Kekerasan terhadap perempuan semakin merebak dan terbuka. Fenomena ini sering kita lihat dan jumpai dalam berbagai media sosial. Keterbukaan akses ini membuka sekat ruang dan waktu, sehingga saat ini kita bisa mengetahui bahwa kekerasan terhadap perempuan sudah memenuhi ruang privat dan publik. Mulai dari toilet, rumah, kampus, pasar, pinggir jalan, bahkan lembaga pendidikan agama. Bentuknya yang beraneka ragam, melibatkan berbagai individu turut terseret sebagai subjek kekersan ini. Ada warga sipil, pejabat pemerintah, entertainer, dan tokoh masyarakat. Realitas ini tentunya meresahkan sekaligus mengancam eksistensi perempuan khususnya dan moral kemanusiaan.
Islam sejak kelahirannya berusaha untuk membongkar ideologi diskriminatif yang sarat akan muatan-muatan kekerasan terhadap perempuan. Perlu diingat kembali, tradisi orang Arab pada waktu itu memandang perempuan sebagai manusia yang sangat rendah dan menempatkannya pada posisi kelas dua. Tidak berharga dan tidak memiliki hak apa-apa atas hidupnya. Lebih dari itu, perempuan dianggap sebagai pembawa malapetaka, aib yang memalukan, dan oleh karena itu harus dimusnahkan.
Fenomena ini diabadikan dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Di tengah kegelapan yang kelam inilah, Islam melalui ayat sucinya menggaungkan pesan-pesan moral kemanusiaan. Perlahan menghapus segala bentuk eksploitasi terhadap perempuan dan mengangkat martabatnya serta mensejajarkannya dengan laki-laki baik dalam hak dan kewajiban.
Islam menjadi pelopor yang memperhatikan hak-hak perempuan, seperti halnya ketetapan hukum yang diformulasikan Al-Qur’an mengenai hak waris perempuan, hak untuk bersaksi bagi perempuan, dan yang paling revolusioner adalah seperangkat hukum keluarga yang ditetapkan dalam Al-Qur’an yang menghapuskan praktik eksploitasi laki-laki terhadap perempuan.
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ada beberapa dalil nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang oleh beberapa kalangan muslim dianggap sebagai legitimasi untuk merendahkan perempuan dan menempatkannya dalam posisi subordinat laki-laki. Pada gilirannya, pandangan tersebut akan memberikan peluang bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan misi besar Islam mengenai kesetaraan dan moral kemanusiaan sebagaimana disebut di atas.
Semua Kalam Tuhan dan apa yang dikatakan oleh Nabi pastilah tidak ada yang salah. Semua memiliki substansi kebajikan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memahami teks-teks yang menjadi sumber rujukan primer tersebut secara benar. Beberapa contoh dari kemungkinan tersebut, yang pertama mengenai Hadis Nabi yang diutarakan dalam pidato terakhirnya di Arofah,
“Perhatikanlah (kata-kataku): hendaklah kalian memperlakukan perempuan secara baik, karena mereka bagaikan tawananmu. Sesungguhnya kalian tidak memiliki hal apa pun selain (kebaikan) itu” (H.R. al-Turmudzi dan Ibnu Majah).
Yang menjadi sorotan dalam hadis tersebuat, yaitu diksi “karena mereka bagaikan tawananmu”. Sebagian pembaca hadis tentu akan tercengang. Nabi yang mulia menganggap perempuan sebagai tawanan. Sebagai seorang tawanan, tentunya ia tidak memiliki kebebasan, harus memenuhi segala permintaan tuannya. Hal ini akan berpeluang timbulnya kekerasan terhadap perempuan, dan tentunya berseberangan dengan perintah agama mengenai kebebasan aktivitas bagi perempuan di tengah masyarakat.
Untuk memahami hadis tersebut, penting memerhatikan konteks yang ada. Kondisi sosial masyarakat Arab pada saat itu, menurut Ibnu Sidah sebagaimanan dikutip Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab, mengatakan:
“Kaum perempuan disebut tawanan adalah karena mereka selalu ditindas dan tidak mendapatkan pembelaan dari masyarakat. Maka hadis ini sebenarnya ingin mengingatkan kepada manusia tentang realitas perempuan pada ruang dan waktu itu. Dan menyerukan untuk menghentikan penindasan-penindasan sekaligus memerintahkan agar memperlakukan perempuan secara khair (baik).”
Jadi, semangat pesan yang ingin disampaikan oleh Nabi yaitu menghilangkan segala penindasan terhadap perempuan dan memperlakukannya dengan baik.
Bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan yaitu domestikasi perempuan. Dengan maksud perempuan dilarang meninggalkan rumah kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak. Pandangan ini masih sering digaungkan oleh kalangan muslim yang konservatif. Argumen yang mereka angkat, yaitu tubuh perempuan adalah aurat. Perempuan juga merupakan sumber hasrat seksual. Oleh karena itu ia harus menutup diri di balik tembok rumah. Bahkan muncul berbagai satire, “wanita betah di rumah itu bukan kuper, tapi Sunnah”; “wanita yang bekerja di luar rumah, setiap langkah kakinya adalah (menuju) neraka.”
Ayat yang dijadikan sebagai sandaran adalah surat al-Ahzab ayat 33: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu” (Q.S: 33;33).
Muncul berbagai variasi mengenai tafsir ayat tersebuat di kalangan ulama. Salah satunya apakah ayat tersebut berlaku untuk perempuan secara umum atau khusus untuk istri-istri Nabi. Sebab, ayat sebelumnya dengan jelas menggunakan diksi “wahai istri-istri Nabi”.
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain. Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (Surat Al-Ahzab ayat 32).”
Menurut ahli tafsir kondang asal Indonesia M Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, mengutip perkataan Thahir al Masyur, yakni perintah tersebut wajib untuk istri-istri Nabi. Sedangkan, untuk muslimah lainnya bersifat kesempurnaan. Yakni, tidak wajib, tetapi sangat baik. Sedangkan, ada pula yang mengatakan perintah tersebut berlaku umum seperti diungkapkan Imam al-Qurtubi.
Perlu diperhatikan pula bahwa istri-istri Nabi diperintahkan menetap di rumah untuk mengkaji al-Qur’an dan ilmu. Terlebih suami mereka adalah seorang Rasul, sumber ilmu, dan teladan bagi umat Islam. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komperehensif, perlu memerhtikan hadis-hadis terkait. Di zaman Rasul ada seorang perempuan bernama Ummu Ma’bad. Ia bekerja di sebuah kebun kurma. Nabi yang mengetahui hal tersebut tidak melarang, justru mengatakan bahwa setiap biji kurma yang ditanam akan mendapatkan pahala sampai hari kiamat.
Dalam mempertimbangkan teks-teks yang ada dalam nash, penting untuk melihat pada sisi sejarah karena merupakan aspek penting dalam memahami teks-teks tersebut. Apakah perempuan di masa Nabi di rumah saja dan dilarang bekerja?
Teks lain dari Al-Qur’an yang masuk dalam pembahasan ini yaitu surat al Nisa ayat 34:
“Dan istri-istrimu yang kamu khawatir nusyuz mereka, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Nusyuz dapat diartikan sebagai durhaka kepada suami dan melakukan pembangkangan. Dalam berbagai literatur fikih, terdapat berbagai bentuk nusyuz, di antaranya ucapan kasar istri terhadap suami, menolak menjawab suami, menolak hubungan intim, dan keluar rumah tanpa izin suami di luar kepentingan yang mendesak. Pada ayat di atas, Al-Qur’an menawarkan solusi terhadap istri yang melakukan nusyuz, yang salah satunya dengan cara memukul. Secara eksplisit berarti Islam meligitimasi adanya kekerasan terhadap perempuan. Atas dasar ayat ini suami absah untuk memukul istri.
Jika dielaborasi secara mendalam, pada ayat tersebuat menunjukkan bahwa pemukulan hanya dapat dilakukan setelah melewati tahap-tahap persuasif berupa menasihati dan pisah tidur. Menurut KH Husein Muhammad, ada sejumlah catatan para penafsir Al-Qur’an mengenai pemukulan ini. Pertama, pemukulan tidak boleh diarahkan ke wajah. Kedua, pemukulan tidak boleh sampai melukai, dan dianjurkan dangan benda yang paling ringan, misalnya sapu tangan. Ketiga, pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik. Keempat, pemukulan hanya dilakukan sepanjang memberikan efek manfaat bagi keutuhan dan keharmonisan kembali relasi suami istri.
Karena itu, Islam sejatinya agama yang menebarkan kasih sayang, mengajarkan norma kemanusiaan, dan melarang segala bentuk kekerasan tidak terkecuali kekerasan terhadap perempuan. Kekeliruan penafsiran terhadap suatu teks dan penafsiran yang secara partikulatif memunculkan wacana atau pemikiran suatu tindakan yang semestinya dilarang tetapi justru dilakukan atas dasar agama.
Wallahu a’lam bishawab.