Ludruk dan Budaya Tanding

62 views

Ternyata Diwek tidak hanya melahirkan Asmuni, Tarzan, dan beberapa pelawak Srimulat lain. Salah satu kecamatan di Jombang, Jawa Timur ini, begitu versi menyatakan, juga berjasa melahirkan Ludruk, sebuah kesenian yang juga diklaim sebagai identitas Jawa Timur. Tak penting, apakah ini dagelan atau bukan, yang menarik justru keterangan selanjutnya.

Ludruk diciptakan oleh arek-arek Diwek, untuk merespons dan menandingi Kethoprak Mataram yang waktu itu merambah ke pelosok Jawa Timur. Seni lakon produksi Yogya-Solo ini selalu mengisahkan cerita-cerita kerajaan Jawa (versi resmi) seperti yang termaktub dalam berbagai buku sejarah, babad, serat, dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai pun adalah bahasa hubungan vertikal yang sangat formal dan resmi, kecuali yang dipakai para abdi yang mendagel (melawak). Suatu bahasa yang tak lazim beredar di dan tak familier dengan lidah masyarakat Jawa Timur.

Advertisements

Sebaliknya, seni lakon produksi Diwek ini – jelas waktu itu mereka tak menyebut nama, dan nama ludruk baru dikenal setelah kesenian ini beredar di luar Jombang – mengangkat cerita dan menggunakan bahasa yang lain. Cerita-cerita rakyat, legenda, dan mitos yang seluruhnya beredar secara lisan diangkat secara longgar, kreatif, dan diartikulasikan (diekspresikan) penuh humor, santai, dan tidak formal.

Bahkan dialog resmi (tuan-hamba) yang terdapat di dalam cerita rakyat, legenda, atau mitos tertentu selalu dihiasi dengan candaan dan lawakan. Meskipun kritik sosial dan sentilan politik yang memang menjadi bagian sangat penting kesenian ini bukan berarti tidak serius. Paling tidak, yang terakhir ini diperlihatkan dalam kasus ketika melakonkan “Pak Sakerah”, Ludruk lalu dicekal di semua tempat di Jawa Timur oleh Belanda dan Jepang.

Terkesan bahwa Jawa bagi orang-orang Diwek dan umumnya orang Jawa Timur, tidaklah tunggal seperti yang direpresentasikan Kethoprak. Orang Jawa – dan kejawaan – tidak hanya seperti yang terlukis dalam buku-buku sejarah, babad, serat, dan seluruh dokumen yang dibuat oleh dan untuk kepentingan elite politik dan kaum terpelajar kota. Masih banyak representasi Jawa lain yang tersebar di berbagai tempat, termasuk di dalamnya cerita rakyat, legenda, dan mitos yang selama ini kurang diakui oleh pemangku kekuasaan politik maupun intelektual.

Tetapi bisa juga, orang-orang Diwek seperti halnya kebanyakan orang-orang Jawa Timur, memandang bahwa Yogya-Solo bukanlah representasi keagungan Jawa.

Bukankah bayang-bayang kehebatan Majapahit di masa lalu bagi orang Jawa Timur selalu muncul dan menguat ketika “Jawi Wetan dan Jawi Kulon” dihadapkan secara vis a vis atau dikontestasikan. Bayang-bayang yang kemudian menjelma menjadi kesadaran kolektif seperti yang acapkali kita saksikan dalam panggung politik dan kebudayaan. Stereotype “halus” (yang dialamatkan ke Yogya-Solo) dan “kasar” (dialamatkan ke Jawa Timur) seperti yang beredar dalam kehidupan sehari-hari hingga sekarang hanyalah riak-riak kecil dari kesadaran ke-majapahitan dan ke-mataraman.

Dan kesadaran itu, seperti yang terlihat dalam Ludruk maupun Kethoprak Mataram, ternyata tidak sekadar lukisan keagungan masa lalu, tetapi justru lebih representatif kesadaran elite-egaliter. Sebuah kesadaran yang tidak hanya menjelma di atas panggung politik seperti negara-rakyat dengan seluruh dinamikanya, tetapi juga menjadi alas hubungan sosial budaya sehari-hari.

Elitis, seperti yang dipanggungkan Kethoprak Mataram, adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan orang perorang atau masyarakat mana pun, karenanya tak perlu diingkari. Tetapi egaliter, sebagaimana yang dibawakan oleh Ludruk, juga mesti diakui dan mutlak harus senantiasa menguat dalam tatanan kehidupan yang dinamis. Ini bukan hanya soal identifikasi yang mematok bahwa masing-masing itu ada karena dipersandingkan, tetapi keduanya sebagai gejala psikologis dan sosio-kultural haruslah berhubungan secara dialogis.

Kesenian Ludruk memang memudar dan mungkin sia-sia berharap bangkit kembali meski untuk hal-hal lain yang lebih baru, tetapi ia telah mewariskan budaya tanding dengan dominant culture yang sangat penting. Soalnya, apakah kita mampu menjaga warisan itu, sebuah kemampuan memproduksi budaya tandingan dengan bahan baku kekayaan kultural arus bawah?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan