Mataku Mata Ibu

250 kali dibaca

Seorang anak menggandeng seorang nenek (mungkin ibunya) menyeberangi jalan raya yang padat lalu lintas. Aku teringat pada sosok ibu. Kamu mestinya tahu bagaimana rasanya ditinggal ibu dalam waktu yang lama. Tidak, tidak dengan wujudnya, tapi cintanya. Cinta seorang ibu. Itu adalah cinta pertama yang dimiliki oleh setiap manusia, meski sebagian mereka tak dapat merasakan cinta ibu. Tetapi, bukankah kelahiran setiap manusia adalah buah dari ketabahan mengandung kurang lebih sembilan bulan? Dan, akan kuceritakan bagian kecil dari kisahku. Dengarkanlah…

***

Advertisements

Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang periang. Ibu mengajariku cara berbahasa dan berbicara. Ibu mengajariku agar tidak mudah marah ketika aku dihina dan diejek oleh teman-teman di kelas.

Tapi selama sekolah, dari TK hingga SD, Ibu tak pernah mengantarkanku ke sekolah. Aku sering merengek pada Ibu, memintanya agar berkenan mengantarkanku ke sekolah. Tapi Ibu selalu bilang, “Ibu sedang sibuk, Cah Ganteng.” Ayah mengelus-ngelus kepalaku dan bilang, “Ayo, ayah yang antar.”

Dengan berat hati, aku menyalami Ibu. Kucium tangannya yang kasar dan hitam. Ketika wajahku menempel di punggung tangannya, baru sekarang kusadari, betapa keriput tangan Ibu, seakan meraung membisikkan nasihat yang ikhlas; seakan bilang, bahwa Ibu tidak menuntutmu apa-apa kecuali doa setelah kematian Ibu dan Ayahmu.

Sebelum berangkat, Ibu selalu bilang: “Yang pintar, Cah Ganteng. Jangan jadi manusia seperti Ibumu, yang kehilangan fitrah dan martabatnya.”

Aku tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Ibu mengucapkan kalimat itu. Tapi yang jelas, karena sudah beratus-ratus kali mengatakannya, aku ingat betul sampai melekat di kepala.

Di sekolah, teman-temanku selalu bilang bahwa Ibu adalah orang buta. “Ibumu dulu pelacur, Mad,” ejek Ridho, teman sekelasku. “Iya, kata Ibuku juga begitu,” timpal lainnya.

Aku tidak terima dengan ucapan mereka itu. Aku ingin memukul mereka satu per satu dengan penggaris kayu, tapi ucapan ibu “Jangan mudah marah, Cah Ganteng” menahanku untuk tidak melakukannya.

Menurutku, Ibu adalah perempuan yang cantik, periang, dan ramah sekali. Ibu juga hafal betul, mana dapur, mana kamar tidur, mana ruang tamu, mana kamar mandi. Ibu juga lihai memasak. Puncaknya, semua murid di sekolahan mengatakan bahwa Ibu adalah wanita buta, aku mencurigainya. Aku tidak percaya.

Sepulang sekolah, aku memaksa Ibu untuk memasakkan telur dadar.

“Bu, aku lapar, ingin makan telur dadar,” pintaku pada Ibu. Aku masih berseragam sekolah.

“Ganti baju dulu, Cah Ganteng,” kata Ibu, “Besok seragamnya dipakai sekolah lagi.”

Bagaimana teman-teman mengatakan ibuku buta, sementara dia bisa melihatku dengan jelas dan kentara? pikirku. Ibuku juga bisa memasak. Mana mungkin orang buta bisa memasak?

Ibu berjalan ke dapur dan memasak telur dadar. Aku menghampirinya selepas ganti baju.

“Bu,” sapaku padanya.

“Iya, Cah Ganteng.” Ibu menoleh.

Aku tersenyum. Rasanya, Ibu bisa melihat aku tersenyum. Buktinya, Ibu membalas senyumku dengan senyumnya.

“Ini telur dadarnya, Cah Ganteng.” Ibu menyodorkan telur dadar yang sudah matang di atas piring.

Aku diam saja. Kuamati lekat-lekat mata Ibu. Ibu seakan memandangku. Aku takut, Bu. Apakah kau buta, seperti yang teman-temanku katakan? pikirku.

Aku lahap memakan telur dadar buatan Ibu di atas kursi, sementara Ibu berdiri di dekatku sambil mengelus-ngelus kepala.

“Ibu menangis?” tanyaku pada Ibu. Matanya kelihatan sembab.

“Tidak, Cah Ganteng,” jawabnya. Lalu, Ibu meninggalkanku ke kamar.

Seusai makan, aku segera menghampiri Ibu ke kamarnya. Ternyata pintunya tertutup. Aku buka pintu itu hingga menimbulkan derit. Ibu terperanjat lalu menolehkan wajahnya kepadaku. Kurasai, Ibu benar-benar melihatku. Teman-temanku pasti bohong!

“Ibu masih menangis?” tanyaku.

“Tidak, Cah Ganteng.”

Ibu menangis. Kali ini, tangisan Ibu sangat jelas. Ibu benar-benar sedang menangis.

***

Suara sepeda motor terdengar dari luar rumah. Aku hafal betul, itu adalah suara sepeda motor butut Ayah. Aku segera keluar dari kamar Ibu dan membuka pintu untuk Ayah. Sejurus kemudian, Ayah masuk rumah, lalu mencium keningku.

“Mana ibumu?”

“Di kamarnya, Yah.”

Ayah bergegas ke kamar untuk menghampiri Ibu. Aku mengikutinya dari belakang.

“Dokter Joko bilang, Dik, kalau matamu masih bisa disembuhkan,” kata Ayah pada Ibu. “Aku tadi habis konsultasi di rumah sakit.”

“Alhamdulillah, Mas,” tukas Ibu.

Oh, jadi benar apa yang dikatakan teman-temanku, bahwa Ibu memang buta. Aku tidak suka dengan Ibu yang ahli berbohong. Ibu selalu mengatakan sibuk jika kuminta untuk mengantarkanku ke sekolah. Ibu tidak pernah mengatakan kalau Ibu adalah wanita buta.

Esoknya, aku berangkat ke sekolah. Teman-teman masih saja menghina kebutaan Ibu. Telingaku sakit oleh hinaan mereka. Aku tak terima dikatakan anak mantan pelacur dan anak orang buta. Aku merasa terhina. Ingat! Aku merasa terhina. Hinaan mereka akan berhenti ketika guru masuk kelas. Setelah jam pelajaran habis dan guru keluar kelas, mereka menghinaku lagi. Mereka mencaciku lagi. Ah, sungguh malang punya Ibu mantan pelacur dan buta.

Sepulang sekolah, Ayah sudah berada di ruang tamu.

“Ayo ikut ke rumah sakit! Ibumu mau operasi mata,” seru Ayah.

Aku bahagia karena Ibu akan sembuh dan bisa melihat lagi, seperti ibu pada umumnya.

Sesampai di rumah sakit, sambil digendong Ayah, Ibu dibawa di sebuah ruangan, lalu ditidurkan di atas ranjang. Mata Ibu berkilau.

“Doakan Ibu, Cah Ganteng,” katanya, “Teman-temanmu di kelas sering mengejekmu, iya, Nak?”

“Kenapa Ibu tidak bilang kalau Ibu buta!” bentakku pada Ibu. “Kata ibu-ibu mereka, Ibu juga mantan pelacur.”

Aku menangis. Ibu juga.

Tiga dokter memasuki ruangan kami. Salah satu dokter berkata: “Maaf, Pak, operasi akan segera kami mulai.”

Aku dan Ayah keluar meninggalkan Ibu sendiri terbaring di ruangan itu.

“Kau tidak punya hati, Mad!” bentak Ayah. Bulir-bulir air matanya berjatuhan.

“Maaf, Ayah. Aku terlalu tersiksa dengan ejekan teman-teman di kelas.” Aku masih menangis.

“Kau tahu, Mad! Ibumu buta karena matanya diberikan kepadamu waktu kau masih bayi.” Suara Ayah lirih. “Matamu terkena pantulan sinar tatkala kau lahir, Mad. Sebab sinar itu, Dokter menyatakan bahwa kau mengalami kebutaan. Ibumu tidak tega melihat kau cacat. Ia mengorbankan matanya untukmu. Ibumu melacur dan menjual diri waktu Ayah sakit. Diam-diam Ibumu bekerja sampai seperti itu.”

Aku menunduk. Menangis.

Saat Ayah marah-marah, seorang dokter menemui kami dan mengabarkan bahwa operasi Ibu gagal. Ibu dinyatakan meninggal dunia karena matanya telah mengalami infeksi. “Mata istri bapak terlalu banyak ditetesi obat untuk meredakan rasa sakit,” begitu terang dokter itu.

Aku mengenang Ibu saat di kamar, saat aku membuka pintu dan Ibu menyembunyikan sesuatu. Matanya terlihat seperti habis menangis. Mungkin itu obat pereda sakit matanya.

Aku menangis, sementara Ayah memasuki ruangan. Aku berlari menuju musala rumah sakit dan menangis di sana sendirian. Beberapa lama, Ayah menghampiriku dan mengajakku pulang mengiringi jenazah Ibu di mobil ambulans. Kami pun menaiki ambulans.

Kulihat Ibu yang telah terkapar tak berdaya tanpa nyawa. Kulihat mata Ibu yang terpejam. Aku cium pipinya yang keriput berkali-kali. Kutempelkan wajahku pada tangannya yang hitam dan kasar.

“Maafkan Ahmad, Bu, maafkan Ahmad,” berkali-kali aku berkata dalam lirih.

Ayah menatap tubuh Ibu dengan tatapan kosong. Ia diam seribu kata.

Sesampainya di rumah, jenazah Ibu diturunkan dari ambulans dan dimasukkan di ruang tamu. Rumah kami sepi, tak banyak pelayat yang datang.

Seperti yang dibicarakan teman-teman di kelas, bahwa Ibu adalah mantan pelacur, telah majemuk diketahui banyak orang di desa kami. Mungkin itu yang menjadi alasan orang-orang desa tidak melayat Ibu. Pada akhirnya, hanya aku, ayah, Pak Dadang, dan Mbah Rebani, yang menguburkan Ibu.

Aku masih kecil dan labil, tapi dosa dan noda yang telah kupahat pada Ibu, kurasa sudah terlalu banyak. Aku menyesal. Menyesal sekali. Aku merasa gagal menjadi anak tunggal kesayangan Ibu. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku hanya bisa mengenang Ibu lewat nasihatnya yang beratus-ratus ia katakan: “Yang pintar, Cah Ganteng, jangan jadi manusia seperti Ibu, yang kehilangan fitrah dan martabatnya.”

****

Setelah 20 tahun berlalu, aku menjadi seorang direktur perusahaan karet di kota Palembang. Pada 22 Desember, ketika ucapan “selamat hari ibu” tersebar di banyak media, aku mengunjungi kubur Ibu.

“Bu, maafkan Ahmad yang telah mengukir banyak dosa di hatimu. Ahmad sudah besar dan sukses. Ibu tak perlu cemaskan Ahmad yang sudah tak kecil lagi. Ahmad tahu jasadmu telah lama terpendam, tapi doa-doamu tetap hidup. Mata Ahmad adalah mata Ibu. Setiap dari amal Ahmad semoga amal Ibu juga.”

Aku menangis di atas kubur Ibu. Aku menyesal. Menyesal sekali.

Sebelum pulang, aku memeluk dan mencium pusaranya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan