Maha Guru Para Ulama Nusantara

334 views

Jejaknya samar-samar bagi generasi kekinian. Tapi, nama KH Sholeh Darat selalu dirujuk sebagai salah satu maha guru para ulama Nusantara. Begitu rendah hatinya, KH Sholeh Darat baru mau menulis kitab tafsir setelah dibujuk-bujuk Raden Ajeng Kartini.

Satu riwayat menyebutkan, Kiai Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan  Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820. Riwayat lain menyebutkan tempat kelahirannya di Bangsri.

Advertisements

Nama panggilan semasa kecilnya adalah Sholeh. Sholeh dibesarkan di dalam keluarga agamais yang cinta tanah air. Ayahnya adalah Kiai Umar, yang merupakan ulama cukup terpandang dan disegani di kawasan pantai utara Jawa. Kiai Umar juga tercatat seorang pejuang Perang Jawa (1825-1830), sekaligug orang kepercayaan Pangeran Dipenogoro. Kiai Umar beserta santri-santrinya ikut berperang melawan Belanda.

Kepada ayahandanyalah, pertama-tama, Kiai Sholeh Darat belajar ilmu agama. Saat usianya mulai remaja, Sholeh Darat dikirim untuk berguru kepada Kiai M Syahid, seorang pengasuh Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Daerah Karesidenan Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri.

Kiai M Syahid merupakan cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749). Kepada Kiai M Syahid ini, Sholeh Darat belajar beberapa kitab fikih, di antaranya Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Minhajul Al-Qawim, Syarhul Khatib,Fathul Wahhab, dan lainnya.

Setelah itu, Kiai Sholeh Darat berguru kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih Ibn Asnami Kudus. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Tafsir Al-Jalalain. Kiai Sholeh Darat juga sempat menjadi santri kalong di daerah Semarang. Tercatat, ia pernah belajar nahu-saraf  kepada Kiai Ishak Damaran Semarang.

Riwayat lain juga menyebutkan, ia belajar ilmu falak kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad Bin Hadi Buguni, seorang mufti di Semarang. Juga mengaji kitab Jauhar Al-Tauhid dan Minhajul Abidin kepada Kiai Ahmad Bafaqih Ba’ahvi Semarang dan belajar kitab Al-Masail Al-Sittin kepada Syekh Abd Al-Ghani Bima Semarang.

Di luar Semarang, Kiai Sholeh Darat juga sempat berguru kepada Kiai Ahmad Alim Bulus, Gebang, Purworejo. Kepadanya ia mempelajari ilmu tasawuf dan Tafsir Al-Quran. Oleh Kiai Ahmad Alim, Kiai Sholeh Darat diperbantukan di Zain al-Alim untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiang, Desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo.

Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Sholeh Darat diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Uniknya, keduanya singgah dulu beberapa bulan di Singapura. Sambil menanti izin resmi dan keberangkatan kapal, Kiai Umar dan Sholeh Darat juga sempat mengajar agama di sana. Seiring waktu, santrinya semakin banyak, terutama dari kalangan etnis Melayu dan Jawa. Tak lama, para santri ikut mengantarkan kepergian keduanya ke Tanah Suci.

Selepas menunaikan ibadah haji, Kiai Umar wafat di Mekkah dan dimakamkan di sana. Kiai Sholeh pun menetap di Mekkah selama beberapa tahun untuk berguru kepada komunitas ulama jawi (Bilad al-Jawi), yakni komunitas para ulama dan santri yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah guna memperdalam ilmu agama.

Selama berada di Mekkah, Kiai Sholeh Darat berguru kepada beberapa ulama yang masyhur kala itu. Mula-mula, Sholeh Darat belajar ilmu-ilmu akidah, khususnya kitab Umm al-Barabin (karya al-Sanusi) kepada Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki.

Selanjutnya, ia berguru kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Sholeh belajar fikih dengan menggunakan kitab Fath Al-wahhab dan Syarh al-Khatib, serta nahu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibn Malik.

Di saat yang sama, ia juga belajar kitab Ihya Ulumuddin (karya Imam  Ghazali) kepada Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Shalih Al-Zawawi Al-Makki. Lalu belajar kitab al-Hikam (karya Ibn ‘Atha’illah) kepada Syekh Ahmad Al-Nahrawi al- Mishri al-Makki, belajar kitab Fath Al-Wahhab dari Kiai Zahid dan syekh Umar al-syami, belajar kitab Syarh al-Tahrir kepada Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Kiai Sholeh Darat juga belajar Tafsir al-Quran kepada Syekh Jamal, seorang mufti mazhab Hanafiyyah di Mekkah.

Dari beberapa gurunya di Tanah Suci tersebut, Kiai Sholeh mendapatkan “ijazah”. Ijazah dalam tradisi pesantren adalah pencantuman nama dalam suatu mata rantai (sanad) pengetahuan yang dikeluarkan oleh seorang guru kepada murid yang telah menyelesaikan pelajaran atas kitab tertentu, sehingga si murid dianggap menguasai dan dapat mengajarakan kepada orang lain. Ijazah ini hanya diberikan kepada murid-murid senior dan khusus pada kitab-kitab besar dan masyhur, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al Khatib, dan Ihya Ulumuddin.

Dari sini pulalah apa yang diperlajari Kiai Sholeh Darat dari kitab-kitab tersebut menjadi sumber inspirasi dan berpengaruh terhadap sebagian besar karya tulisannya, yang sebagian besar dicetak dalam tulisan pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).

Sebelum kembali ke Tanah Air, Kiai Sholeh Darat diberi kehormatan mengajar di Tanah Suci untuk beberapa waktu. Setelah itu, diketahui Kiai Sholeh Darat mengajar di Pesantren Salatiga yang terletak  di Desa Maron, Kecamatan Loana, Purwerejo. Pesantren ini didirikan sejak abad ke-18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad Alim, Kiai Muhammad Alim, dan Kiai Zain al-Alim.

Belakangan, Kiai Ahmad Alim mengasuh sebuah pesantren yang bernama al-Imam, di Desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun, Kiai Muhammad Alim mengembangkan pesantrennya juga berada di Desa Maron, yang kini dikenal dengan Pesantren al-Anwar. Jadi, saat itu kedudukan Kiai Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai Zaini al-Alim.

Namun sampai detik ini penulis tidak mendapatkan informasi yang pasti mengenai sistem pengajaran yang ditularkan KH Sholeh Darat. Cuma dari beberapa bacaan, baik dari jurnal maupun manuskrip, diketahui bahwa KH Sholeh Darat selalu menerjemahkan kitab-kitab yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Madura dengan bentuk tulisan Arab Pegon, seperti Kitab Hikam dan lainnya. Dengan kitab-kitab hasil terjemahannya itulah KH Sholeh Darat mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya.

Di antara para tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Sholeh Darat adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, Kiai R Dahlan Tremas (seorang ahli falak, w. 1329/1939), dan Kiai Amir Pekalongan. Bahkan, Raden Ajeng Kartini pernah menjadi santri Kiai Sholeh Darat.

Berkat kegigihan Kartini-lah, Kiai Sholeh Darat bersedia menulis sendiri kitab tafsir Al-Quran. Kitab tersebut diberi judul Faidhur-Rohman, yang merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon.

Ini menjadi taukid (penguat) bahwa metode penulisan dalam sistem pengajaran kepada santri sangat efektif  dan harus dilestarikan. Oleh karena itu, jejak-jejak intelektual Islam justru muncul dalam bentuk naskah-naskah klasik keagamaan yang berisi berbagai pengajaran Islam, seperti tauhid, tafsir, akhlak, sastra arab, fikih, hingga tasawuf. (Muhammad Abdullah, hal 147).

Multi-Page

One Reply to “Maha Guru Para Ulama Nusantara”

Tinggalkan Balasan