Ekologi menjadi bagian penting dalam wacana kontemporer. Salah satunya di dunia kesusastraan. Adanya hubungan timbal balik antara alam dengan karya sastra memunculkan sebuah konsep tentang persoalan ekologi dalam sastra di antara para kritikus sastra.
Istilah ekokritik (ecocriticism) sendiri digunakan untuk istilah yang berkenaan dengan sebuah konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam serta lingkungan. Atau seringkali disebut dengan kajian ekologi dan sastra. Karena, alam dan lingkungan dijadikan sebagai media untuk dipelajari, diamati dan dianalisis sebagai objek kajian dalam karya sastra.
Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan-hubungan yang di dalamnya melibatkan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia sebagai ekosistem di jagat alam semesta. Sedangkan, kritik bisa dipahami sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Menghadirkan paradigma ekologi dalam sebuah kajian sastra dengan sendirinya menerapkan pendekatan ekologi untuk mendekati karya sastra. Ekologi memandang bahwa keberadaan suatu organisme dipengaruhi oleh lingkungan sekitar atau setidaknya ada semacam hubungan timbal balik dan saling memengaruhi antara organisme dengan lingkungannya. Di sini, makna lingkungan mencakup semua faktor eksternal yang langsung memberikan kontribusi pada kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi organisme. Sastra hadir untuk menjadi bagian dari organisme tersebut.
Istilah ecocriticism atau ekokritik pertama kali muncul dalam esai “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism.” Esai ini ditulis William Rueckert pada 1978. Pendekatan ekokritik dalam kajian sastra justru banyak dipakai di Amerika semenjak awal 1990-an.
Kajian ekokritik didasarkan kepada gagasan sebuah gerakan lingkungan modern di belahan dunia, sebagai sinyal untuk mengkritik isu-isu lingkungan yang semakin hari tambah mengerikan: pencemaran, hutan, bencana, bumi, dan hewan yang sudah meratapi nasib buruk di pojok-pojok semesta.
Ekokritik memiliki cara pandang terhadap setiap objek yang tampak di dalam mata rantai ekologis, dan dalam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat diselaraskan dalam teori mimetik. Cara pandang teori mimetik yang digunakan adalah paradigma imitasi Plato, yang pada akhirnya MH Abrams hadir dengan teori Universe sebagai pengembangan dari teori tersebut. Alam dianggap mempunyai peranan penting dalam mengisi ruang-ruang karya sastra. Karena alam ditempatkan sebagai cermin yang memantul pada dunia sastra, tak heran bila sering menjumpai karya sastra yang menggambarkan keindahan alam; hutan, laut, gunung, sawah dan juga manusia.
Dalam kaitan dengan kajian sastra, istilah ekologi mempunyai banyak pengertian yang bermacam-macam. Pertama, ekologi digunakan dalam pengertian yang dibatasi dalam konteks ekologi alam. Dalam kajian ekologi ini juga dikenal dalam dua model atau macam, yaitu kajian ekologi yang titik tekannya terhadap aspek alam sebagai sebuah inspirasi dari karya sastra dan kajian ekologi yang menekankan pembelaan terhadap kerusakan lingkungan, akibat ulah dan ego manusia. Kedua, ekologi yang digunakan dalam pengertian ekologi budaya yang ditentukan oleh pola hidup dan perbedaaan karakteristik suatu wilayah.
Ekologi Alam: Sumber Inspirasi dan Keberpihakan
Paradigma ekokritik pada dasarnya ditekankan pada setiap objek yang dapat dilihat dalam sistem ekologis. Di sini ekologi bisa dijadikan sebagai alat atau ilmu bantu dalam pendekatan kritik. Lebih-lebih alam dijadikan inspirasi dari lahirnya karya sastra, di sini dalam bentuk cerpen. Maka, untuk menganalisis cerpen “Macan” karya Seno Gumira Ajidarma yang dimuat di Harian Kompas (1/3/20), saya menggunakan sudut pandang ekokritik atau ekologi sebagai pendekatan untuk melihat dan membedah karya Seno Gumira Ajidarma-selanjutnya akan ditulis SGA.
Dalam cerpen yang menjadi judul Cerpen Pilihan Kompas 2020 ini, Macan, SGA menghadirkan latar hutan perdesaan (perkampungan). SGA sedang menelusuri kehidupan yang ada di dalam hutan, di sana ada banyak ekosistem yang berdiri, hidup dan mungkin juga menjadi mata rantai sumber kehidupan. Hutan dengan seperangkat kompleksitas dimasukkan dalam latar cerpen Macan bukan semata-mata ingin menikmati keindahan. Tapi, SGA menggiring dan mengajak untuk menjelajahi hutan yang sudah sakit, ekosistem yang pincang dan lebih-lebih kehidupan makhluk yang bernama macan atau harimau terancam punah.
Kemudian, SGA menjadikan harimau sebagai tokoh penting dari keseluruhan cerita. Sederhananya, Macan mengisahkan tentang balas dendam seeokor harimau betina yang pasangannya sudah dibunuh oleh si pemburu (manusia). SGA mencoba mengahdirkan persoalan mengenai fenomena yang akhir-akhir ini urgen di Indonesia atau bahkan di dunia internasional. Di mana, hewan “harimau” sudah diekploitasi, diburu, dan dijadikan mangsa tanpa ampunan. Entah melalui ritual atas nama nafsu manusia ataupun atas nama kapitalis.
“Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan.”
Manusia sering merasa paling kuasa atas alam dan lingkungan sekitar. Sifat semacam ini kemudian diekspresikan dengan cara memburu makhluk di luar dirinya. Salah satunya seperti tergambar dalam cerpen Macan, manusia menjadikan harimau sebagai mangsa yang harus dihabisi. Jika tidak, maka hewan peliharaan manusia: kambing, kerbau, dan sapi akan punah. Padahal, ketika kita mau jujur, terkadang justru manusia sendiri yang menjelma monster bagi hewan peliharannya sendiri.
“…dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau dikampung itu lebih sering diambil, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi.”
SGA kali ini berada di posisi hewan, dalam artian ia masih berpihak terhadap keberlangsungan ekosistem yang ada di hutan. Baginya pembunuhan atau pemburuan yang dilakukan oleh hewan liar tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang dilakukan manusia. Lihat, misalnya, ketika ada acara ritual keagamaan dan adat di sebagian kebudayaan malah memangsa sapi, kambing, kebau, dan babi. Lanskap seperti ini semakin mengerikan bukan? Dan saya tidak bisa memastikan sertiap tahunnya ada berapa jumlah hewan yang dikorbankan atas nama agama dan budaya.
Hal ini dalam kajian ekokritik memposisikan alam “hutan” sebagai potret yang mampu menginspirasi, dan kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra. Sekali lagi, satra tidak berdiri sendiri, ia dikelilingi banyak ekosistem, salah satunya kehidupan yang ada di dalam hutan berupa mahkluk hidup bernama harimau. SGA, lagi-lagi masih dengan komitmen yang menganggap bahwa setiap ekosistem yang ada di alam ini mempunya keterkaitan yang urgen, saling membutuhkan satu sama lain.
Ekologi Budaya
Manusia adalah bagian dari lingkungan, bukan kekuatan luar yang memberikan dampak dan berbahaya terhadap keberadaan lingkungan. Hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan (hewan, air, tanah dan tumbuhan) justru semakin membumikan budaya Timur yang menganggap bahwa manusia dan lingkungan harus sejajar, tidak menempatkan lingkungan sebagai objek mati yang harus digerus sedemikian rupa. Lingkungan sangat dihormati, dan kemudian lahir mitos tentang kekuatan yang ada di alam semesta, lebih-lebih lingkungan hidup.
Ekologi budaya dalam konteks sastra, lebih terhadap bagaimana manusia melihat pola dan karakteristik wilayahnya. Interaksi antara makhluk hidup dan lingkungan atau manusia dengan hewan harus saling melengkapi. Hal ini tentu diawali dengan pertanyaan tentang dirinya, dan apa yang mesti dilakukan sebagai hewan yang berada di planet bumi?
SGA dalam cerpen Macan memotret dengan penuh getir. Ia lagi-lagi memposisikan manusia hewan buas dan mengerikan. Lihat bagaimana ketidakberdayaan harimau betina melihat pasangan yang dijagal dan dikuliti di hadapannya.
“…menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.”
Hanya bermodal ego, manusia bisa bertingkah seenaknya sendiri. Padahal sebagai makhluk hidup yang juga bergantung pada makhluk lain. Bukan malah memangsa hewan, apalagi hanya untuk memenuhi hasrat keindahan di dinding rumah dan kantor, misalnya. Tapi, SGA tidak mau terjebak dalam kekejaman manusia, ia berpandangan lain. Harimau yang kehilangan pasangannya juga mempunyai kesempatan untuk melakukan hal yang sama: membunuh atau membalas dendam.
“Namun, kali ini sudah terlambat.”
Pelan-pelan kita diajak menafsiri apa yang terjadi setelah manusia memangsa sesama makhluk ciptaan Tuhan di bumi. Dan, jangan-jangan kita juga berada di posisi si pemburu, membantai siapapun yang berada di luar kita.
Referensi:
Siswo Harsono, Siswo. 2008. “Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan.” Jurnal Ekokritik: Semarang. Undip.
Garrerd, G. 2004. Ecocriticisme. New York: Routledge.
Endraswara, Suwardi. 2016. Ekokritik Sastra; Konsep Teori dan Terapan. Yogyakarta: Morfalingua.