Mbah Komplang

1,160 kali dibaca

Sore itu senja merangkak pelan menuju peraduan. Ngajiman baru saja pulang dari kuburan selepas menggali kubur Mbah Subagio. Ia sedang duduk-duduk santai di teras rumahnya sambil merokok ketika seorang wanita paro baya menghampirinya.

“Buatkan liang kubur untuk suamiku, Pak, di Pemakaman Timur,” seru wanita itu pada Ngajiman.

Advertisements

“Siap!”

Wanita itu lalu menyodorkan sebuah amplop putih kepada Ngajiman.

Sebagai penggali kubur, sudah barang tentu Ngajiman bersedia melakukannya. Menggali kubur menurutnya adalah pekerjaan yang mudah. Dia pernah mengatakan itu pada istrinya, Marti’ah: “Tidak ada satupun mayat yang protes soal liang kubur. Bagaimanapun bentuk kuburnya, mereka yang mati akan diam saja,” kata Ngajiman suatu waktu pada istri ketika ditanya soal pekerjaan menggali kubur.

Beberapa saat kemudian, takmir masjid mengumumkan kabar kematian suami wanita tadi. Ternyata namanya Ngadari. Entah apa maknanya.

“Makan, Mas. Semuanya sudah matang,” kata Marti’ah.

“Menggali kubur dulu. Nanti aja makannya,” jawabnya.

Ngajiman lalu menghidupkan sepeda mator dan bergegas menuju Pemakaman Timur. Di setiap pemakaman di desanya, Ngajiman sudah mempersiapkan cangkul untuk digunakan menggali kubur. Cangkul-cangkul itu diletakkannya di sebelah keranda. Maka, jika akan menggali kubur, ia tak perlu susah-susah memanggul cangkul dari rumahnya ke pemakaman.

Setiba di Pemakaman Timur, ia mencari-cari tanah kosong untuk digali. Lama mencari tanah kosong, ia tak mendapatkan juga. Hari semakin gelap. Hanya sedikit cahaya jingga senja yang tersisa sebagai satu-satunya sumber cahaya.

“Sudah menggali, Man?” tanya Rebani yang muncul dari arah belakang, lalu menyulut rokok di dekat Ngajiman.

“Tak ada tanah kosong, Reb,” jawab Ngajiman yang juga ikut menyulut rokok. “Tadi aku sudah mencari-cari tanah kosong, tapi tak ada. Pemakaman ini sudah penuh.”

“Ayo cari lagi! Aku bantu mencari,” ajak Rebani.

Mereka pun berjalan mengitari Pemakaman Timur; Rebani berjalan di depan Ngajiman. Sampai pojok paling kiri pemakaman, Rebani melihat makam tua yang dipenuhi rayap. Ia lalu duduk menggesek-gesek nisan makam itu, berharap tahu si empunya makam.

Ngajiman masih berdiri menyaksikan Rebani menggesek-gesek nisan makam tua itu.

“Gali di sini saja, Man!” Rebani memberi saran.

“Makam itu? Digali lagi?” tanya Ngajiman tercengang.

Maklum, Ngajiman tidak pernah menggali liang kubur di satu makam yang sama. Selama dua tahun bekerja sebagai penggali kubur, Ngajiman belum pernah mengalami hal seperti itu. Baginya, saran Rebani konyol. Dipikirnya: bagaimana kalau nanti Munkar dan Nakir salah menanyai mayat yang lama?

“Iyalah!” tukas Rebani. “Di kota, hal seperti ini sudah biasa, Man.”

Akhirnya, dengan terpaksa Ngajiman menggali makam tua itu. Karena hari sudah gelap, Rebani meminjam lampu dari rumah yang ada di dekat makam, lalu menaruhnya di dekat Ngajiman sebagai penerang.

Di tengah-tengah menggali, Ngajiman melihat kain kafan.

“Kain kafan, Reb,” kata Ngajiman pada Rebani yang sedang merokok di dekatnya.

“Biasa, Man. Teruskan saja!” seloroh Rebani.

Ngajiman pun meneruskan galiannya. Baru dua cangkulan, kakinya seperti menginjak sesuatu. Ia berhenti menggali, lalu duduk di dalam liang kubur —yang belum selesai ia gali itu— dan menarik kain kafan itu. Bukan kepalang, kain kafan itu masih bersih dan putih.

“Reb, Reb!” serunya pada Rebani keheranan.

“Ya.”

“Kafannya kok masih putih, Reb? Jasadnya sepertinya juga masih utuh.”

“Ada-ada saja kau, Man.”

Bagi Rebani, jasad utuh adalah khusus bagi orang-orang yang mulia. Apalagi di kota —ia sering menemani tukang penggali kubur di pemakaman kota — sekalipun tidak pernah ia lihat jasad utuh di pemakaman.

“Iya, sini!”

Rebani pun berdiri dan beranjak menghampiri Ngajiman. Ia melihat ke dalam liang yang Ngajiman buat.

“Turun sini, Reb!” pinta Ngajiman dari dalam liang kubur.

Rebani menuruni liang kubur dan merasakan seperti menginjak sesuatu yang lembek.

Ngajiman menarik kain kafan putih itu lebih panjang, dan benar saja: jasad si empu makam masih utuh. Kain kafannya putih bersih. Ngajiman dan Rebani ketakukan.

Bagaimana mungkin makam yang dipenuhi rayap dan dipenuhi lumut, jasadnya masih utuh? Apa rahasia orang ini? pikir Ngajiman.

“Bagaimana ini, Reb?” tanya Ngajiman sambil naik ke atas. Rebani ikut naik ke atas.

“Sudah telanjur. Jenazah juga telah sampai di dekat pemakaman, Man. Mau tak mau, sekarang juga harus dikuburkan. Toh hari sudah malam.”

Malam itu juga, jenazah dikuburkan di makam tua itu. Perasaan Ngajiman dan Rebani masih janggal.

***

Karena sudah lama sakit, Ibuku menyuruh agar aku pulang saja dari pondok. Ia menyarankan agar aku pijat di Mbah Pardi. Aku menurut; aku pulang ke rumah untuk pijat.

Setelah sampai rumah, esoknya Ibu menyuruhku pijat di Mbah Pardi. “Selama Covid-19, rumah Mbah Pardi selalu ramai pasien, Cung,” ucap Ibuku. Aku pun menuju rumah Mbah Pardi untuk pijat.

Sampai di sana, ada Mbah Kaji Sarmuji yang sedang dipijat oleh Mbah Pardi. Dan ada pula Ngajiman di sana.

“Kamu anaknya Pak Fadlun to, Le?” tanya Mbah Kaji Sarmuji dalam bahasa Jawa.

Inggih, Mbah Kaji,” jawabku.

Mbah Kaji Sarmuji adalah seorang kiai di desaku. Ia pernah mondok di Pesantren Langitan. Di sela-sela memijatku, Mbah Pardi ngobrol dengan Mbah Kaji soal kematian.

“Orang mati itu menurut kebiasaanya, Mbah. مات الناس على ما عاش عليه.” Mbah Kaji Sarmuji ndalil.

“Iya, Mbah Kaji,” seloroh Mbah Pardi.

“Aku kemarin menyaksikan jasad yang masih utuh di dalam kubur, Mbah,” sahut Ngajiman yang sedang duduk menikmati kopi yang disuguhkan.

“Iya, aku juga dengar kabar itu dari Mbah Srimi,” jawab Mbah Kaji. “Itu namanya Mbah Komplang, Le. Dia itu yang mewakafkan tanah untuk dibangun Masjid Al-A’la itu, lo. Makanya tak heran kalau jasadnya utuh. Kata orang, beliau juga ahli selawat.”

***

Aku mendengar cerita yang aku sampaikan ini dari Si Empu cerita sendiri: Ngajiman. Aku bertanya kepadanya sesaat setelah dipijat Mbah Pardi. Ya begitulah kurang lebih ceritanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan