Para ahli menyebut bahwa bahwa pada abad ke-20 perkembangan tafsir meningkat di dunia Melayu-Indonesia meningkat. Namun, dari sekian banyak karya tafsir yang muncul, belum ditemukan karya tafsir ulama Indonesia terkait tafsir aḥkām.
Keberadaan tafsir aḥkam pertama di Nusantara yang merupakan karya ulama Nusantara sendiri masih diperdebatkan. Apalagi jika dikatkan dengan bukti bahwa masuknya Islam pertama kali ke Nusantara diawali dari Pulau Sumatera bukan Jawa.
Selain itu, tafsir pertama lengkap 30 juz karya ulama Indonesia pun berasal dari Sumatera, yaitu karya Abdur Rouf al-Singkili yang berjudul Tafsīr Tarjumān al-Mustafīd. Tafsir karya al-Singkili tersebut terdiri dari berbagai corak atau umum, tidak hanya fokus pada fikih. Tafsir karya Ḥasan Binjani diperkirakan merupakan tafsir aḥkām pertama di Indonesia yang juga ditulis tokoh dari Sumatera.
Pernyataan Tarigan yang mengatakan tafsir ini pertama kali dicetak tahun 2006 benar. Meskipun, tercetaknya tahun 2006 bukan berarti tahun itu merupakan tahun dituliskannya karya tafsir tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Ridhoul Wahidi dan Rafiuddin Afkari dalam artikelnya bahwa tafsir karya Ḥasan Binjani tidak diterbitkan semasa hidup Ḥasan Binjani.
Dugaan terkait munculnya tafsir aḥkām pertama di Indonesia sebagaimana disebutkan oleh Tarigan berdasarkan tahun tersebut terasa janggal. Hal itu dikerenakan melihat dunia pesantren yang kental dengan tradisi fikihnya, tetapi belum ditemukan tafsir aḥkām yang berperan sebagai pembentukan hukum Islam dan legalitas perilaku Muslim.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka Muhammad Asif dan Mochammad Arifin meneliti tafsir aḥkām di pesantren. Mereka menemukan naskah tafsir aḥkām di Senori, Tuban, Jawa Timur yang merupakan karya Abil Faḍhol al-Senory (1917-1991) dengan judul Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān al-Karīm.
Kiai Abil Fadhol atau Mbah Fadhol adalah ulama kharismatik yang dikenal memiliki pengaruh sangat luas. Bagi sebagian orang awam namanya kurang populer. Namun, bagi ulama-ulama terutama di Jawa tidaklah asing dengannya baik yang sezaman maupun tidak. Mbah Fadhol adalah salah satu ulama yang berkiprah pada tahun 1960 yang menjabat sebagai Rais Syuriah NU Cabang Tuban Selatan.
Terlepas dari perdebatan tersebut dapat diketahui secara pasti bahwa tafsir ayat aḥkam karya Mbah Fadhol adalah tafsir aḥkam pertama dari dunia pesantren. Dalam hal ini dapat ditilik bahwa Mbah Fadhol telah berkontribusi pada perkembangan tafsir (kesarjanaan) Indonesia.
Lintasan yang diambil Mbah Fadholini termasuk pada historisitas yang memfokuskan pada konteks internal (Nusantara). Hal ini dapat dilihat pada latar belakang Mbah Fadhol saat menulis karya-karyanya, termasuk tafsir aḥkam, yaitu untuk diajarkan kepada santrinya. Sudah menjadi tradisi Mbah Fadhol mengajar santrinya dengan kitab karyanya sendiri.
Mbah Fadhol di kalangan pesantren terkenal sebagai seorang yang fāqih serta penulis tentang ilmu bahasa dan teologi. Selain mengajarkankan tafsir di pesantren, Mbah Fadhol juga mengajarkan terjemahan Al-Qur`an.
Pembelajaran terjemahan Al-Qur`an dilakukan ketika tafsir masih menjadi pendidikan sekunder di lingkungan pesantren. Penulisan dalam terjemahan tersebut dilakukan menggunakan huruf pegon dengan metode tafsiriyah. Berdasarkan kacamata teologis, terjemahan tersebut mengapropriasi Sunni Ashariyah.
Tafsir karya Mbah Fadholhadir ditulis dengan kemasan yang mudah untuk diserap. Tafsir tersebut mengusung bab fikih dengan metode mawdū`i. Tafsir tersebut telah mencakup 20 bab walaupun sebenarnya karya tersebut belum tuntas. Tafsir tersebut disebut Fatikhatus Sakinah sebagai tafsir kontemporer yang mampu dijadikan patokan dalam beribadah. Sumber yang dirujuk dalam karya tafsir tersebut yaitu kitab tafsir sebanyak enam, fikih berjumlah tiga, dan asbāb al-nuzūl terdiri dua kitab.
Polemik Tafsir Mbah Fadhol
Menelisik tema yang memicu polemik antara muslim tradisionalis dan modernis, yaitu tentang arah kiblat. Menurut Kiai Ahmad Dahlan, setiap muslim yang salat harus menghadap kiblat sebenar-benarnya. Ia mengkritik arah kiblat di Indonesia yang hanya berdasarkan arah Barat. Pendapat Kiai Ahmad Dahlan ini diikuti oleh kelompok Muhammadiyah. Kiai Ahmad Dahlan pernah meluruskan arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada 1897.
Menanggapi hal tersebut, Mbah Fadhol merespon dalam tafsirnya dengan berlandaskan pada surat al-Baqarah 142-14. Mbah Fadhol nampak tidak kaku dalam hal ini. Ia membolehkan salat tidak menghadap kiblat bagi yang sedang dalam peperangan atau salat sunnah. Ketika salat fardhu memang wajib menghadap kiblat, namun ia membolehkan taklid kepada orang yang mengetahui arah kiblat.
Polemik kedua tentang menyentuh mushaf, yaitu terdapat pada surat Waqiah Ayat 77-80. Mbah Fadhol berpendapat bahwa tidak diperbolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu. Hal ini berseberangan dengan pendapat muslim modernis Indonesia yang membolehkan memegang mushaf tanpa berwudu.
Mereka berpendapat bahwa ayat tersebut untuk konteks Al-Qur`an berada di Lauh al-Mahfūẓ. Sementara Mbah Fadhol kokoh dengan pendapatnya bahwa ayat tersebut berlaku pada semua konteks. Selain itu, Mbah Fadhol menguatkan dengan pendapat Imam Syafi`I bahwa itu kalimat khabar yang bermakna nahi. Bahwasanya dalam ayat tersebut, Imam Syafi`I menjadikannya landasan larangan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas.
Konklusi
Tafsir aḥkām karya Mbah Fadhol adalah tafsir aḥkām pertama di Indonesia yang muncul dari kalangan pesantren dengan menggunakan bahasa Arab. Untuk membuktikan kebenaran mana yang disebut tafsir aḥkām pertama di Indonesia perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang buktinya benar-benar terpercaya, tidak sekadar dugaan.
Penelitian terkait karya Mbah Fadhol yang dilakukan Muhammad Asif telah menambah wawasan pembaca jika Indonesia memiliki banyak ulama. Selanjutnya, tulisan-tulisannya terkait Mbah Fadhol tersebut mendorong intelektual dan para akademisi untuk mengkaji ulama-ulama Nusantara dan karyanya yang belum nampak di publik.