Ternyata Diwek tidak hanya melahirkan Asmuni, Tarzan, dan beberapa pelawak Srimulat lain. Salah satu kecamatan di Jombang, Jawa Timur ini, begitu versi menyatakan, juga berjasa melahirkan Ludruk, sebuah kesenian yang juga diklaim sebagai identitas Jawa Timur. Tak penting, apakah ini dagelan atau bukan, yang menarik justru keterangan selanjutnya.
Ludruk diciptakan oleh arek-arek Diwek, untuk merespons dan menandingi Kethoprak Mataram yang waktu itu merambah ke pelosok Jawa Timur. Seni lakon produksi Yogya-Solo ini selalu mengisahkan cerita-cerita kerajaan Jawa (versi resmi) seperti yang termaktub dalam berbagai buku sejarah, babad, serat, dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai pun adalah bahasa hubungan vertikal yang sangat formal dan resmi, kecuali yang dipakai para abdi yang mendagel (melawak). Suatu bahasa yang tak lazim beredar di dan tak familier dengan lidah masyarakat Jawa Timur.
Sebaliknya, seni lakon produksi Diwek ini – jelas waktu itu mereka tak menyebut nama, dan nama ludruk baru dikenal setelah kesenian ini beredar di luar Jombang – mengangkat cerita dan menggunakan bahasa yang lain. Cerita-cerita rakyat, legenda, dan mitos yang seluruhnya beredar secara lisan diangkat secara longgar, kreatif, dan diartikulasikan (diekspresikan) penuh humor, santai, dan tidak formal.
Bahkan dialog resmi (tuan-hamba) yang terdapat di dalam cerita rakyat, legenda, atau mitos tertentu selalu dihiasi dengan candaan dan lawakan. Meskipun kritik sosial dan sentilan politik yang memang menjadi bagian sangat penting kesenian ini bukan berarti tidak serius. Paling tidak, yang terakhir ini diperlihatkan dalam kasus ketika melakonkan “Pak Sakerah”, Ludruk lalu dicekal di semua tempat di Jawa Timur oleh Belanda dan Jepang.
Terkesan bahwa Jawa bagi orang-orang Diwek dan umumnya orang Jawa Timur, tidaklah tunggal seperti yang direpresentasikan Kethoprak. Orang Jawa – dan kejawaan – tidak hanya seperti yang terlukis dalam buku-buku sejarah, babad, serat, dan seluruh dokumen yang dibuat oleh dan untuk kepentingan elite politik dan kaum terpelajar kota. Masih banyak representasi Jawa lain yang tersebar di berbagai tempat, termasuk di dalamnya cerita rakyat, legenda, dan mitos yang selama ini kurang diakui oleh pemangku kekuasaan politik maupun intelektual.