ان الكمال في الأعمال # و ليس ذلك في الأقوال
فاعمل تنال ما في الأمل # و لا تكن محض القوال
(Sesungguhnya kesempurnaan itu ada pada perbuatan, bukan pada perkataan.
Maka berbuatlah. Kamu akan meraih apa yang dicita-citakan. Jangan hanya banyak bicara!)
Coba bunyikan ulang penggalan syair di atas dan rasakan getaran elan yang ditimbulkannya. Betapa hebat! Dan, demikianlah, KH Wahab Hasbullah (1888-1971) dahulu menyanyikan syair itu bersama murid-murid Nahdlatul Wathan di Surabaya, sekitar tahun 1916, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Maka tidak heran, dengan melihat larik-larik heroik gubahannya itu, jika Kiai Wahab di kemudian hari memiliki karier yang cemerlang, aktif di berbagai wadah pergerakan nasional, hingga memperoleh apa yang dicita-citakannya: tidak hanya mewadahi ulama tradisional dalam sebuah organisasi, bahkan juga kemerdekaan bangsanya —seolah-olah beliau membuktikan sendiri makna dari syair yang diciptakannya.
Saya kira, pergerakan Kiai Wahab yang sibuk luar biasa itulah yang membuatnya (nyaris) tak meninggalkan tulisan yang, katakanlah, semacam kitab-kitabnya KH Hasyim Asyari atau otobiografinya KH Saifuddin Zuhri. Tulisan semacam itu penting untuk mengetahui bagaimana corak pemikiran, arah perjuangan, dan hal lain yang runyam diketahui dari luarannya saja.
Untuk itu, hampir saja kita putus asa untuk mengetahui Kiai Wahab, sebelum kemudian menemukan orang-orang semacam KH Abdul Chalim dari Leuwimunding, yang menulis soal Kiai Wahab dalam kitabnya yang berjudul Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab.
KH Abdul Chalim (1898-1972) adalah ulama asal Majalengka yang menjadi Katib Tsani pertama Nahdlatul Ulama (NU) di bawah Kiai Wahab yang pada periode 1926 menjadi Katib Awal. Atas dasar ini, kita sulit menyangkal bahwa kedua kiai ini memang begitu dekat. Terutama sejak 1924, ketika Kiai Chalim berjalan kaki selama 14 hari dari Majalengka ke Surabaya untuk kemudian aktif di Nahdlatul Wathan. Kiai Chalim nyaris tak pernah berpisah dengan gurunya itu kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti masa penjajahan Jepang atau pemberontakan PKI pada 1947. Kedekatan inilah yang menjadikan kitab tersebut istimewa.
(Sebagai informasi, saat kita mencari “KH Abdul Halim” di mesin Google, maka paling tidak akan ada dua tokoh yang muncul. Uniknya, kedua tokoh itu sama-sama berasal dari Majalengka dan lahir di akhir abad ke-19. Pertama adalah KH Abdul Halim, seorang tokoh pergerakan nasional, anggota BPUPKI, dan pada 2008 lalu dianugerahi “Pahlawan Nasional” oleh pemerintah. Sementara, yang kedua adalah KH Abdul Chalim yang menjadi pembahasan di sini. Sependek penulusuran saya di media digital, informasi tentang kedua kiai ini kerap tertukar dalam beberapa hal. Jika tidak cermat, cukup runyam untuk memilahnya dengan tepat.)
Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab merupakan kitab beraksara pegon yang ditulis oleh Kiai Chalim dalam bahasa Indonesia di tahun 1970, dua tahun sebelum kewafatannya. Kitab itu ditulis dalam bentuk syiir bahar rojaz, untuk memudahkan “anak-anak” dalam mempelajarinya. Secara umum, kitab tersebut membahas Kiai Wahab, mulai dari riwayat hidup, keluarga, keteladanan, hingga perjuangan di organisasi. Juga pembahasan NU di masa awal berdirinya.
Kiai Wahab, menurut Kiai Chalim, adalah guru yang tak lelah berjuang. Meski lebih muda 10 tahun, Kiai Chalim merasa kurang mampu mengikuti pergerakan Kiai Wahab. Kiai Wahab tak pernah marah, hanya terkadang keras demi cita-cita yang ingin dicapainya. Dalam kegiatan sehari-hari, Kiai Wahab tidak terbiasa tidur siang, tidak punya pola waktu makan tertentu, dan gemar berdebat jika diajak. “Sangat gemar beliau mengolah otak,” tulis Kiai Chalim. Dan, salah satu referensi argumen debat yang sering digunakan Kiai Wahab adalah Fathul Mu’in.
Di dalam kitab tersebut pula, Kiai Chalim kerap menyebut tokoh-tokoh yang masih terkait dengan Kiai Wahab, yang jarang disebutkan. Semisal siapa gurunya dalam berdebat, siapa teman-temannya dalam bergiat pencak silat, siapa yang pernah mengasuhnya di pesantren tertentu, dan lain sebagainya. Bahkan dalam kaitannya dengan NU, Kiai Chalim secara cermat menuliskan siapa saja yang sering datang ketika Muktamar NU, siapa orang-orang struktural keorganisasian NU, juga orang yang mengantar NU ke daerahnya masing-masing.
Bagi saya sendiri, informasi sejarah yang berharga dari kitab tersebut adalah detail-detail kecil yang rawan terlewat; yang barangkali sulit ditangkap kecuali oleh orang dekat semacam Kiai Chalim.
Baca saja di sana, betapa teguh ketaatan Kiai Wahab dengan pengakuannya bahwa beliau hanya Wazir bagi KH Hasyim Asy’ary. Sementara di sisi lain, Kiai Chalim pernah diberitahu bahwa Kiai Hasyim sebenarnya merasa kasihan melihat Kiai Wahab “ditendang sana-sini” saat memperjuangkan cita-citanya. Dengan ini, Kiai Chalim adalah saksi bagaimana keteladanan yang mengharukan terjalin dalam hubungan guru-murid itu.
Contoh lainnya, untuk sebut beberapa, ternyata Kiai Wahab lebih sering menyendiri ketika mengaji di Tebuireng. Betapa “karomah” KH Hasbullah mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara kuda dan kusir saat mengantarkan Kiai Wahab mondok ke Langitan. Dalam kaitannya dengan NU, kita menjadi tahu bahwa Hizb Nashar juga menjadi senjata ketika berperang melawan Belanda. Atau kenyataan bahwa dapur umum muktamar dulunya murni dipegang para lelaki, ketika belum ada anggota wanita.
Detail-detail semacam ini yang bisa membuat kita, golongan yang tak pernah hidup sezaman dengan mereka itu, dapat melihat para leluhur secara lebih utuh dan nyata. Tak berlebihan jika saya katakan bahwa dengan membaca kitab tersebut, kita dibawa Kiai Chalim untuk melihat Kiai Wahab dan NU dari dekat, dekat sekali.
Referensi:
Tim Walikutub Saklusin 12. (2020). Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab. CV Jejak.