Barangkali dari kita masih asing dengan istilah santre colog (Bahasa Madura dari santri obor). Meskipun, saya meyakini, beberapa pembaca (utamanya yang bermukim di Madura) sudah memahaminya tanpa perlu dijelaskan.
Santre colog merupakan sebutan bagi mereka yang biasanya mengaji ke rumah kiai atau surau-surau kampung, dan berangkat dari rumah masing-masing dengan menggunakan obor, yang dalam bahasa Madura dikenal sebagai colog.
Santre colog —gampangnya— merupakan istilah yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak bermukim di pondok pesantren, melainkan mengaji dengan berangkat dari rumah masing-masing. Sebenarnya penyebutan istilah tersebut dipengaruhi oleh kondisi zaman pada waktu dulu.
Minimnya penerangan di kampung-kampung Madura pada saat itu membuat para santri terpaksa (baca; mengharuskan mereka) menerobos kegelapan malam untuk sampai ke rumah kiai atau surau yang dituju. Biasanya berangkat secara bersama-sama dengan anak-anak lain yang juga akan mengaji.
Namun, iklim keilmuan yang tercipta pada saat itu justru memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Perjuangan dan semangat yang disajikan membuat kesan bahwa semangat keilmuan mereka begitu membara.
Biasanya, fokus kajian santre colog adalah Al-Quran dan kitab-kitab kuno. Dengan dituntun oleh kiai langsung, para santri mengaji secara bergilir. Kitab yang dikaji adalah kitab-kitab klasik dan bersifat mendasar, seperti Safinatun Najah, Safinatus Shalah, Tariku Shalah, Sullam Taufiq, dan lain-lain.
Istilah lain yang sering atau santer diucapkan oleh orang Madura adalah kata kerja dari colog itu sendiri, yakni nyulog (memegang obor). Maksud dan artinya sama, hanya beda di penyebutan. Ada yang menyebut santre colog, ada yang menyebut santre nyulog. Namun, apa pun bahasa yang digunakan, santre colog tetap menjadi bagian dari kekayaan khazanah keilmuan, khususnya pesantren-pesantren di Madura.
Mulanya, santre colog hanya bertitik fokus pada mereka yang sudah saya jelaskan di atas. Namun, pemaknaannya sekarang sudah meluas pada pendidikan formal, yakni sekolah. Pelajar yang belajar di pendidikan formal di bawah naungan pesantren tanpa berstatus mondok juga diistilahkan dengan nyulog (santre colog). Namun, santre colog pada tulisan ini dimaksudkan pada santre colog dengan makna awal.
Sore menjelang petang, para santri akan bersiap dari rumah masing-masing menuju surau terdekat. Biasanya mereka akan salat berjemaah di surau atau mesjid. Bahkan, ada yang secara istikamah mengambil tugas sebagai muazin (orang yang azan). Selepas salat berjemaah, santri-santri itu akan dituntun untuk bersama-sama mengaji Al-Quran. Bisa dengan konsep tadarus atau sistem tetenan (dituntun oleh guru atau kiai).
Setelah selesai salat isya, beberapa santri secara bergilir mengaji kitab sesuai tingkatan masing-masing, yang biasanya bertahap. Kiai yang menuntun dalam pembacaan mengikuti setiap bacaan para santri, kemudian diikuti dengan penjelasan dari kiai. Atau, ada juga yang memilih menggunakan kitab kuning (kitab gundul tanpa harakat) sebagai bahan kajian. Namun prosedurnya tidak jauh beda, Kiai akan menjelaskan maksud atau deskripsi dari setiap kalimat yang sudah dibaca.
Nah, di sinilah letak keunikannya. Dulu, mayoritas santre colog tidak akan langsung pulang ke rumah selesai mengaji. Mereka akan bermalam di surau dan tidur dengan santri lain. Yang dilakukan sebelum tidur pun beragam, mulai dari belajar bersama sampai membicarakan hal-hal tentang apa pun itu.
Saat Subuh tiba, para santri akan salat berjemaah lagi. Sebelum kembali pada aktivitas masing-masing, mereka berberes-beres di surau atau ndalem kiai. Ada yang menyapu halaman, rumah kiai, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Setelah semuanya beres, kemudian mereka akan kembali pada aktivitas masing-masing.
Bahkan dalam hal ini ada guyonan khusus di kalangan mereka. Bagi mereka yang tidak mau menginap di surau akan dipanggil sebagai “anak mami”. Panggilan itu dilempar sebagai guyon sebab mereka yang tidak menginap di surau atau masjid dianggap sebagai anak manja (ingin selalu tidur dengan ibunya).
Namun, dewasa ini, barangkali sudah jarang kita temukan, atau bahkan tidak ada sama sekali apa yang disebut santre colog itu. Tradisi santre colog menginap di surau atau masjid seakan habis ditelan zaman. Kecenderungan menginap di masjid atau surau sudah tergantikan dengan tradisi bermalam di pinggir-pinggir jalan, kafe, dan tempat nongkrong lainnya.Padahal, kebiasaan menginap di masjid atau surau memiliki imbas yang baik terhadap perkembangan moralitas mereka sendiri.
Pertama, kebiasaan tersebut bisa menjadi tameng dari pergaulan-pergaulan bebas—yang saat ini—kerap menjarah kehidupan pemuda. Orangtua pun bisa lebih tenang dalam pengawasan.
Kedua, bisa meningkatkan rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Di sana akan tercipta sikap solidaritas antarsantri. Meskipun tidak berstatus mondok, namun sedikit banyak kebiasaan itu juga berimbas sebagaimana yang juga tercipta di dunia pesantren.
Ketiga, menginap di surau akan semakin membuka banyak peluang para santre colog ini memberikan abdi terhadap kiai. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah Subuh tiba, para santre colog biasanya akan bersama-sama (dengan santri lain) melakukan bersih-bersih di sekitaran masjid atau surau, tak jarang juga di ndalem kiai.
Iklim demikian akan semakin memperkuat hubungan antara santri dan guru di dalam mencari ilmu. Sebab, kita tahu, dalam dunia pesantren, relasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk mendukung proses ngalap barokah.
Keempat, sebagai cara untuk melatih santre colog sebelum mondok di pesantren. Sebenarnya, antara hanya menginap di surau dengan mondok di pesantren itu berbeda. Namun, saya meyakini—dengan cara ini—para santre colog yang akan melanjutkan mondok bisa melatih dirinya, berikut mental dan kesiapan lainnya.
Jadi, kebiasaan menginap di surau yang dilakukan oleh santre colog di masa dulu atau sekarang (meski sudah langka) melahirkan mozaik keilmuan yang unik. Namun, sayangnya di masa ini eksistensi itu sudah sangat jarang kita jumpai. Padahal, manfaat yang dihasilkan sangat baik. Wallahu a’lam.