Mahsa Amini: Pelajaran dari Iran

250 views

Di Iran, jilbab telah banyak “makan korban”. Mula-mula seorang perempuan bernama Mahsa Amini, kemudian yang lain-lain.

Gara-gara Mahsa Amini yang “tak becus” mengenakan jilbab, mata dunia kini menyorot negeri para mullah itu. Kisahnya bermula ketika pada Selasa, 13 September 2022, Mahsa sedang berada di Teheran, Ibu Kota Iran. Hari itu Mahsa ditangkap polisi moral Iran. Musababnya, perempuan cantik itu dinilai “tak sempurna” menutupi kepalanya, sehingga rambutnya yang indah itu tergerai diterpa angin, dan mengganggu mata laki-laki.

Advertisements

Hari itu Mahsa langsung digelandang oleh polisi moral dan dijebloskan ke dalam tahanan. Entah apa yang terjadi, di sana Mahsa pingsan. Ia kemudian dirujuk ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan. Tapi naas, nyawa Mahsa Amini tak tertolong dan tiga hari kemudian dinyatakan meninggal dunia.

***

Yang mengejutkan, kabar kematian Mahsa Amini itu langsung menyulut demonstrasi besar-besaran dan memicu kerusuhan hampir di seantero negeri Iran. Begitu banyak warga Iran di berbagai daerah yang keluar rumah untuk mengikuti demonstrasi guna meluapkan amarah. Luapan amarah itu, di antaranya, dilakukan oleh para demonstran perempuan dengan cara mencopoti jilbab mereka dan membakarnya. Bahkan, mereka juga melakukan aksi potong rambut di tempat-tempat umum.

Seakan para demonstran perempuan itu hendak mengatakan: jilbab dan rambut itulah biang kematian Mahsa Amini. Dan, apa yang dialami Mahsa Amini bisa saja menimpa mereka. Semua seperti sedang menunggu giliran.

Dan benar saja. Mahsa Amini bukan satu-satunya korban. Dalam gelombang protes itu banyak jatuh korban jiwa, baik dari pihak pengunjuk rasa maupun dari aparat. Sebab, aparat merespons gelombang unjuk rasa itu dengan sikap keras, hingga memicu bentrokan kedua belah pihak di berbagai tempat. Selama hampir dua pekan masa kekacuan itu, sumber resmi pemerintah Iran menyebut ada 17 orang tewas. Namun, sumber-sumber independen menghitung jumlah korban tewas mencapai 36 orang. Bahkan ada yang menyebut 50!

Belum ada gambaran akan seperti apa gelombang kemarahan ini berakhir. Dan apakah pemerintah Iran akan sudi mengubah kebijakannya? Sebab, otoritas Iran tetap bersikeras aksi para pengunjuk rasa itu ilegal, dan semua yang terlibat demontrasi itu akan diadili. Sementara itu, warga Iran, terutama para aktifis, akan terus menuntut diberikannya hak-hak dasar dan perlindungan terhadap martabat rakyat.

***

Gelombang aksi unjuk rasa ini disebut-sebut sebagai yang terbesar sejak 2019. Pada November 2019, Iran memang diguncang unjuk rasa besar yang mengakibatkan sekitar 100 demonstran terbunuh. Namun, saat itu pemicu protes adalah kenaikan harga bahan bakar minyak hingga 50 persen.

Namun, yang mengejutkan kali ini pemicunya adalah perkara jilbab, sesuatu yang sesungguhnya sudah akrab dengan tradisi masyarakat Iran bahkan sebelum negeri itu berdiri. Iran, seperti halnya Arab Saudi atau negara-negara agama (Islam) lainnya, sejak mula memang menerapkan syariat Islam, atau hukum-hukum positifnya bersumber dan didasarkan pada ajaran syariat. Salah satunya ya perkara jilbab atau hijab ini.

Dalam sejarah negara modern, Iran bersama Arab Saudi dikenal sebagai negara yang paling ketat dan keras dalam menerapkan syariat Islam. Bedanya, Arab Saudi mengikuti garis Wahabi, sedangkan Iran secara resmi menganut Syiah. Karena itu, hubungan kedua negara ini selalu “panas-dingin” dalam geopolitik regional. Meskipun begitu, dunia tahu bahwa kedua negara tersebut sama-sama menerapkan syariat Islam secara ketat dan keras, termasuk dalam hal bagaimana perempuan harus berbusana dan beraktivitas di ruang-ruang publik.

Berbeda dengan di Iran, akhir-akhir ini otoritas Arab Saudi mulai melakukan “relaksasi” terhadap regulasi yang selama ini dinilai membatasi hak-hak dasar dan peran perempuan di ruang-ruang publik. Misalnya, perempuan sudah boleh menyetir kendaraan sendiri di jalanan umum. Perempuan Arab Saudi juga sudah boleh bekerja di bidang-bidang yang selama ini “dimonopoli” kaum pria. Perempuan Arab Saudi juga sudah boleh menampang di lapangan terbuka untuk menonton sepak bola atau berjingkrak-jingkrak saat menonton konser.

Yang terbaru, otoritas Arab Saudi mencabut aturan yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab di ruang-ruang publik. Jangan dikacaukan dengan melarang perempuan mengenakan jilbab, tapi aturan yang mewajibkannya yang dihapus. Artinya, kini di Arab Saudi perempuan boleh tidak mengenakan jilbab. Berjilbab atau tidak, keputusannya diserahkan kepada masing-masing individu. Negara tak ikut campur soal keyakinan rakyatnya.

Karena itu, hari-hari ini di wilayah Kerajaan Arab Saudi mulai terlihat banyak perempuan wira-wiri beraktivitas di ruang-ruang publik tanpa mengenakan jilbab atau hijab. Dandanan modis rambut mereka bukan lagi menjadi pemandangan yang ganjil. “Relaksasi” itu dimaksudkan untuk memberi peran lebih besar kepada kaum perempuan agar berkontribusi dalam program pembangunan Arab Saudi yang disebut Vision 2030.

Apakah apa yang terjadi di Arab Saudi itu memiliki andil terhadap masifnya gelombang protes di Iran yang dipicu kematian Mahsa Amini? Apakah kaum perempuan Iran “cemburu” dengan kebebasan yang diperoleh saudaranya di Arab Saudi?

Mungkin saja ada korelasi antara apa yang terjadi di Arab Saudi dengan di Iran. Namun, masih agak sulit untuk bisa menarik benang merah yang tegas. Kita hanya bisa memberi tafsir relatif terhadap kemarahan perempuan dengan simbolisasi pembakaran jilbab dan ramai-ramai potong rambut.

Dan apa yang terjadi di kedua negara itu, dari kaca mata Indonesia yang mayoritas penduduknya juga muslim, terbilang unik. Sebagian situasi di Arab Saudi saat ini boleh dibilang sedang bergerak mendekati apa yang selama ini mewujud di Indonesia: rakyatnya diberi kebebasan menjalankan perintah agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Di saat yang sama, ada sebagian kelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan kondisi negerinya seperti di Iran, misalnya, di mana negara harus ikut campur dalam mengatur dan mengawasi rakyatnya dalam beragama. Sementara itu, dengan simbolisasi pembakaran jilbab dan ramai-ramai potong rambut, masyarakat Iran tampaknya sedang menoleh ke Arab Saudi.

Konstelasi segitiga ini menggambarkan apa yang saya maksud dalam sebuah artikel berjudul “Berjilbab itu Hak, Bukan Kewajiban” di duniasantri.co beberapa waktu lalu. Di mata hukum negara Iran, berjilbab adalah kewajiban, bukan hak. Di mata hukum negara Arab Saudi, semula berjilbab adalah kewajiban, namun kini “direlaksasi” menjadi hak.

Berbeda dengan keduanya, sejak awal, sebagai sebuah republik, Indonesia telah menempatkan perkara beribadah menurut agama dan keyakinan masing-masing dalam domain hak, bukan kewajiban. Hal itu terjadi sejak “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dicoret sebelum dijadikan Preambul UUD 1945.

Seandainya tujuh kata itu lolos, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, bisa dipastikan hari ini Indonesia akan seperti Iran. Di mana-mana akan ada polisi moral untuk mengawasi seluruh umat Islam di Tanah Air agar taat dalam menjalankan syariat. Jika suatu saat ada seorang nenek yang sudah pikun lupa mengenakan jilbab saat membeli ikan asin di pasar, ia akan digelandang ke kantor polisi seperti nasib yang dialami Mahsa Amini. Sebab, di pasar rakyat itu, yang selalu siaga berjaga bukan cuma tukang parkir dan tukang palak, tapi juga para polisi moral.

Kita beruntung Indonesia tetaplah Indonesia. Semoga apa yang dialami Mahsa Amini tak pernah terjadi di sini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan