“Cintailah Bahasa Arab karena tiga hal, yaitu karena aku adalah orang Arab, al-Quran dengan Bahasa Arab, dan bahasa penghuni syurga adalah Bahasa Arab.” (HR Imam Al Baihaqi, Al Hakim dari jalur Ibnu Abbas).
Di pondok pesantren, Bahasa Arab sudah menjadi “makanan” sehari-hari. Dalam aktivitas keseharian, kita dihadapkan pada berbagai kitab yang ditulis dalam Bahasa Arab. Dari kitab tafsir Jalalain, Bulughul Maram (hadits), Fathul Mu’in (fikih), dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahasa Arab menjadi keseharian dalam aktivitas para santri.
Di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Madura, juga tidak lepas dengan Bahasa Arab. Bahkan sampai ada lembaga khusus yang menangani “bahasa jannah” ini. Namanya Markaz Lughah Arabiyah, yaitu lembaga yang membagun nuansa Arab, terutama dalam komunikasi keseharian.
Salah satu kegiatan yang dikelola oleh lembaga Bahasa Arab ini adalah lomba Bahasa Arab dari berbagai aspek (pidato, makalah Bahasa Arab, dan percakapan Bahasa Arab). Lebih dari itu, lembaga ini juga menangani kursus-kursus percakapan Bahasa Arab bagi santri yang punya kemauan.
Pada suatu ketika Markaz Lughah Arabiyah ini menyelenggarakan berbagai lomba. Salah satu yang dilombakan adalah pidato Bahasa Arab. Saya yang memiliki kemampuan Bahasa Arab terbatas ikut mendaftarkan diri. Hanya ingin mencoba penguasaan Bahasa Arab yang selama ini diperoleh dari berbagai pengajaran. Dari kursus Bahasa Arab, kelompok muhadatsah dan muthalaah, dan juga dari pembelajaran di kelas. Dengan lomba ini diharapkan saya mampu bersaing dengan teman-teman santri yang lain.
“Ikut lomba pidato Bahasa Arab?” teman sepondok saya bertanya.
“Iya, kamu sendiri gak iku? Kenapa?”
“Gak tahu Bahasa Arab. Pidato Indonesia saja gemeteran, apalagi Bahasa Arab.”
“He-he-he, aku coba-coba saja.”
Pelaksanaan lomba pun tiba. Saya sudah mempersiapkan segalanya dan seadanya. Maklum, saya juga terbatas dalam kosa kata (mufradat) Bahasa Arab. Tetapi dengan berbekal keyakinan, saya maju sebagai peserta dalam lomba ini. Sebenarnya, yang diperlombakan saat itu bukan saja pidato Bahasa Arab. Tetapi ada beberapa lomba lainnya, seingat saya ada lomba percakapan, qiroah, dan drama Bahasa Arab. Digabung dalam satu kali perlombaan dengan cara diselang seling.
Dengan penuh keyakinan, saya maju ke depan mimbar. Membawakan pidato yang entah apa temanya pada saat itu. Yang pasti saya membawakannya dengan penuh kesungguhan. Meski tidak saya dengar gemuruh tepuk tangan, tapi saya yakin bahwa apa yang saya bawakan akan berhasil. Setidaknya dapat juara meski bukan yang pertama.
“Juara pertama lomba pidato Bahasa Arab adalah…,” (panitia menyebutkan nama saya). Tentu saja saja bangga. Di hadapan banyak santri saya dapat juara lomba Bahasa Arab. Padahal kemampuan Bahasa Arab saya sangat terbatas. Tetapi, itulah takdir. Jika Allah berkehendak, apa pun dapat terjadi. “Idza araada syai’an an yaquula lahu kun fayakun;. Saya pun menerima hadiah sebagai penghargaan atas juara lomba ini. Syukurlah, ikhtiar untuk mengikuti lomba Bahasa Arab terbilang sukses.
Akhir-akhir berikutnya, baru saya mengetahui bahwa peserta dari lomba saat itu ternyata hanya satu orang. Ya, itu adalah saya sendiri. Pantas saja saya dapat juara 1, tidak ada juara 2 dan juara 3. Salah satu panitia lomba saat itu, teman saya, sebut saja namanya Syam. Ia yang membocorkan bahwa peserta lomba pidato Bahasa Arab saat itu pesertanya hanya seorang. Syam sekarang ada di Bogor sebagai pebisnis yang sukses. Hingga detik ini kami (saya dan Syam) masih aktif berkomunikasi. Pasti Beliau masih ingat kejadian yang sulit dilupakan ini.