikan pengetahuan untuk orang lain, tetapi juga memberikan penilaian (bermakna) terhadap diri sendiri.
Kelima, melatih untuk sabar. Menulis juga sebagai ajang melatih diri untuk sabar dan tabah. Sebab, tidak jarang kita mendapati “block-writing” sehingga emosi kita memuncak. Hal seperti ini menjadi latihan kesabaran untuk tetap tabah menghadapi problematika dalam menulis.
Saat kita membangun sebuah rencana tulis menulis, kita dituntut untuk sabar membaca atau mencari referensi yang relevan. Mencari bahan bacaan yang sesuai diperlukan kesabaran atau ketabahan sehingga apa yang akan kita tulis mencapai kualitas yang kita harapkan. Dalam hal ini, sabar dan menulis adalah dua hal yang berbeda, tetapi (ber)sama dalam membangun karya tulis yang berkualitas.
Selain membaca, di dalam Al-Quran juga dijelaskan akan pentingnya menulis. Apa yang akan dibaca kalau tidak ada tulisan? —makna ini mengacu kepada literlasi membaca secara leksis. Maka menjadi penting antara membaca dan menulis itu sendiri.
Di dalam Al-Quran yang ditekankan pertama kali adalah pentingnya membaca. Ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah adalah tentang iqra (membaca). “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu paling mulia. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (manusia tersebut).” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Ayat tersebut menekankan pentingnya membaca (iqra) dan menulis (qalam). Maka Allah menggandengkan membaca dan menulis dalam ayat yang pertama kali turun. Hal ini menunjukkan bahwa menulis, dalam subyek bahasan kali ini, sebagai bagian yang teramat penting di dalam kehidupan ini.
Selagi masih ada waktu, mari kita ciptakan sejarah. Karena ketika kita telah menghadap Tuhan, Robbul ‘izzah, tidak ada yang dapat kita wariskan kecuali amal-amal kebaikan dan terutama naskah karya tulis yang akan terus dikenang. Insya Allah. Aamiin!
Wallahu A’lam bis Shawab!
Madura, 09 Ramadan 1442 H.