Dalam sejarahnya, sepert halnya di Indonesia, selain sebagai tempat ibadah, masjid seringkali menjadi pusat penyebaran keilmuan dan gerakan perjuangan melawan penjajah. Masjid Kebondalem, misalnya. Masjid yang berada di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogjakarta ini keberadaannya menjadi saksi bisu bahwa masjid juga berfungsi sebagai pusat penyebaran keilmuan dan gerakan perjuangan melawan penjajah bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, Masjid Kebondalem tercatat sebagai salah satu masjid yang tertua di Nusantara. Masjid ini didirikan oleh Kiai Muhammad Shareh yang merupakan ulama atau ahli agama yang menyebarkan Islam di wilayah Sedayu. Masjid berdiri sejak abad ke-18 M.
Dalam sejarahnya, pada awalnya Masjid Kebondalem dibangun dengan berdinding bambu. Rupanya, pembangunan masjid ini sebagai salah satu ikhtiar perjuangan dari Kiai Shareh dalam menyebarkan ajaran Islam. Melalui Masjid Kebondalem ini, Kiai Shareh berhasil mengajak masyarakat setempat untuk untuk meramaikan masjid. Selain beribadah, juga belajar ilmu agama kepada Kiai Shareh.
Tapi perjuangan Kiai Shareh untuk menyebarkan Islam di Sedayu tidak mulus-mulus amat. Mungkin karena bangunannya hanya berdinding bambu, suatu hari masjid tersebut hangus terbakar. Tinggal puing dan abu. Menurut penuturan Nuryanto (Interview Nuryanto: 2023), kebakaran tersebut disulut jatuhnya lampu teplok (ublik), dana pi segera menjalar melahap bangunan masjid.
Kemudian, masjid tersebut dibangun kembali dengan bahan yang sama. Baru di masa putra Kiai Shareh, yaitu Kiai Khalifah, Masjid Kebondalem bisa dibangun kembali secara permanen dengan beton dan tembok. Menurut penuturan Bibit (Interview Bibit: 2023), Kiai Khalifah merupakan orang dekatnya Pangeran Diponegoro dan bergelar Pangeran Cokro Kertopati.
Sejak periode Kiai Khalifah memimpin Masjid Kebondalem, semakin banyak masyarakat yang datang dan berguru atau menimba ilmu kepada Kiai Khalifah. Masjid Kebondalem pun terus berkembang sampai menjadi pusat pendidikan dan pengaderan masyarakat untuk belajar agama. Pesatnya perkembangan Masjid Kebondalem menjadi pusat penyebaran ilmu agama dan pengaderan itu bersamaan dengan masa-masa peristiwa Perang Jawa (Perang Diponegoro).
Menurut tutur cerita dari keluarga, Kiai Khalifah pergi meninggalkan masjid ikut mengawal peperangan yang pimpin oleh Pangeran Diponegoro (Interview Ibnu Arofah: 2023). Dalam Jejaring Ulama Pangeran Diponegoro Abad XX (Bizawie, 2019), Kiai Khalifah memang memiliki jalur sanad perjuangan dalam Perang Diponegoro. Hal ini jika dilacak melalui silsilah nasab istri Kiai Khalifah ternyata memiliki jalur saudara dengan Pangeran Diponegoro sebagai cucu dari Sultan Yogjakarta II (HB II). Silsilah nasab ke atas dalam catatan keluarga menyebut, Nyai Khalifah ke Kiai Muhammad Ciluk Ponorogo ke Nyai Guru Pulosari ke RT Purwonegoro Sumenep ke Kanjeng Adipati Purwodiningrat Pacalan (Magetan) ke Kanjeng Sultan Yogjakarta II (HB II). Sedangkan, silsilah nasab dari Kiai Khalifah ke atas, yaitu Kiai Khalifah ke Kiai Muhammad Shareh Kebondalem ke Kiai Sahid Yogyakarta ke Kiai Imam Mursyid (Syekh Abdul Mursyid) bergelar Cokroaminoto Sendang Pitu, Kiyudan, Yogyakarta. Menurut cerita, Sultan Agung pernah berguru kepada Kiai Imam Mursyid ini.
Setelah kepergian Kiai Khalifah, masjid yang ditinggalkan tersebut tetap dirawat dan dijaga oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Menurut cerita, ketika itu Kiai Khalifah pergi begitu saja, tanpa meninggalkan pesan hendak pergi ke mana dan untuk keperluan apa. Sembari menunggu berita keberadaan sang kiai, masyarakat Sedayu hanya berdoa untuk keselamatannya.
Arsitektur Masjid Kebondalem
Arsitektur bangunan masjid di Jawa identik dengan masjid tanpa kubah, dengan komposisi bangunan atap tumpang berlapis atau bertingkat yang memiliki tiang penyangga (soko guru) serta serambi pada bagian depan (Dewi Adityaningrum, Titis Srimuda P: 2020). Hal ini juga sama dengan komposisi arsitektur bangunan pada Masjid Kebondalem yang memiliki atap berlapis tanpa kubah serta tiang penyangga (soko guru) dan serambi masjid.
Pada Masjid Kebondalem, bangunan atapnya berbentuk persegi empat yang semakin ke atas semakin mengerucut. Bagian ini terdiri dari tiga lapisan atap atau tiga tingkat yang disebut dengan tajug trimangkurat, dan paling atas disebut mahkota masjid. Kemudian, tiang masjid terdiri dari empat pilar penyangga (soko guru) yang terbuat dari kayu Jati.
Pada bangunan masjid yang berbentuk seperti itu, memiliki arti filosofis bahwa ibadah yang semakin ke atas semakin mengecil, dalam artian melepas segala bentuk materil yang melekat pada diri manusia untuk memudahkan mencapai puncak mahkota (manusia paripurna). Tiga lapisan atap (tajug trimangkurat) juga bisa diartikan sebagai konsep manusia dalam melewati perjalanan tasawuf/tarekat, hakikat, makrifat.
Kemudian, bangunan induk masjid menyambung ke depan dengan serambi masjid. Pada konsep konstruksi lantai Masjid Kebondalem bagian induk atau dalam (ndalem) masjid, struktur lantai lebih tinggi dari serambi dan pelataran masjid. Sehingga dapat digambarkan bangunan lantai Masjid Kebondalem dari pelataran naik ke serambi menuju dalam masjid berbentuk seperti punden berundak, yang semakin ke dalam semakin tinggi. Ini sama halnya dengan tingkatan konsep ibadah manusia yang jika dipahami dari bentuk bangunan masjid tersebut menyampaikan pesan kepada manusia untuk selalu meningkatkan keimanan (tauhid).
Di depan Masjid Kebondalem terdapat kolam air atau semacam belik yang disebut dengan “Banyu Purwosari” yang dijadikan masyarakat sebagai sumber mata air. Kolam air atau “Banyu Purwosari” dibuat berbarengan dengan pembuatan Masjid Kebondalem dan memiliki kedalaman sekitar dua meter. Selain berfungsi sebagai tempat bersuci (wudhu), kolam tersebut dahulunya digunakan masyarakat untuk mandi dan untuk keperluan air sehari-hari.
Peran Masjid Kebondalem, selain menyampaikan perihal peribadatan Islam juga berperan dalam konteks sosial. Bukti sumber mata air merupakan bentuk peranan dalam membantu kehidupan masyarakat sekitar masjid. Sehingga bisa dikatakan kedekatan antara masjid (kiai, santri) dengan masyarakat tidak bisa dipisahkan.
Di sisi lain, kedekatan ini bisa dilihat pada perayaan atau peringatan hari-hari besar Islam dengan berkumandangnya selawat Jawa atau selawat Rodad dengan musik rebana besar yang dimainkan oleh pemuka agama dan masyarakat setempat di Masjid Kebondalem.
Menebar Jala Sufisme
Masjid Kebondalem yang didirikan oleh Kiai Muhammad Shareh dan diteruskan oleh putranya, Kiai Khalifah, memiliki jejak historis dalam persebaran Islam yang kuat. Di era Kiai Khalifah, Masjid Kebondalem pernah menjadi tempat “peguron” atau tempat menimba ilmu agama, yang kemudian ditinggalkan oleh Kiai Khalifah akibat bergejolaknya Perang Jawa. Dalam catatan Peter Carey, Kiai Khalifah menjadi salah satu di antara jajaran kiai yang membantu peperangan (Carey, 2012). Akibat dari peperangan tersebut, ketika Pangeran Diponegoro tertangkap, para laskar dan kiai pergi menyebar ke berbagai wilayah. Salah satu persebarannya ialah di wilayah Mancanegara Wetan, yaitu daerah Madiun, Ponorogo, Magetan, dan Pacitan.
Setelah beberapa dekade kemudian, sepeninggal Kiai Khalifah, keluarga dan masyarakat sekitar Masjid Kebondalem barulah mengetahui keberadaan sang kiai. Tepatnya berada di Desa Bogem, Sampung, Kabupaten Ponorogo yang termasuk wilayah persebaran para lascar Perang Jawa. Di Desa Bogem ini Kiai Khalifah tinggal sampai akhir hayatnya dengan meninggalkan musala dan masjid.
Keberadaan Kiai Khalifah ini dapat diketahui setelah putranya, Kiai Hasan Ulama, sedang menziarahi makam kakeknya di Krayungan. Makam Kiai Shareh tersebut berjarak sekitar satu kilometer dari Masjid Kebondalem (Interview Nur: 2023). Kiai Hasan Ulama sendiri merupakan pendiri Pondok Pesantren Takeran Magetan, yang berdiri pada tahun 1886 M (catatan mimbar masjid Takeran), dan sekarang disebut sebagai Pesantren Sabilil Mutaqien.
Pada agenda menziarahi makam tersebut, Kiai Hasan Ulama menyampaikan kabar keberadaan Kiai Khalifah kepada keluarga dan masyarakat Masjid Kebondalem. Selain itu, Kiai Hasan Ulama sekaligus melakukan rehab Masjid Kebondalem bersama masyarakat. Catatan rehab masjid diabadikan dalam mimbar Masjid Kebondalem yang tertulis angka 1918 M atau 1336 H dengan berbunyi hari tanggal Jawa bertuliskan Arab-Pegon “Awit Tanggal 1 Rabiul Akhir, Ngadegke Tanggal 1 Jumadil Awal, Rebo Wage Seloso Kliwon”.
Kiai Khalifah atau Pangeran Cokrokertopati, menurut cerita dari Pesantren Takeran Magetan, merupakan penasihat Pangeran Diponegoro yang menganut Tarekat Syattariyah. Dalam catatan sejarah, Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini tidak lepas dari salah satu instrumen jaringan sufisme, yang kemudian dapat menggerakkan beberapa kiai dan santri (laskar) untuk memberontak kepada penjajah (Bizawie, 2019).
Jaringan ini tidak berhenti pada saat Perang Jawa selesai, tetapi berlanjut ke berbagai wilayah persebaran para laskar. Dalam persebaran sufisme atau bisa disebut sebagai kaum tarekat, Kiai Khalifah termasuk salah satu silsilah sanad atau mata rantai guru-murid yang sambung menyambung pada Tarekat Syatariyah. Catatan silsilah mata rantai ini dapat dilihat di Pacitan, tepatnya yang ada pada keluarga atau makam Kiai Ngaliman yang sekaligus menjadi mata rantai Tarekat Syattariyah.
Kiai Ageng Ngaliman merupakan kakek dari Kiai Abdurrahman Tegalrejo Magetan. Di wilayah Madiun dan sekitarnya, pergumulan jaringan dari beberapa mata rantai sanad guru-murid ini menjadi peta persebaran dan perkembangan tarekat Syattariyah pasca Perang Jawa (Syam, 2013). Kemudian, putra dari Kiai Khalifah, yaitu Kiai Hasan Ulama sekaligus pendiri Pondok Pesantren Takeran, merupakan penerus sanad dari Tarekat Syattariyah yang berada di Takeran, Magetan. Menurut beberapa catatan dari keluarga Takeran, Kiai Hasan Ulama meneruskan Tarekat Syattariyah dari Kiai Abdurrahman Tegalrejo.
Dalam cerita keluarga Masjid Kebondalem, masyarakat sekitar sudah banyak yang menganut ajaran dari Tarekat Syattariyah. Dulu lantunan zikir khas Syattariyah masih didengarkan oleh Pak Nur, salah satu keluarga Masjid Kebondalem. Menurut pemaparan dari Pak Nur, masyarakat Kebondalem sudah menjalankan ajaran Tarekat Syattariyah sejak era Kiai Khalifah, kemudian setelah Kiai Khalifah pergi, kemudian beberapa dekade dilanjutkan oleh Kiai Hasan Ulama.
Referensi:
- Bizawie, Z. M. (2019). Jejaring Ulama Diponegoro. Pustaka Compas.
- Carey, P. (2012). Kuasa Ramalan. JILID 3. Gramedia.
- Dewi Adityaningrum, Titis Srimuda P., W. S. (2020). ARSITEKTUR JAWA
PADA WUJUD BENTUK DAN RUANG MASJID AGUNG
SURAKARTA. Jurnal Arsitektur, Vol. 17(1), 54–60. - Gazalba, S. (1994). Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Pustaka Al
Husna. - Kurniawan, S. (2014). Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam. Jurnal
Khatulistiwa, Vol. 4(2), 169–184. - Syam, N. (2013). Tarekat Petani, Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal. LKiS.