Melihat Inovasi Seni Tradisional dari Garut

759 kali dibaca

Jumat malam, 1 Desember 2023, penulis nonton Festival Silat Tematik di Gedung Art Center Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kegiatan ini merupakan bagian dari Festival Kabuyutan yang diselenggarakan selama tiga hari, dari tanggal 1 sampai 3 Desember 2023. Festival  ini diselenggarakan oleh Makara Art Center UI (MAC-UI) bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut (DKKG)

Semula penulis bingung, apa yang dimaksud dengan silat tematik. Setelah menyaksikan, penulis baru paham, bahwa silat tematik adalah pertunjukan silat yang dipadu dengan musik, tari, dan cerita legenda dan sejarah lokal Garut.

Advertisements

Ada delapan peserta yang tampil malam itu. Mereka berasal dari beberapa sanggar seni dan pedepokan silat yang ada di Garut. Tema yang diambil, di antaranya kisah tentang legenda Nyi Endit (terjadinya danau Situ Bagendit), Prabu Kian Santang, dan Raja Siliwangi. Masing-masing peserta tampil dengan durasi 15 sampai 20 menit.

Meski mayoritas (hampir 70%) bobot penilaian berada pada aspek gerakan, namun penampilan para peserta cukup menarik dan kreatif. Ada peserta yang memasukkan unsur musik modern (drum dan gitar) yang dikolaborasikan dengan gendang, siter, dan suling serunai untuk mengiringi gerakan silat. Ada juga yang menyisipkan adegan adu domba garut menggunakan replika domba seperti barongsai.

Ada beberapa hal menarik dari festival silat tematik ini. Pertama, peserta tidak hanya dari kalangan remaja dan dewasa, tetapi juga anak-anak. Bahkan, ada anak yang berusia di bawah sepuluh tahun yang memiliki gerakan silat sangat bagus. Mereka bermain bersama dalam satu tim, bukan dalam katagori yang terpisah. Seperti terlihat pada seorang bocah yang memerankan Kian Santang kecil yang sedang digembleng oleh seorang resi mengenai ilmu bela diri dan keutamaan hidup.

Kedua, festival ini tidak memilah katagori lelaki dan perempuan. Sebagaimana halnya dengan anak-anak, para perempuan dapat bermain dalam satu grup dengan lelaki. Bahkan, dalam adegan silat terjadi pertarungan langsung antara pendekar lelaki dan perempuan. Inilah yang membuat festival silat ini menjadi pertunjukan seni yang sangat menarik. Di sini silat tidak semata-mata dinilai dari gerakan yang berbasis kekuatan fisik, sehingga harus dipisahkan secara gender, tetapi pada dimensi estetik yang lintas gender.

Ketiga, karena tema yang diangkat terkait dengan legenda dan sejarah lokal, maka event ini dapat menjadi sarana edukasi yang efektif untuk memperkenalkan legenda dan sejarah lokal kepada anak-anak dan generasi muda dengan segenap nilai-nilai dan spirit yang ada di dalamnya.

Penulis sempat ngobrol dengan peserta dan penonton dari kalangan anak-anak dan remaja. Mereka mengaku lebih kenal dan paham sosok Nyi Endit, Prabu Kian Santang, dan Raja Siliwangi setelah menonton dan ikut bermain.

Para pemain mengaku dapat memahami sosok-sosok melegenda beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya setelah ikut dalam festival ini. Hal ini terjadi karena mereka mendapat penjelasan dan arahan dari sang pelatif tentang sosok-sosok legenda yang dimainkan. Mereka harus paham naskah, hafal dialog, dan pengadeganan sehingga berhari-hari mereka harus membayangkan karakter sang tokoh beserta ajaran-ajarannya.

Para penonton merasa lebih dapat memahami dan mengenal sejarah dan legenda daerahnya karena merasa terlibat secara emosional saat melihat pagaleran secara langsung. Mereka mengaku sebenarnya telah  mengenal beberapa sosok sejarah yang dimainan dari buku-buku dan cerita tutur. Ada juga yang mengaku mengenal para tokoh tersebut dari layar televisi. Tetapi mereka merasa berbeda ketika menonton langsung. Ada keterlibatan emosional yang lebih dalam ketika mereka menyaksikan langsung dibanding dengan menonton di TV maupun youtube. Kondisi emosional inilah yang membuat mereka merasa lebih paham dan lebih dekat dengan para sosok yang dimainkan.

Pengakuan para pemain dan penonton ini mengafirmasi pemikiran Romo Haryatmoko. Dalam bukunya yang berjudul Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan: Jawaban Atas Tantangan Distrubsi-Inovatif (2020), Haryatmoko memaparkan pentingnya perubahan orientasi sistem pendidikan dari yang lebih berorientasi aspek kognitif (cognitive oriented) menjadi lebih berorientasi aspek afektif (affective oriented). Hal ini perlu dilakukan karena teknologi digital di era revolusi industri 4.0 ini telah mampu menyediakan berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh dimensi kognitif. Dengan kata lain, fungsi pendidik untuk mengembangkan aspek kognitif peserta didik sebagian besar telah diambil alih oleh teknologi digital seperti Google, Artificial Intelligence (AI), dan beberapa platform pendidikan.

Dalam kondisi demikian, menjadi tidak efektif kalau pendidikan masih menekankan pada aspek kognitif. Untuk menjawab tatangan era disruptif, maka pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif (roso, perasaan, emosi), karena aspek ini tidak dapat dipenuhi oleh teknologi. Bagaimanapun kemampuan teknologi bisa menyentuh emosi manusia, tidak akan dapat mengalahkan sentuhan yang diperoleh melalui interaksi langsung. Sapaan, tatapan mata, belaian tangan, dan sejenisnya yang dilakukan secara langsung tidak akan tergantikan oleh teknologi maupun teks mati (buku).

Yang lebih menarik, ternyata festival Silat Tematik ini baru pertama kali diselenggarakan. Artinya, festival ini merupakan bentuk inovasi kreatif dari para seniman Garut yang tergabung dalam Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut (DKKG) yang dipimpin oleh Iwan Hendarsyah (Kang Jiwan).

Saat menyaksikan pertunjukan ini, terbayang dalam benak penulis bagaimana para wali melakukan rekonstruksi terhadap beberapa bentuk kesenian lokal untuk dijadikan sebagai sarana pendidikan dan menyebarkan ajaran agama. Dapat dikatakan, Festival Silat Tematik ini merupakan hasil “ijtihad kebudayaan” para seniman Garut di bidang seni pertunjukan.

Penulis melihat silat tematik dapat menjadi model pendidikan alternatif  yang menyentuh dimensi afektif. Melalui kegiatan ini, sejarah tidak hanya dikenalkan sebagai pengetahuan yang hanya menyentuh aspek kognitif, sebaliknya sejarah justru dipahami sebagai laku hidup sehingga menyentuh aspek kognitif.

Mereka disentuh emosinya melalui latihan dan pertunjukan langsung. Inilah yang menyebabkan anak-anak muda merasa dapat mengenal lebih dalam para sosok bersejarah dan lebih memahami nilai-nilai yang diajarkan setelah mereka terlibat menjadi pemain atau menonton secara langsung.

Penulis membayangkan, anak-anak kecil dan para remaja yang main dan terlibat dalam pagelaran Festival Silat Tematik ini akan memiliki kesan mendalam terhadap sosok legenda dan sejarah yang dimainkan pada malam itu. Kesan yang mendalam itu akan memiliki pengaruh dalam proses pembentukan karakter si anak. Oleh karenanya, sangat layak kiranya kalau Silat Tematik ini dikembangkan dan dijadikan sebagai metode pendidikan.

Jika setiap daerah mengembangkan Silat Temarik dengan menggali legenda dan sejarah lokal  masing-masing, maka nilai-nilai dan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut akan tertanam dengan kuat pada diri anak-anak Indonesia. Jika hal ini terwujud, maka mereka akan menjadi generasi yang tangguh dan kreatif, sehingga tidak mudah hanyut dan larut dalam pusaran arus kebudayaan yang mengepung mereka di era digital.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan