Pada 28 April depan, memasuki pekan pertama Ramadan, akan bertepatan dengan haul ke-48 Mbah Ma’shum. Banyak jejak hikmah yang tetap relevan dan aktual untuk dipelajari dan diamalkan dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan waliyullah ini.
Sejarawan Nusantara yang amat sohor, Denys Lombard, pernah menggambarkan sosok kiai besar ini secara dramatis. “Mbah Ma’shum adalah seorang kiai dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
Apa yang diungkapkan Denys Lombard itu memang faktual pada zamannya. Mbah Ma’shum adalah tokoh yang sangat berpengaruh tak hanya di lingkungan nahdliyin, namun juga pada jejaring keulamaan Nusantara. Karena itu, ketika wafat, pemakaman Mbah Ma’shum pada 28 April 1972 dibanjiri lautan massa. Banyak tokoh ulama, petinggi partai politik, dan pejabat pemerintah yang juga ingin memberikan penghormatan terakhir.
Pernyataan Denys Lombard yang menyebut bahwa kiai besar ini kurang dikenal di tingkat nasional salah satunya tentu merujuk pada sosoknya yang memang sangat-sangat sederhana dan zuhud. Terlahir dengan Muhammadun sekitar tahun 1868 sebagai anak bungsu pasangan H Ahmad dan Qosimah, sejak kecil Kiai Ma’shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu agama, di antaranya kepada Kiai Nawawi Jepara, Kiai Ridhwan Semarang, Kiai Umar Harun Sarang, Kiai Abdus Salam Kajen, Kiai Idris Jamsasren Solo, Kiai Dimyati Termas, Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, dan Kiai Kholil Bangkalan. Di Mekkah, Mbah Ma’shum berguru kepada Syekh Mahfudz al-Turmusi dari Termas.
Tarekat Mbah Ma’shum
Sejak belia, Mbah Ma’shum dikenal sebagai orang menjalani hidup zuhud. Bekerja apa saja pernah dilakoni. Pernah jualan baju hasil jahitan istrinya, Nyai Nuriyah. Pernah berjualan nasi pecel, juga buatan istrinya. Pernah menjadi pedagang keliling menjajakan lampu petromak, sendok, garpu, konde, dan peniti.
Motif Mbah Ma’shum berdagang ternyata bukan uang. Di sela-sela berdagang, ia meluaskan pergaulan, membangun jaringan, untuk mengajar umat dan juga belajar. Di sela-sela berdagang itu, misalnya, ternyata Mbah Ma’shum secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari. Padahal, dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua. Kegiatan dagang itu dilakoni Mbah Ma’shum selama bertahun-tahun.
Kegiatan dagang Mbah Ma’shum dihentikan setelah beberapa kali bermimpi bertemu Rasulullah. Sebab, dalam mimpi itu, Rasulullah menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi guru. Nasihat Rasul dalam mimpi yang paling diingat adalah ini: La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Dalam mimpi lain, Rasul berpesan, “Mengajarlah, dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Rupanya, setelah beberapa kali bermimpi dengan Rasul, Mbah Ma’shum merasa harus berkonsultasi dulu dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab. Menurut Kyai Hasyim Asy’ari, mimpi itu sudah sangat jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah itu, Mbah Ma’shum mantap untuk menetap di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Niatnya bulat, istiqamah untuk mengajar umat.
Namun, sebelum mendirikan pesantren, Mbah Ma’shum terlebih berziarah ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Saat ziarah pada malam Jumat itu, Habib Ahmad Alatas menemui Mbah Ma’shum dan memintanya memimpin doa bersama. Selain itu, Mbah Ma’shum juga ziarah ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem dan Habib Ali Kwitang, Jakarta.
Setelah itu, Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. Pesantrennya itu kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat Lasem. Dari pesantren yang diasuhnya, banyak murid Mbah Ma’shum yang menjadi kiaia besar dan tokoh nasional, di antaranya adalah Kiai Abdul Jalil Pasuruan, Kiai Abdullah Faqih Langitan, Kiai Ahmad Saikhu Jakarta, Kiai Bisri Mustofa Rembang, Kiai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, putranya sendiri KH Ali Maksum Krapyak, dan masih banyak lagi.
Selain istiqomah mengajar di pesantrennya, Mbah Ma’shum juga aktif berorganisasi. Sebagai salah satu pendirinya, Mbah Ma’shum memiliki jasa yang sangat besar dalam membesarkan organaisasi Nahdlatul Ulama (NU). Mbah Ma’shum dikenal sebagai sosok yang sangat mencintai NU.
Rupanya, meskipun telah menjadi ulama besar dan sangat berpengaruh, penampilan Mbah Ma’shum tak pernah berubah. Tetap bersahaja dan zuhud. Bahkan, kiai besar ini termasuk jarang mengenakan peci haji atau sorban —yang sering dianggap sebagai simbol keulamaan.
Yang menarik, meskipun tercatat sebagai pendukung pembentukan dan kemudian menjadi salah satu petinggi Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, organisasi tarekat di lingkungan NU, Mbah Ma’shum justru terlihat tak pernah mengamalkan praktik ajaran-ajaran tarekat atau berdzikir berlama-lama seperti amaliah tarekat pada umumnya.
Salah satu muridnya, Abrori Akhwan, pernah menceritakan kisah unik. Saat masih menjadi santrinya, ia diminta memijit Mbah Ma’shum. Sambil memijit, dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa kiai besar ini tak pernah mengenakan peci haji atau sorban dan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat.
Betapa kagetnya Abrori Akhwan saat Mbah Ma’shum menjawab pertanyaannya yang masih tersimpam di dalam hati itu. “Seorang kiai tidak harus menggunakan peci haji atau sorban,” kata Mbah Ma’shum yang membuat santrinya kaget.
Sesaat kemudian, Mbah Ma’shum melanjutkan ucapannya. “Berdzikir kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktik, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang. Tidak harus dalam waktu lama dengan beberapa bacaan tertentu. Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, hubb al-fuqara wa al-masakin, yaitu mencintai kaum fakir miskin.”