“La Hukma Illa Lillah” (Tiada hukum kecuali dari Allah). Demikian ayat yang diucapkan oleh kaum Khawarij ketika memisahkan diri, keluar dari barisan Sayyidina Ali bin Abu Talib. Sebab kecewa dengan keputusannya yang memilih jalan tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan peperangan dengan pasukan Muawiyah.
Ayat itu pula yang dijadikan sebagai dalih pembenaran Abdurrahman Ibnu Muljam ketika menghunuskan pedangnya kepada sang khalifah keempat, Ali bin Abu Talib, sebagai lanjutan kekecewaan tersebut. Baginya, “Hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia.”
Peristiwa terbunuhnya Sayyidina Ali bin Abu Talib oleh seorang hafidz Qur’an ini, menurut sebagian besar umat Islam, menjadi penanda munculnya radikalisme dalam Islam.
Radikalisme dan Bahayanya
Radikalisme adalah sebuah paham yang menghendaki perubahan serta perombakan secara menyeluruh dan mendasar yang dalam penerapannya cenderung menggunakan cara kekerasan, bukan dengan jalan damai. Dalam beberapa literatur, radikal juga sering disebut sebagai sikap ekstrem atau berlebihan dalam beragama.
Sikap ekstrem dalam beragama ini sesungguhnya sangat dikecam oleh baginda Nabi Muhammad saw. Hal itu dapat kita lihat dalam beberapa hadisnya, antara lain: “Wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.” (HR. Ibnu Majah dan an-Nasa’i).
Kemudian dalam riwayat yang lain Nabi bersabda, “Celakalah orang-orang yang melampaui batas.” Nabi saw mengulang perkataan tersebut sampai tiga kali (HR. Muslim).
Beberapa hadis tersebut memberikan indikasi bahwa betapa Nabi Muhammad saw tidak menyukai mereka yang berlebih-lebihan bahkan dalam beragam (radikal).
Meski demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa faktanya, dalam perjalanan sejarah, fenomena ekstrem radikal juga muncul di kalangan umat muslim. Hal itu bermula dari penolakan kaum khawarij terhadap tahkim hingga berujung pada pembunuhan sang Khalifah Sayyidina Ali bin Abu Talib yang merupakan sahabat, sepupu, sekaligus menantu baginda Nabi Muhammad saw.
Terbunuhnya Sayyidina Ali bin Abu Talib itu merupakan bukti konkret adanya radikalisme di dalam umat Islam. Peristiwa itu membuka mata kesadaran umat Islam bahwa betapa berbahaya paham radikalisme, dan betapa penting untuk tidak sekadar membaca atau menghafal –tetapi juga perlu mempelajari, menelaah, dan memahami– Al-Qur’an, baik sebagai teks maupun sebagai konteks.
Sebab, seorang Adurrahman Ibnu Muljam yang membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, diketahui ternyata adalah seorang penghafal Al-Qur’an.
Literasi dan Vaksinasi Radikalisme
Sebagaimana yang diterangkan dalam beberapa sumber literatur bahwa radikalisme lahir dari semangat yang tinggi beragama, tetapi tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai. Dengan kata lain, kurangnya literasi tentang ajaran Islam menyebabkan lahirnya sikap ekstrem dalam beragama. Kesadaran literasi yang rendah memungkinkan tingginya potensi terpapar paham radikalisme.
Seperti pendapat seorang mufassir (Tafsir Al Misbah), M Quraish Shihab, bahwa salah satu penyebab utama munculnya paham radikalisme adalah karena kebodohan. Yaitu, kurangnya kesadaran tentang literasi (ajaran Islam).
Literasi sendiri adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, melek terhadap literasi akan menjadikan manusia memiliki suatu kemampuan dalam mengidentifikasi, mengolah, menerjemahkan, memahami, serta mengkomunikasikan isi dari teks yang terdapat dalam tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi.
Kemampuan dalam memahami serta mengkomunikasikan teks ke dalam konteks kehidupan inilah yang kemudian menjadi kunci utama bagi manusia dalam membuka dan mengungkap rentetan tabir persoalan yang dihadapinya, termasuk dalam menyikapi radikalisme.
Oleh karena itu, kesadaran tentang pentingya literasi bagi umat Islam menjadi sebuah keniscayaan agar dapat memahami ajaran agama dengan sudut pandang yang lebih luas, bukan dengan cara pandang yang sempit.
Sebagai penutup, literasi layaknya vaksin, yang akan mencegah atau paling tidak mengurangi risiko tertularnya virus radikalisme.