Kakek tua yang tak pernah beristri itu oleh warga dipanggail Ki Juna. Kini ia berjalan bungkuk dengan bantuan sebatang tongkat kayu yang ujungnya bengkok. Rambut, alis, kumis hingga jenggotnya putih. Warna putih itu kian terang karena berlatar kulit cokelat tua yang keriput, membentuk garis-garis halus, bertabur lingkaran hitam kecil-kecil. Napasnya selalu tersengal mirip kuda delman menempuh tanjakan.
Ki Juna terkenal karena keampuhan ludahnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa ludahnya bisa berkhasiat, padahal tak ada ritual khusus yang ia lakukan. Mulanya ia hanya gurau meludahi segelas kopi untuk diminumkan kepada anak yang bodoh, dan ajaibnya si anak malah jadi pintar sungguhan hanya dalam waktu seminggu. Ia sendiri sebenarnya nyaris tak percaya pada kejadian itu, tapi begitulah keajaiban terjadi, akal memang hanya sepotong lidi yang tak bisa menjangkau sebuah keajaiban. Ketenarannya sangat berpeluang menjadiannya kaya raya, tapi ia tak mau harta, itulah sebabnya ia kemudian bingung dan seperti merasa ketakutan dengan kelebihannya itu.
#
Setiap kali Ki Juna pamit pulang dari suatu hajatan, orang-orang akan berebut sisa kopi miliknya. Bahkan meski kadang hanya tersisa ampasnya sekalipun, orang-orang rela menjulur lidah ke dasar cangkir atau mencoleknya dengan ujung jari demi menyesap ampas kopi itu. Jika Ki Juna mengunjungi suatu rumah, biasanya tuan rumah akan menyuguhkan banyak minuman, harapannya tidak lain agar ada banyak ludah Ki Juna tersisa pada minuman-minuman itu. Sudah tersiar ke seantero jagat, bahwa ludah Ki Juna membawa berkah.
Konon anggapan itu bermula ketika Ki Juna bertamu ke salah satu rumah yang tuan rumahnya kebetulan punya anak bodoh. Saat itu tuan rumah menangis di depan Ki Juna sambil menceritakan keadaan anaknya itu. Ki Juna menenangkannya sembari mengelus bahu si tuan rumah, dan ia bersedia membantu memohon doa kepada Allah agar anaknya bisa cerdas. Ki Juna berdoa dan tuan rumah mengamini. Seusai berdoa, Ki Juna menyuruh sisa kopi miliknya yang tinggal menipis di dalam cangkir untuk diminumkan kepada anak si tuan rumah. Hanya dalam seminggu, anak si tuan rumah jadi cerdas. Teman dan guru di sekolahnya banyak yang kagum. Anak itu berubah pesat dari peringkat 19 ke peringkat 1. Si tuan rumah itu pun menceritakan perihal Ki Juna ke tetangga-tetangganya bahwa ludah Ki Juna membawa berkah. Warga semakin percaya hal itu ketika anak kepala desa dibacok orang tak dikenal dan Ki Juna melumasi luka itu dengan ludahnya, sekitar satu jam kemudian luka itu kering, dan bekas darahnya seolah jadi perekat yang menutupi garis luka di lengannya itu. Anak kepala desa mengaku tidak sakit lagi dan merasakan sebuah kesembuhan yang ajaib.
Sejak saat itu Ki Juna jadi incaran banyak orang untuk meminta keberkahan hidup dengan ludahnya. Mereka rela datang ke rumah Ki Juna, yang hanya terbuat dari sirap papan bolong beratap alang-alang, berlantai tanah, di serambinya ada lincak bambu bersisian dengan sebuah gentong tanah di atas batu umpak hitam. Di atas lincak itu pasti ada seekor binatang yang—oleh warga—dipercaya sebagai penjaga rumah. Binatang itu bergantian setiap hari, kadang ular, singa, kucing, harimau, kalajengking, dan lainnya. Rumah itu terletak di lereng gunung yang di sekelillingnya dipenuhi pohon, batu, dan perdu. Untuk sampai ke tempat itu, orang-orang harus melewati jalan terjal dan berbatu, yang meliuk-liuk di bawah ancaman duri-duri tajam.
Setiap hari pasti ada pengunjung di rumah itu, duduk berbaris agak rapi di tanah, antre menunggu ludah Ki Juna. Sedang Ki Juna duduk di kursi kecil, di dekat pintu yang daunnya dimakan rayap. Ia sibuk memuncratkan ludah sambil berusaha menolak setiap tangan yang hendak menyerahkan lembaran uang. Andai ia mau, sudah lama ia menjadi orang kaya yang berlimpah uang dari orang-orang peminta ludah itu. Tapi Ki Juna tidak begitu, ia tak ingin memanfaatkan orang lain demi memakmurkan dirinya. Ia tetap ingin jadi orang biasa seperti sebelum-sebelumnya; hanya hidup sendirian, bertani singkong dan menjala ikan di jurang, seraya terus menjaga salatnya agar tepat di awal waktu.
Sejak kecil ia sama sekali tak pernah berkeinginan menjadi dukun, kecuali ia hanya berusaha membantu beberapa orang yang terdesak dengan mencipratkan ludah setelah mulutnya memanjatkan doa. Dan entah kenapa ludahnya itu kemudian jadi manjur, sedikit saja yang baur ke air, maka airnya akan mujarab. Bisa menyembuhkan penyakit, menaikkan pangkat, melancarkan rezeki, dan lainnya. Ia sebenanrnya tidak tahu itu dan ia tidak ingin jadi orang terkenal dan kaya karena itu.
Suatu malam yang sunyi, Ki Juna memutuskan untuk kabur dari rumahnya. Ia sengaja menghindar dari orang-orang agar tidak terus-menerus membantu orang-orang itu memenuhi keinginannya, sebab banyak di antara keinginan orang-orang itu hanya demi nafsunya saja. Ki Juna memutuskan pergi ke arah utara, dengan sebatang tongkat dan sebuntal kain yang digendong, melewati jalur yang bukan jalan dengan hanya diterangi sesabit bulan tua yang mengambang di dahan randu. Ia melintasi lembah berpunggung rimbun ilalang. Menyeberangi sungai dangkal yang dihuni batu-batu dan ditumbuhi rumpun pandan. Azan subuh di kejauhan terdengar persis ketika kakinya menapak bibir sebuah gua. Bulan karam berganti pecahan garis cahaya di ufuk timur. Napasnya tersengal. Butiran keringat menyebar di keningnya. Ia lalu salat subuh setelah sepotong singkong yang diambil dari buntalan kain yang digendongnya dikunyah sampai habis.
Di bibir gua itulah Ki Juna merasa aman karena jauh dari pemukiman warga dan yang pasti sudah tak bertemu dengan orang-orang pemburu ludah. Dari gua itu ia membayangkan betapa rumahnya kini dipadati orang-orang yang menunggu ludah. Betapa orang-orang kampung akan geger setelah tahu bahwa dirinya sudah tiada.
#
Hampir sebulan Ki Juna bermukim di bibir gua. Ia merasa aman dan tenang tanpa harus disibukkan lagi dengan urusan ludah. Tapi kadang kala terlintas-lintas di pikirannya tentang bayangan anak-anak orang miskin di kampungnya. Ki Juna khawatir sebagian mereka ada yang sakit dan tak mampu membeli obat dan membutuhkan ludahnya. Ia juga khawatir ada anak kampung yang nakal atau bodoh yang perlu sama ludahnya, dan beberapa kekhawatiran lain yang terus bermuncuan di kepalanya. Berhari-hari ia memikirkan hal itu dengan hanya duduk bersandar batu, sambil mendongak ke langit, mencari sebuah jawaban.
Jika memang berguna, ia ingin memberikan ludahnya untuk membantu mereka yang lemah, tapi tidak untuk membantu mereka yang butuh ludah hanya untuk mendatangkan kekayaan agar bisa berfoya-foya dalam kesenangan. Ia berpikir, bukankah ludah itu amanah dari Allah untuk disampaikan pada yang membutuhkan. Ki Juna bingung, dalam satu sisi ia ingin tetap membantu sesama dengan ludah itu, tapi di sisi lain ia tidak mau jadi orang yang disanjung, dihormati dan diberi kakayaan karena ludah itu.
Setelah beberapa hari berpikir, mengernyitkan dahi sambil bertasbih, barulah kemudian ia menemukan cara pada suatu pagi, saat dirinya melihat seekor burung menyesap sisa-sisa embun yang ditampung selembar daun. Ia ingin agar ludahnya dicipratkan ke sebuah sumur hingga air dalam sumur itu menjadi air berkah.
Hari itu juga ia bejalan terseok dengan tongkatnya menuju pemukiman warga. Setelah menempuh jarak seitar 1 kilometer, ia menemukan sumur di sepetak kebun kelapa. Sumur itu dilengkapi timba karet yang terikat tali. Di sekitar sumur itu tanahnya becek, dipenuhi jejak, bekas bungkus sabun dan saset sampo. Ki Juna yakin sumur itu sering dikunjungi warga. Ki Juna berdiri menghadap kiblat, memejamkan mata sambil bersedekap, membaca doa dengan getar bibir, lalu mencipratkan ludah ke dalam sumur itu tiga kali. Beberapa saat kemudian dua bocah datang ke sumur itu untuk mandi.
“Jangan takut, Nak. Aku Ki Juna. Aku ingin memberi kabar kepadamu bahwa air sumur ini sekarang jadi air berkah. Kabarkan kepada warga ya. Katakan juga, aku Ki Juna,” ucapnya dengan suara santun.
Dua anak itu hanya mengangguk. Matanya agak temaram seperti tidak paham dan sedikit merasa takut. Ki Juna lalu kembali lagi ke bibir gua di tempat sepi itu. Dua anak itu tak jadi mandi, ia tergopoh pulang ketakutan dan menceritakan hal itu kepada warga. Warga pun berduyun-duyun ke sumur itu untuk mengambil air. Air itu terbukti membawa keberuntungan. Sumur itu berubah jadi tempat ramai. Setiap hari, sepanjang hari, bahkan malam hari dan dini hari, sumur itu ramai dikunjungi orang.
Semakin hari mata air sumur itu semakin menipis. Orang-orang berdesakan demi merebut air yang sudah hampir kering, hingga suatu hari terjadilah perselisihan berdarah, kejadian serupa terjadi lagi di hari-hari berikutnya, akhirnya warga menyebut sumur itu sebagai sumur petaka. Hampir setiap hari selalu ada pertengkaran di sumur itu yang menyebabkan pertumpahan darah.
Pada suatu senja yang senyap dan dingin, Ki Juna mengunjungi sumur itu. Ia terkejut saat melihat sumur itu dipagari bilah-bilah bambu dan diberi bacaan “Dilarang menimba di sumur ini”. Setelah bertanya pada seseorang yang kebetulan lewat di dekat sumur itu, Ki Juna baru tahu bahwa sumur itu telah menyebabkan perkelahian berdarah dan yang terlibat banyak yang mati.
Butiran air mata jatuh dari sudut mata Ki Juna setelah mendengar kabar itu. Ia menangis dan terisak, merasa dirinya sebagai penyebab utama kematian itu. Tiba-tiba ia melangkah ke arah sumur, membuang beberapa potong bambu, lalu melesak masuk, dan menuju mulut sumur itu.
Di sumur itulah ia mengakhiri sejarah, kenangan, riwayat dan semua tengek bengek ludahnya. Begitu tubuhnya diterjunkan ke bawah, tubuhnya terus mengawang, lama sekali, seperti tak kunjung menemukan dasar, hingga akhirnya ia jatuh di atas taman yang indah, ditumbuhi bunga-bunga segar, harum menyeruak di seantero udara. Ia tak percaya di dasar sumur ada taman. “Inikah yang disebut surga?” tanyanya.
ilustrasi: sketsa lukisan affandi 1971.