Matinya Kepakaran: Ketika Semua Orang Jadi Sok Tahu

285 kali dibaca

Seorang jurnalis sekaligus sastrawan asal Belanda bernama Bre Renda pernah mengungkapkan kalimat yang cukup menyentil, ”Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya.”

Apa yang diungkapkan Bre Renda tersebut hendak menyentil kondisi orang-orang modern yang terjangkiti gejala “sok tahu” untuk mengomentari apapun yang terjadi.

Advertisements

Brenda mengibaratkan bahwa riwayat orang-orang sok tahu layaknya tim sepak bola dan supporter. Taruhlah misal, jika ada satu pemain yang gagal mengeksekusi penalti, maka seluruh supporter akan kesal dan langsung menuding dengan hujaman semisal, “Ah, seharusnya tadi agak melenceng kiri nendangnya. Waduh, semestinya langsung lurus aja biar gol. Nah harusnya pakai tipuan kayak Lionel Messi, blablabla.”

Coba lihat keadaan itu, semua orang mendadak satu padu menjadi ahli sepak bola. Padahal andaikan posisinya diganti, pun belum tentu mereka-mereka yang sibuk memberi komentar mampu menendang bola dengan baik.

Tom Nichols, seorang mantan profesor dari U.S. Naval War College pada 2017 menulis buku yang cukup fenomenal dengan judul The Death of Expertise (terj: Matinya Kepakaran). Buku yang ditulis Tom menitikberatkan pada kondisi yang sedang melanda Amerika kala itu. Di mana ia menyadari satu fenomena yang timpang antara orang awam dengan para ahli (expert) dalam membicarakan sebuah topik.

Misalnya, pada saat para dokter ahli sudah mengimbau untuk pemberian vaksin campak. Justru banyak masyarakat Amerika lebih percaya pada influencer media sosial yang ngonten, sebaiknya orang Amerika enggan untuk disuntik vaksin. Sebab mereka bilang bahwa vaksin itu tak akan mencegah campak, namun justru akan menambah penyakit lain.

Kondisi semacam itu bisa kita amati di Indonesia kala negeri ini dihantam oleh pandemi Covid-19. Anjuran untuk mengenakan masker, tidak menghimpun massa, hingga rajin mencuci tangan pun tak dihiraukan oleh orang awam. Alasan mereka menolak imbauan pakar (baca: dokter) kian beragam. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa covid adalah makhluk Tuhan sehingga tak perlu ditakuti, pendek kata siapa yang beriman dan tidak bermasker, akan terhindar dari Covid. Di satu sisi yang lain menolak keras-keras dan menganggap bahwa Covid-19 hanyalah sebuah konspirasi para elit dunia, orang Indonesia tak perlu takut akan hal itu.

Sekali lagi, coba amati dengan saksama. Ada pola yang serupa di mana orang-orang awam mendadak jadi sok lebih pintar ketimbang para ahli yang sudah berkecimpung di bidang masing-masing.

Tom menuliskan dalam bukunya alasan kenapa orang-orang awam itu menjadi “sok tahu”.

Pertama-tama, ia menuding kehadiran internet sebagai biang kerok yang utama. Tom menilai, 90% apa yang di internet hanyalah sampah dan hasil pikiran setengah matang yang disebarluaskan.

Memang ada benarnya, media yang ada di internet bersifat publik. Artinya, setiap orang bisa saja menumpahkan ide-ide pikirannya ke internet. Baik itu orang paling bodoh hingga yang paling pintar sekalipun. Sayangnya, realita yang kita temui adalah bahwa internet tak pernah stabil. Selalu lebih banyak sampah yang beredar, kita pun sudah sering kenyang dengan ragam berita nyeleneh yang semestinya tak kita butuhkan.

Kedua, gejala dunning kruger effect. Teori ini dicetuskan oleh David Dunning dan Justin Kruger. Dunning kruger merupakan kondisi psikologis seseorang yang mendadak sok paling “ahli” hanya karena membaca atau mengamati sesuatu sekilas saja. Singkatnya, kondisi dunning kruger memberi ilusi pada pelakunya untuk merasa kompeten dengan sedikit skill atau referensi yang mereka kuasai.

Padahal realitanya, mereka tak berkompeten atas apapun. Misalnya, orang bisa mendadak ahli politik hanya berbekal bacaan Wikipedia. Orang-orang yang menjadi sok alim hanya karena sering dengar ceramah Gus Baha, dan sebagainya.

Dunning kruger dinilai Tom sebagai pemicu kenapa orang awam enggan untuk percaya pada ahli, sebab orang awam merasa semuanya sudah tersedia di internet. Tak perlu merujuk pada ahli untuk mendapatkan sebuah informasi.

Ketiga, jebakan echo chamber. Dilansir dari GCFLearn (2019), echo chamber atau ruang bergema adalah adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri.

Misalnya, ketika seseorang sudah mengetahui bahaya merokok. Mereka mencoba mencari informasi tandingan untuk meyakinkan diri bahwa rokok tidaklah berbahaya. Mereka akan mengulik informasi apapun di internet untuk mendukung argumentasi bahwa rokok boleh dikonsumsi. Sehingga yang terjadi adalah, mereka tetap bisa berargumentasi dengan kepercayaan tingkat tinggi meski sebenarnya sudah tahu bahaya tentang rokok.

Kurang lebih tiga hal di atas menjadi pemicu kenapa orang di zaman ini semakin culas untuk mengolah informasi. Banyak yang menjadi sok tahu ketimbang upaya penjelasan dari para pakar. Saat ini, influencer pun lebih dipercaya omongannya ketimbang seorang profesor yang sudah jelas memiliki kapasitas mumpuni untuk menjelaskan sebuah hal.

Agar tidak terjebak dengan keadaan ini, maka penulis memberikan beberapa saran.  Pertama, selalu cek dan ricek terhadap berita apapun yang diterima baik itu kredibilitas sumber dan keontetikannya.

Kedua, hendaknya meninjau ulang omongan inlfuencer media sosial, apakah sudah sesuai dengan pendapat para pakar atau belum.

Ketiga, menghindari echo chamber dengan cara seobjektif mungkin dalam memandang sebuah persoalan, bukan dengan kacamata subjektif yang menjatuhkan diri dalam sudut pandang sempit.

Data buku:

Judul buku    : Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)
Penulis           : Tom Nichols
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun             : Cetakan VII, November 2023
Tebal              : 293 hlm
ISBN               : 978-602-481-073-3

Multi-Page

Tinggalkan Balasan