Di sudut perpustakaan pesantren yang lembap, jari-jariku gemetar membuka halaman Beyond Good and Evil karya Nietzsche yang kusembunyikan di balik sampul Syarh Alfiyah Ibnu Malik. Belum sampai sepuluh menit, tangan kasar Kiai Bahar mencabut buku itu dari genggamanku.
“Ini haram! Filsafat merusak akidah!” katanya, dengan suaranya menggelegar seperti azab.

Tapi anehnya, di rak bukunya sendiri, tersandar Sullam al-Munawraq—kitab mantiq (buku tentang logika) yang isinya tak lebih dari logika Aristoteles yang diislamisasi. Aku ingin bertanya: “Kiai, kalau filsafat itu haram, mengapa kita makan mentah-mentah pemikiran Yunani?” Tapi mulutku terkunci.
Al-Ghazali, ulama besar yang dikultuskan di pesantrenku, pernah menulis: “Siapa yang tidak menguasai mantiq, ilmunya tidak terpercaya.”1
Kata-kata itu terpampang di dinding musala, tapi tak seorang pun sadar: mantiq yang diajarkan Al-Ghazali adalah adaptasi dari logika Aristoteles—filsuf Yunani yang disebut “Guru Pertama” oleh Ibnu Sina.
Di sini, di pondok yang mengutuk Nietzsche, kami justru menghafal silogisme Aristoteles setiap Senin pagi. “Semua manusia akan mati. Socrates adalah manusia. Maka, Socrates akan mati.” Tapi coba ganti “Socrates” dengan “Demokrasi” atau “Hak Perempuan”, semua santri akan berteriak: “Itu filsafat kafir!”
Padahal, Al-Qur’an berulang kali menantang kita dengan pertanyaan “Afala ta’qilun?” (Apakah kalian tidak berpikir?).2
Tapi lihatlah realitas hari ini: ketika seseorang mengkritik kebijakan kiai, ia langsung dianggap “membenci ulama”. Ketika aku mempertanyakan fatwa yang tak masuk akal, jawabannya selalu: “Sudah, ikuti saja! Ini untuk kebaikanmu!”
Persis seperti orang-orang yang diejek Al-Qur’an: “Mereka berkata: ‘Kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Padahal, nenek moyang mereka itu tidak memahami apa pun.”3
Di abad ke-12, Ibnu Rusyd berdebat dengan Al-Ghazali tentang hubungan akal dan wahyu. Tapi hari ini, kita bahkan tak boleh berdebat. Filsafat dianggap bid’ah, padahal qiyas (metode analogi dalam fikih) yang diajarkan di pesantren adalah saudara kembar silogisme Aristoteles.
Contoh nyata: ketika kiai mengharamkan vaksin dengan dalil “ia mengandung babi”, jelas itu menggunakan struktur logika yang sama persis dengan Aristoteles:
– Premis Mayor : Semua yang mengandung babi haram (Qur’an 5:3).
– Premis Minor : Vaksin mengandung enzim babi.
– Kesimpulan : Vaksin haram.
Tapi cobalah tanya: “Apa bukti vaksin mengandung babi?” Mereka akan marah: “Kamu sok pintar! Ini sudah keputusan ulama!” Di sini letak kemunafikannya: logika Yunani dipakai untuk membenarkan dogma, tapi dilarang untuk mengujinya.
Lihatlah kitab Ushul al-Fiqh karya Al-Syafi’i. Di dalamnya, beliau merumuskan kaidah “Laa ijtihada ma’a an-nash” (Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash).4
Tapi bagaimana mungkin Al-Syafi’i sampai pada kesimpulan itu tanpa menggunakan logika?
Bahkan Imam Malik, pendiri mazhab Maliki, pernah berkata: “Aku hanya manusia yang bisa benar dan salah. Lihatlah pendapatku: yang sesuai Qur’an-Sunnah, ambillah; yang tidak, tinggalkan!”5
Ini adalah puncak kerendahan hati sekaligus keberanian intelektual—sesuatu yang langka di pesantren masa kini, di mana kiai dianggap maksum seperti nabi.
Maka, tak heran jika masyarakat kita terjebak dalam logical fallacy kronis:
– Ad Hominem: Menyerang pribadi, bukan argumen. Contoh: “Dia pendukung LGBT, pasti semua opininya salah!”
– Appeal to Authority: Menganggap fatwa kiai mutlak benar hanya karena ia punya banyak santri.
– Black-and-White Thinking: “Kalau bukan Sunni, pasti Syiah. Kalau bukan NU, pasti wahabi.”
Padahal, Al-Qur’an sendiri memerintahkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”6 Tapi kita lebih suka nurut buta daripada riset. Lebih memilih taqlid daripada tahqiq.
Aku bukan anti kiai. Aku hanya rindu pada semangat ulama klasik seperti Ibnu Taimiyyah, yang dipenjara karena berani mengkritik tradisi yang bertentangan dengan Al-Qur’an Quran.7 Atau Al-Ghazali, yang meski mengkritik filsuf, tak pernah membakar buku—ia menulis Tahafut al-Falasifah untuk berdebat, bukan membungkam.
Di akhir tulisan ini, aku ingin berteriak: “Mari kita hentikan kemunafikan intelektual ini!”
Jika kita mengharamkan Nietzsche, haramkan juga Aristoteles yang jadi tulang punggung kitab kuning. Tapi jika kita menerima logika Yunani sebagai alat, mengapa filsafat modern dianggap ancaman? Bukankah Al-Qur’an sendiri memuji ulul albab (orang yang berpikir) sebanyak 16 kali?
Seperti kata Nietzsche: “Kebenaran yang diucapkan dengan kebencian, tetaplah kebenaran”8
Tapi di sini, di negeri yang takut pada kata “mengapa”, kebenaran sering dikubur hidup-hidup—dibungkus jubah taqlid dan disemayamkan di balik tembok pesantren.
Mantiq adalah jantung dari ijtihad—tanpanya, hukum Islam akan dipenuhi fatwa ngawur dan kesesatan berpikir. Tapi ironisnya, kita hanya mengajarkannya sebagai ritual hafalan, bukan sebagai senjata untuk membongkar kebodohan.
Al-Ghazali pasti menangis melihat cucu-cucu intelektualnya takut pada filsafat, padahal mereka berdiri di atas pundak raksasa logika Yunani. Ulama klasik paham betul: logika Aristoteles adalah alat, bukan tujuan.
Masalahnya hari ini: kita terlalu sibuk mengutuk filsafat Barat, tapi lupa bahwa kitab kuning kita sendiri adalah hasil asimilasi genius antara akal Yunani dan wahyu Samawi.”
Referensi :
[1] Al-Ghazali, Mi’yar al-Ilm (Abad 11).
[2] QS. Al-Baqarah: 44, 76, 242; Al-An’am: 32; dll.
[3] QS. Al-Baqarah: 170.
[4] Al-Syafi’i, Al-Risalah (Abad 9).
[5] Ibnu Qudamah, Al-Mughni (Abad 12).
[6] QS. Al-Isra’: 36.
[7] Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Abad 14).
[8] Nietzsche, The Will to Power (1885).