Mbah Wo Kucing: Beda Kok Dimusuhi …

3,028 views

“Terus Terang, aku ini dudu Arab, nanging aku duwe piugeman urip. Aku uga ora duwe kitab, kerana kitab iku yo awakku iki” (terus terang saya ini bukan Arab, tetapi saya mempunyai pegangan hidup. Saya juga tidak mempunyai kitab, karena diriku adalah kitab).

Penegasan itu meluncur tanpa beban dari mulut Mbah Wo Kucing ketika mengawali percakapan dengan tiga anak muda dari Pemuda Islam Indonesia (PII) yang bertandang ke rumahnya Januari 2001. Ketiga anak muda itu hanya manggut-manggut sembari menorehkan penanya di blocknote yang keihatannya baru dibeli. Mbah Wo, sebutan akrab sehari-hari, memang selalu tegas dan tak peduli siapa lawan bicaranya dalam mengungkapkan apa yang menjadi keyakinannya. Ia sadar bahwa yang di hadapannya adalah tiga anak muda Islam modernis yang hampir pasti tidak toleran terhadap ajaran Kejawen seperti yang dianut Mbah Wo dengan gigih.

Advertisements

Bagi masyarakat Ponorogo, nama Mbah Wo Kucing (nama sebenarnya adalah Kasni Gunopati) tidak asing. Lelaki kelahiran 30 Juni 1934 ini memang warok yang disegani di kalangan seniman Reyog, bahkan sampai di luar Ponorogo (Jakarta, Jember, Riau, Kalimantan, dan Malaysia), di mana ia tercantum sebagai sesepuh yang selalu dimintai nasihat tentang kemungkinan perkembangan kesenian khas Ponorogo ini. Mbah Wo juga dikenal sebagai sesepuh aliran kepercayaan Purwa Ayu Mardi Utama yang kini berkembang cukup luas terutama di Jawa Timur. Pernyataan di awal tulisan ini lebih menampakkannya sebagai penganut gigih ajaran yang mirip dengan umumya kebatinan Jawa tersebut.

Berbeda dengan kesan umum yang menganggap warok sebagai representasi kebrandalan, adhigung-adhiguna, bagi masyarakat Ponorogo warok itu wongkang linuwih. Seorang warok adalah yang mempunyai kelebihan-kelebihan, khususnya dalam ilmu kanuragan dan derajat spiritualitas tinggi dalam pengertian Kejawen.

Babad Ponorogo mendefinisikannya sebagai orang yang wis prono, wis mangerti banget marang agal alus lahir batin, tumindhake mung kanggoo tetulung marang liyan. Atau lebih rinci, seperti ungkap sejumlah teks lain, warok adalah seorang yang mempunyai wewatekan atau ciri-ciri: satria, jujur, gemar tetulung, dan selalu berbakti kepada orang lain yang membutuhkannya; mengumpulkan dua karakter berlawanan (lembut-tegas, lemah-keras); berilmu kesaktian dan mampu menahan emosi.

Walau tidak seperti warok tempo dulu, Mbah Wo dapat dikategori sebagai warok yang mewarisi tradisi itu cukup intens. Ini tidak mengherankan, karena ia sebenarnya adalah keturunan seorang warok terkenal di masa kolonial. Kakek dan ayahnya adalah seorang warok yang disegani terutama oleh masyarakat Ponorogo barat. Meski keraguan terhadap kewarokannya tak juga berhenti terutama oleh sebagian kalangan santri Ponorogo Timur.

Bahkan kritik sangat keras pun acap mencuat ketika ketegangan antarkelompok sosial pendukung partai politik menguat. Di tahun-tahun antara Golkar (Mbah Wo diidentifikasi sebagai pendukungnya) dan PPP yang konsentrasi pendukungnya dari kalangan santri Ponorogo Timur tegang, Mbah Wo tak mungkin bisa menghindar dari tudingan sebagai “warok gadungan” yang bukan saja tak tahu Reyog tetapi juga tidak mewarisi tradisi warok yang oleh kalangan santri diartikan sebagai wira’i.

Mungkin, Mbah Wo memang bukan seorang yang wira’i dalam pengertian sufistik maupun syar’i seperti yang dibayangkan kaum santri. Ia juga tidak berperawakan gagah-tinggi-besar dan menyeramkan siapa pun yang memandangnya sebagaimana kesan umum terhadap warok. Tetapi, orang kerempeng dan tidak begitu tinggi ini hidup sangat sederhana di sebuah rumah tak besar di tengah peluang luas untuk memenuhi kepentingannya jika ia mau.

Beberapa kali ia menolak bantuan dari Golkar maupun pemerintah untuk mengembangkan grup Reyognya, Pujangga Anom, karena muatan politisnya. Ia juga selalu ikhlas dan legowo memenuhi permintaan sejumlah grup Reyog di Jember, Banyuwangi, Malang, Blitar, Jakarta, Kalimantan, dan Riau untuk membangun dan memperkuat kesenian khas Ponorogo ini meski dengan imbalan yang hanya cukup untuk transportasi dan akomodasi sekadarnya. Baginya, tetulung marang liyan (menolong orang lain) adalah keharusan hidup yang mesti dijalani dengan senang.

Mbah Wo tak hirau terhadap semua itu. Keraguan dan kritik terhadap dirinya menyangkut kewarokannya tak membuatnya goyah. Tampaknya, disebut warok atau bukan, bukanlah hal yang penting baginya. “Sebutan orang-orang itu kan hanya warna-warni kehidupan; saya tetap menghargai itu hak orang lain. Yang penting saya tidak hanyut arus emosi mereka,” katanya tenang. “Begini lho dik, saya ini sejak lahir sudah berada dalam lingkungan keluarga yang, waktu itu, oleh banyak orang disebut warok. Apakah saya ini warok atau buka sekarang ini ngga penting,” lanjutnya. “Kalau warok itu dihubungkan dengan punya Reyog atau tidak, itu tidak penting, toh semua orang tahu sejak 1962 saya mempunyai grup Reyog yang hidup dan berkembang sampai sekarang,” belanya.

Agaknya, yang membuat Mbah Wo terpancing adalah soal diskriminasi atau penyudutan terhadap dirinya berkaitan dengan ajaran yang diemban. Karena, seperti yang dialaminya beberapa kali, penyudutan itu lebih bermotif politik yang menurutnya sangat merugikan. Sebagai penganut Purwa Ayu Mardi Utama yang konsisten, Mbah Wo memang lebih suka berterus terang kepada siapa dan pada saat mana pun.

Dengan bangga ia bercerita telah beberapa kali berdebat dengan para kiai dan alim ulama di sejumlah tempat. “Bukan masalah sah atau tidaknya agama saya, karena soal itu hanya cap yang bisa diambil secara sepihak. Yang saya perdebatkan adalah masalah-masalah inti seperti sejatining urip (hakekat hidup), apa bedanya urip lan gesang, dosa dan ampunan sampai masalah bagimana hidup dan kehidupan yang majemuk ini harus dijalani,” kisahnya.

Dan rupanya karena ceplas-ceplosnya itu pula, Mbah Wo, di suatu hari pada pertengahan 1995, terpaksa harus memenuhi panggilan aparat keamanan dan dinas sosial-politik Kabupaten Ponorogo. Kedua lembaga yang kala itu (zaman Orde Baru) sangat menakutkan tersebut meminta keterangan Mbah Wo sehubungan laporan dari sejumlah tokoh Islam Ponorogo bahwa ajarannya dapat dikategori sesat dan menyesatkan. “Kegerahan” sejumlah tokoh Islam itu sendiri bermula dari keterangan Mbah Wo tentang “dosa manusia” dalam pertemuan tokoh-tokoh agama dan aliran kepercayaan di Mlarak, Ponorogo Selatan yang berlangsung beberapa hari sebelumnya.

Mbah Wo sangat tersinggung. “Mana yang sesat, dan apanya yang menyesatkan. Wong saya hanya menjelaskan keyakinan saya bahwa dosa manusia tak mungkin bisa hilang atau dihapuskan sama sekali. Lha, kalau dosa bisa dihapuskan sama sekali, apalagi dengan hanya meminta maaf, betapa enaknya manusia. Di mana pertanggungjawabannya?” kilah Mbah Wo tanpa ragu. “Itu kan mencari-cari atau politislah istilah sekarang,” lanjutnya. “Makanya, sekarang saya selalu meminta ketegasan para tamu yang menanyakan soal keyakinan saya. Apakah akan mendengar keterangan saya secara netral atau politis. Kalau netral baru saya mau ngomong.”

Mbah Wo jelas tak mau disebut bukan Islam, meski keislaman yang dipahami berbeda dengan umumnya kaum santri. “Saya ini juga ngangsu kaweruh dari para ulama dan kiai. Tetapi hasilnya terus saya olah sendiri dengan merenung dan dibantu dengan apa yang diwariskan leluhur kita. Menurut saya ilmu atau kaweruh itu bukan untuk diketahui tetapi untuk dimengerti. Sekarang ini banyak orang tahu dan pintar-pintar, tetapi sedikit yang mengerti,” jelas Mbah Wo sambil mengelus jenggotnya.

Oleh karena itu, ia merasakan betapa kini banyak orang pintar-pintar dan berpidato sangat memikat, tetapi tak mampu menghargai hak-hak orang lain terutama yang berbeda agama atau kepercayaannya. “Beda kok ora oleh, malahan beda kok dimusuhi,” gerutunya. Padahal, menurut Mbah Wo, hidup itu dijadikan oleh Yang Widhi tidak tunggal, tapi warna-warni dan berbeda-beda. Itulah sebabnya, piugeman urip itu selalu menyangkut bagaimana menghayati dan menata diri dalam kaitannya dengan Yang Kuasa dan seluruh kejadian alam, termasuk pergaulan sosial dalam arti luas.

Menyembah dan gumantung kepada Yang Kuasa adalah inti, sementara cara-cara untuk itu terserah kepada manusia itu sendiri yang bisa berbeda satu dengan yang lain. Dalam hubungan sesama makhluk yang terpenting adalah menjaga keseimbangan, keserasian, dan ketenteraman, tidak merugikan orang lain. Dan semua itu dapat dipelajari dalam diri kita sendiri, karena diri kita adalah kitab yang paling utama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan