Dikenal sebagai seorang kiai yang alim, jaduk alias sakti, Mbah Manan ternyata tetap rendah hati. Pada awal abad ke-20, ia menjadi salah satu mata rantai penyebaran kiai dan pesantren di ujung timur Pulau Jawa, khususnya Banyuwangi.
Kerendahan hati Mbah Manan, sapaan akrab KH Abdul Manan, di antaranya tampak pada gayanya saat mengajar mengaji dan semangatnya menuntut ilmu. Saat pondoknya sudah berkembang pesat dan santrinya banyak, Mbah Manan jarang turun langsung mengajar ngaji santrinya. ngaji-ngaji kitab kuning lebih sering diserahkan kepada santri-santrinya yang sudah senior, yang sudah menguasai kitab kuning. Mbah Manan baru turung langsung saat jadwal ngaji kitab al-Hikam dan Tafsir al-Jalalain.
Mendengar Mbah Manan sebagai kiai yang tinggi ilmunya, suatu hari datang seorang santri asal Jawa Barat untuk memperdalam penguasaan kitab kuning. Namun, di hari pertama ia dibuat kecewa. Sebab, saat mbalah kitab kuning, pembacaan Mbah Manan ternyata menabrak pakem atau kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab kitab kuning. Tidak memperhatikan nahwu-shorofnya. Juga tidak memberi penjelasan dengan benar akan makna dari isi kitabnya. Si santri, yang sudah menguasai pembacaan kitab kuning, merasa kecewa dan sia-sia datang dari jauh. Sepulang ngaji, ia ngedumel sendiri di kamarnya.
Namun, keesokan harinya, ia merasa kaget sekaligus malu saat mengikuti ngaji Mbah Manan untuk kedua kalinya. Seakan telah mengetahui kekecewaan si santri, kali ini Mbah Manan mbalah kitab kuning dengan tertib dan sempurna. Pembacaannya berpegang pada kaidah nahwu dan shorof dengan baik hingga ke penjelasan detailnya, termasuk menyitir nadzam Alfiyah. Mbah Manan juga menambahkan keterangan-keterangan akan makna dari kitab yang dibacanya secara komprehensif. Merasa malu, usai ngaji, si santri angkat koper.
Sikap rendah hati Mbah Manan juga tampak ketika ia mengikuti pengajian Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali yang diberikan oleh KH Askandar. Padahal, saat itu, selain sebagai santrinya, KH Askandar adalah menantunya. Ketika itu, KH Askandar sudah membangun pondok sendiri, tak jauh dari pondok Mbah Manan. Saban hari, Mbah Manan dengan tekun mengikuti pengajian Ihya Ulumuddin yang diberikan oleh KH Askandar hingga khatam. Bahkan, saat khataman pengajian Ihya Ulumuddin, Mbah Manan menyembelih dua ekor sapi sebagai ungkapan rasa syukur. Begitulah, kiai jaduk ini masih mau ngaji dan berguru kepada santri dan menantunya.
Selain alim, Mbah Manan dikenal sakti. Pada zaman 1965, di Banyuwangi, kaum santri menjadi sasaran keganasan orang-orang PKI. Untuk melindungi keselamatan masyarakat sekitar, Mbah Manan memberikan jimat kepada santri dan masyarakat sekitar berupa kayu rotan. Berbekal kayu rotan inilah masyarakat akhirnya mampu mengalahkan keganasan orang-orang PKI.
Perjalanan Santri Kelana
Untuk sampai di Desa Sumberberas —yang sering disebut Berasan— di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, ini Mbah Manan telah melalui perjalanan panjang nan berliku. Mbah Manan lahir di Desa Ngejan, Grompol, Kediri, Jawa Timur pada 1870. Ia adalah putra dari pasangan Kiai Muhammad Ilyas dan Umi Kultsum. Sang ayah berasal dari Banten, sedangkan ibunya memang asli Kediri.
Sejak belia, Mbah Manan nyantri di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun, misalnya, ia mondok di Pesantren Keling atau Pondok Pesantren Ringin Agung untuk beguru kepada Mbah KH Nawawi. Yang menarik, meskipun tergolong masih belia, Mbah Manan sudah mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, yang biasanya hanya boleh diikuti orang dewasa. Maja, jadilah Mbah Manan sebagai santri istimewa.
Setelah memperoleh didikan dari Mbah Nawawi, selanjutnya Mbah Manan mondok di Pesantren Gerompol, pesantren yang diasuh oleh neneknya sendiri. Di Pondok Gerompol inilah Mbah Manan memperoleh banyak ilmu hikmah yang kemudian membuatnya dikenal sebagai santri jaduk, jago berkelahi melawan perampok atau orang-orang berandalan yang ketika itu memang di tengah masyarakat sekitar.
Lepas dari Pondok Gerompol, Mbah Manan kemudian menjadi santri kelana. Ia tercatat pernah mondok di Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi, Blitar. Tak lama, ia melanjutkan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo), dan terakhir berguru kepada KH Kholil Bangkalan, Madura. Setelah nyantri kepada Kiai Kholil, Mbah Manan memperdalam ilmu ke Mekkah kira-kira selama 9 tahun.
Dari Mekkah Mbah Manan kembali ke orang tuanya di Kediri, membantu mengajar santri-santri ayahnya sendiri. Ia kemudian menikah dan sempat membangun pondok kecil. Namun naluri kembaranya karena haus akan ilmu muncul lagi. Ia kemudian menceraikan istrinya, dan kemudian mondok di Pesantren Jalen, Genteng, Banyuwangi, tempat Kiai Kholil Bangkalan pernah nyantri. Di Jalen ia berguru langsung kepada KH Abdul Basyar.
Ia tergolong santri paling tua di Pondok Jalen, dan kemudian didapuk menjadi lurah pondok. Tak lama di Jalen, Mbah Manan kemudian diambil menantu KH Abdul Basyar, dinikahkan dengan putrinya Siti Asmiyatun. Dengan Asmiyatun, Mbah Manan dikarunia 12 anak. Setelah Asmiyatun wafat, Mbah Manan menikah lagi dengan Hj Umtiyatun dan dikaruniai 9 anak. Ketika KH Abdul Basyar wafat, Mbah Manan yang dipercaya memimpin Pondok Jalen. Namun, pada 1929, ia menyerahkan kepemimpinan Pondok Jalen kepada adik iparnya, Nyai Mawardi. Mbah Manan sendiri memilih pindak ke Desa Sumberberas, tempat ia mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thullab. Ia menambah deretan panjang pondok pesantren tua di Banyuwangi, yang eksis hingga kini.