Pesantren. Istilah yang sudah melekat di kalangan kita semua. Istilah tersebut tidak melulu dimiliki oleh kalangan elite ataupun klan darah biru saja. Melainkan, tukang becak, tukang cukur, tukang semir sepatu, guru, pejabat negara, dan masyarakat awam bisa membawa anaknya untuk belajar di pesantren. Tidak heran jika pesantren menjadi bagian terpenting sejarah Indonesia, lebih-lebih jika melihat fungsi serta manfaatnya sampai hari ini.
Dalam perkembangannya, eksistensi pesantren sebagai pendidikan nonformal menjadi objek penelitian berbagai kalangan. Ada yang meneliti sistem pendidikan pesantren, struktur sosial internal pesantren, bahkan tipologi pesantren yang berjalan hingga sekarang. Ali Anwar dalam buku Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri mengurai bahwa pesantren terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, tipologi atau kelompok pesantren dibuat berdasarkan elemen yang dimiliki. Kedua, tipologi atau kelompok pesantren didasarkan pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan.
Di samping sebagai institusi pendidikan nonformal, pesantren juga sebagai wadah komunitas sosial kemasyarakatan yang memberikan kontribusi positifnya di berbagai aspek. Tidak jarang, alumni pesantren di tanah air mampu mengejewantahkan nilai-nilai pendidikan yang diperoleh ke arah yang lebih baik. Meskipun, tidak jarang optimalisasi nilai pendidikan pesantren masih terbatas pada simbol/tradisi agama di masyarakat. Misalnya, tahlilan, slametan, barzanji, serta praktik tradisional lainnya.
Pendidikan pesantren sesungguhnya tidak hanya berkutat pada penanaman nilai moral-spiritual an sich. Tetapi, penanaman wawasan keagamaan, spirit kebangsaan, persoalan ekonomi umat, perdamaian dunia, dan semangat egaliter menjadi subkajian dalam pesantren. Tidak bisa dimungkiri bahwa isu-isu tersebut akan berdampak serius kepada eksistensi pesantren salaf. Dampak nyata dari isu tersebut adalah terwujudnya lembaga yang intens berbicara dan mengkaji isu tematik yang berkembang di masyarakat seperti terbentuknya lembaga bahsul masa’il sebagai respons atas fenomena persoalan sosial-kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, konteks pembahasan pesantren tidak melulu pada bagaimana sistem pendidikan terimplementasi dengan sistemik. Tetapi, ada ciri khas tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah pesantren di mana pun. Yaitu, pengajian klasik/tradisional. KH Abdurrahman Wahid dalam Buku Tradisi Orang-orang Pesantren menjelaskan bahwa ciri utama dari pengajian tradisional di pesantren adalah sistem pengajarannya ditekankan pada penangkapan harfiah atas sebuah kitab tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pembacaan kitab secara komprehensif dan dilanjutkan dengan pembacaan kitab lain yang berbeda sebagai penunjang wawasan. Dengan demikian, pemberian pengajaran dengan model pengajian tradisional bersifat nonklasikal, yaitu tidak didasarkan pada unit mata pelajaran meskipun menggunakan metode klasikal.
Lebih lanjut, pola pengajaran, sistem pendidikan, dan kurikulum pesantren didukung dengan hadirnya lembaga formal (baca: madrasah) di internal pesantren dinilai sebagai langkah solutif yang ditempuh oleh kiai maupun pemangku kepentingan. Kondisi ini bertujuan supaya output santri mampu berdiri sejajar dengan sekolah formal lainnya tanpa harus menghilangkan kurikulum pesantren yang sudah berlaku bertahun-tahun lamanya. Oleh karenanya, tidak heran jika beberapa pesantren mendirikan madrasah di samping menyelenggarakan pengajian klasikal agar nilai-nilai egaliter pesantren tetap tidak hilang dengan hadirnya sekolah unggulan atau sekolah umum selama ini.
Dalam perjalanannya, eksistensi madrasah di pesantren mendapat respons positif para akademisi tanah air. Misalnya, Ridlwan Nasir dalam buku Mencari Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan mengurai bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Yang termasuk ke dalam kategori madrasah ini adalah lembaga pendidikan ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, mu’allimin, mu’allimat, serta diniyah. Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah Islam yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem dunia pesantren yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pokok dari pendidikan pesantren. Unsur tersebut adalah kiai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran mata pelajaran agama Islam
Oleh karenanya, Karel A Steenbrink, orang Belanda yang intens mengkaji pesantren, mengatakan bahwa lembaga agama itu memang berkembang ke arah yang mirip dengan sekolah. Namun, ia berada karena lebih menekankan pada ajaran agama. Sistem pengajaran al-Quran dan kitab yang sudah memakai sistem kelas ini di Indonesia pada umumnya disebut madrasah baik yang ditambah pelajaran umum maupun yang seratus persen agama.
Dalam penuturannya, sistem madrasah dan pengajaran agama yang diberikan dengan sistem sekolah termasuk wewenang Kementerian Agama. Tujuan utama dari kebijakan Kementerian Agama ini adalah untuk menghapuskan perbedaan antara sistem sekolah dengan madrasah. Kementerian Agama tidak begitu ikut campur dalam sistem pesantren dan beberapa bentuk pengajian al-Quran. Ia hanya menawarkan bentuk pembaharuan dan mengambil alih sistem madrasah. Hal ini di satu pihak memberikan wewenang untuk memasukkan sebanyak mungkin pengajaran agama dalam sistem sekolah. Sedangkan, di pihak lain berarti memberikan perhatian kepada materi umum dalam sistem madrasah.
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu wadah pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya hendaklah pula mendapatkan perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah. Karena lembaga pendidikan ini memberikan pendidikan agama maka ia dimasukkan dalam Kementerian Agama. Dalam pada itu, Kementerian Agama menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah disusun secara klasikal dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama.
Madrasah dianggap sebagai sumbangan kepada bangsa baik menurut tuntutan zaman modern maupun menurut Islam meskipun ada kesan bahwa mata pelajaran umum belum diajarkan secara optimal. Oleh karenanya, madrasah menjadi media utama dalam menanamkan akhlak yang baik untuk anak-anak bangsa Indonesia ke depannya. Wallahu A’lam.