Malamnya Malam di Hutan Selawangan

61 kali dibaca

Sari merapatkan kain batik yang membalut tubuhnya dengan perut yang membuncit. Ia sedang mengandung tujuh bulan. Kehamilan yang akan menjadikan malam di Hutan Selawangan makin kelam.

Angin malam bertiup kencang di sela pepohonan yang menjulang tinggi menaungi Hutan Selawangan. Gemerisik daun dan ringkik serangga malam menghadirkan suasana yang menikam. Dari balik jendela bambu, Sari melirik ke arah hutan yang gelap —gelap yang seolah ingin menerkamnya dalam lipatan ketakutan.

Advertisements

“Oh, Sundar suamiku belum pulang juga. Cepatlah pulang, mas. Aku sudah ketakutan,”  gumamnya sambil mengusap perut yang baru saja ditendang jabang bayi.

Suami Sari, Sundar, seperti halnya para lelaki lain di Desa Kedungsari, malam ini berada di tengah hutan lebat. Mereka berkelompok, berjalan hati-hati di bawah naungan pepohonan besar, dalam pencarian yang sarat risiko. Tujuannya hanya satu: meringkus siluman macan putih dan rombongannya, makhluk yang diyakini warga desa sebagai titisan leluhur yang murka.

Sudah berbulan-bulan desa dilanda ketakutan. Ternak hilang satu per satu.  Kambing, sapi, dan ayam lenyap tanpa jejak. Hanya darah dan bulu yang tersisa, meninggalkan kengerian. Namun yang paling mengguncang adalah nasib seorang gadis remaja yang ditemukan tewas di tepi hutan. Tubuhnya hancur, seolah dicabik binatang buas. Sejak saat itu, desa terperangkap dalam rasa takut yang mendalam —bukan hanya terhadap macan, tapi terhadap kekuatan gaib yang mereka yakini tak bisa dilawan dengan kekuatan manusia biasa.

Beberapa kali masyarakat juga sempat melihat kelebatan macan yang jumlahnya lebih dari lima ekor. Mereka berseliweran di dekat permukiman. Jejak, bekas cakaran, dan beberapa helai bulu yang jatuh makin meyakinkan masyarakat; macan putih bersama rombongannya adalah biang kerok dari petaka di desa ini.

Sari, yang tengah mengandung tujuh bulan, karena merasa tak bisa tidur, akhirnya memutuskan duduk di depan rumah panggungnya. Udara malam yang dingin dan pekat menelusup lewat celah-celah bambu, membuat bulu kuduknya berdiri.

Malam yang pekat akan jelaga hitam, kini diempas kesiur angin yang berembus kencang. Tiupan itu membawa aroma lembab tanah dan dedaunan yang basah oleh hujan yang turun sepanjang siang. Hati Sari dipenuhi kecemasan.

Kini Sari menatap ke arah hutan yang gelap pekat. Bayangan pepohonan menjulang seolah berbisik, menceritakan rahasia yang tak terjangkau oleh manusia. Hatinya cemas, membayangkan suaminya yang sekarang berada di dalam hutan, berhadapan dengan sosok yang begitu ditakuti.

“Apa yang terjadi jika Sundar tidak kembali?” Pikiran itu menembus jiwa Sari, seperti tombak, menambah kegelisahan yang sudah ia rasakan sejak pagi tadi.

“Bukan hanya binatang, Sundar… itu siluman,” bisik Sari pada dirinya sendiri, sambil terus berdoa.

Sari tak bisa menyingkirkan ketakutan yang tumbuh semakin dalam. Ketakutan itu bukan hanya pada macan yang berkeliaran, tetapi juga pada kutukan yang bisa menimpa keluarganya.

Masyarakat Kedungsari percaya bahwa jika seseorang melanggar batas-batas keramat, terutama dengan memburu siluman, keluarga mereka akan terkena kutukan. Sari memegangi perutnya, merasakan gerakan kecil dari anak yang dikandungnya.

Dirinya tahu, sebenarnya gerombolan hewan itu merasa terganggu dengan berbagai penebangan hutan liar. Rumahnya makin menipis, hewan-hewan makanannya banyak yang mati, dan dirinya tetap harus makan. Sebenarnya ia mau menyuarakan hal ini, tapi, suara perempuan tidak pernah didengar di tempatnya tinggal. Akhirnya ia hanya bisa merutuki para pembuka lahan liar, yang terus berdatangan dari kota-kota besar.

***

Desa Kedungsari adalah wilayah yang penuh dengan kepercayaan lama. Banyak yang masih meyakini bahwa hutan adalah tempat para leluhur tinggal. Terdapat aturan yang tidak tertulis: jangan pernah berburu atau melukai binatang buas di sana, terutama macan putih, yang dianggap keramat. Namun, ketika nyawa mulai terancam, kepercayaan lama mulai goyah. Para pemuda desa akhirnya bersepakat untuk memburu siluman macan putih itu, meski Sari selalu merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tepat ketika kejadian penemuan gadis muda yang mati di perbatasan hutan dan desa, warga sepakat untuk memburu rombongan Macan yang mengancam. Bayangan cabikan di perut, dada robek, dan mata mendelik, menjadi lecutan kemarahan para penduduk untuk menghabisi sang penguasa hutan desa itu.

“Kau tidak boleh pergi, Sundar!” ucap Sari semalam, ketika suaminya menyiapkan tombak dan pisau.

“Ini sudah jadi keputusan tetua desa. Kalau tidak dibunuh, dia akan datang lagi. Mungkin kali ini orang lain. Bisa jadi, satu minggu nanti, macan itu akan memakan anak kita juga. Kau sendiri tahu, hutan ini semakin sempit. Siluman itu merasa terpojok, dan kelaparan,” jawab Sundar tanpa menoleh.

Hutan yang dulunya lebat dengan naungan pepohonan kini memang sudah hampir di beberapa bagian jadi lahan terbuka. Ada yang dibangun untuk lahan pertanian, perumahan, bahkan ada juga untuk pabrik-pabrik rotan.

“Aku takut… aku sedang hamil besar. Kalau kau pergi berburu, apa yang akan terjadi pada anak kita?” tutur Sari dengan suara melembut, tapi ada ketakutan mendalam di sana.

Sari teringat cerita-cerita lama, tentang lelaki yang membunuh ular sawah dengan menindih tubuh ular itu dengan batu besar. Lantas setiba di rumah, ternyata istrinya tengah berjuang melahirkan buah cinta mereka. Tapi anaknya lahir dengan tubuh kaku tak bisa digerakkan. Kutukan itu nyata adanya.

Nasihat orang tua yang menceritakan ada seorang yang mengusir anjing liar agar tidak menggangu istrinya yang lagi hamil juga menciutkan hati Sari. Sang ayah mengusir anjing liar itu dengan cara menombak ke arah telinga sang anjing, berharap tidak sampai membunuh. Beruntung, mata tombak hanya mengenai daun telinga, yang menyebabkan telinga itu robek.

Si anjing pun lari tunggang-langgang. Namun apa? Ketika sang anak lahir, ternyata kuping kanannya tidak ada. Sehingga bayi itu hanya hidup dengan telinga sebelah kiri. Dan bayi itu adalah adik Sari sendiri.

Mendengar berbagai keluh kesah, ketakutan, dan berbagai curhatan dari Sari, Sundar pun menatap mata sang istri dengan lembut. Diselaminya jernih ayu khas mata sunda itu. Sambil tersenyum,  Sundar mencoba meyakinkan istrinya itu.

“Aku harus melindungi kalian. Apa yang terjadi kemarin… tak bisa kita biarkan terulang,” kata Sundar. Sari yang mendapati jawaban seperti itu, pun hanya bisa diam. Meski hatinya penuh dengan kekhawatiran.

***

Tiga hari masa perburuan. Pada malam ke tiga ini, lagi-lagi Sari dihadapkan pada suasana tidak nyaman. Malam ini begitu mencekam, hingga ketakutan terasa merayap dalam setiap sudut rumah panggung Sari. Bayang-bayang kelam dari hutan di ujung desa terasa makin pekat, seolah ikut menonton, menunggu. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengingat bahwa Sundar tak sendiri.

Suaminya bersama para pria desa lainnya, semua bersenjata, siap menghadapi apa pun yang ada di dalam hutan. Mereka pasti akan pulang. Namun, sekujur tubuh Sari tetap diliputi kegelisahan yang tak bisa hilang. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan buruk: Sundar terluka, dikepung, atau bahkan —Sari tak berani membayangkan lebih jauh.

Suara gemerisik tiba-tiba terdengar dari luar. Suara itu seperti desisan halus, namun cukup membuat jantung Sari berdegup kencang. Ia terlonjak, seakan ada sesuatu yang mendesak dari kegelapan. Jari-jarinya gemetar saat ia meraih pintu dan mengintip dari celah-celah bambu. Di luar sana, samar-samar, ia melihat bayangan besar bergerak di tepi hutan.

Bayangan itu bergerak cepat, namun lembut, melintasi rerumputan seperti hantu malam. Setiap langkahnya nyaris tanpa suara, tapi dampaknya sangat nyata —membawa hawa dingin yang menusuk kulit Sari.

Sari masih belum bisa mengetahui makhluk apa itu. Mengira itu adalah babi hutan, Sari berusaha menajamkan penglihatan. Saat mencoba fokus pada makhluk itu, Sari tersentak pada suara berdebam dari arah belakang rumah.

Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari belakang rumah, seperti entakan kaki yang besar. Sari berharap itu Sundar, kembali dengan selamat. Dengan tergesa, ia melangkah menuju dapur dan membuka pintu belakang. Melihat pemandangan di depan mata, Sari sontak mematung.

Macan putih itu ada di sana. Matanya yang hijau bercahaya menembus gelapnya malam, menatap langsung ke arahnya. Tubuh besar, ototnya terlihat tegang, tapi gerakannya lembut, seperti predator yang sedang mengintai. Napas macan itu terdengar samar, hampir seperti erangan rendah yang bergetar di udara.

Sari merasakan bulu kuduknya berdiri, tubuhnya beku dalam ketakutan. Kakinya tak mampu bergerak, seolah akar-akar dari tanah menariknya untuk tetap di tempat. Macan itu mendekat, namun tiba-tiba berhenti, seperlemparan batu dengan kaki Sari.

Seperti merapal mantra, mulut macan itu bergerak-gerak. Sari pun kian ketakutan. Saat tiba-tiba macan itu makin mendekat, Sari tidak kuat lagi. Di antara sadar dan pingsannya, ekor matanya menatap pasti. Sosok macan itu perlahan berubah menjadi Sundar.

“Mas Sundar…” lirih Sari, lantas gelap menyelimutinya.

Sleman, 14 September 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan