Selama ini kita dijerumuskan pada pemahaman konsep nonkritis, bahwa anarkisme adalah paham kekerasan dan kekacauan. Anarki dikategorikan sebagai laku kriminal, yang melahirkan kekacauan, kebrutalan, dan beragam aksi individu maupun masyarakat yang antidamai.
Padahal, dalam makna yang sebenarnya, anarkisme merupakan paham politik kebebasan individu maupun kelompok, tanpa hierarki kekuasaan maupun negara. Yang terjadi tak jauh berbeda dengan istilah radikalisme dan radikal yang selama ini dipandamg sebagai paham dan aksi kekerasan. Padahal, sebenarnya radikalisme adalah paham untuk mencari kebenaran hingga ke akar-akarnya, radiks, menemukan puncak kebenaran yang hakiki.
Pada kesempatan ini, kita akan berdiskusi soal arti dan tujuan sebenarnya dari filsafat politik anarkisme. Sebagai bagian dari pembentukan nilai anarkisme yang sesungguhnya, termasuk juga untuk membangun aliansi pemikiran dalam khazanah ilmu pengetahuan. Agar makna anarkisme kembali kepada arti awal, tidak semata berkelindan dalam dunia kekacauan dan kekerasan.
Anarkisme sebagai paham filsafat politik mempunyai nilai sosial yang perlu didiskusikan. Bukan untuk memaksakan paham ini dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi untuk meletakkan makna yang mungkin dapat dijadikan asas dalam mengambil nilai kebijakan. Diperlukan analisa non a priori terhadap proanarkisme, sebagaimana dibutuhkan juga dialektik non a priori kepada proanarkisme. Dalam bahasa santri disebut sebagai paham “khairul umur ausathuha,” sebaik-baiknya perkara adalah yang biasa-biasa saja.
Etimologi Anakisme
Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata “anarki”. Ia berasal dari bahasa Yunani, memperoleh awalan an(a) yang berarti “tidak”, “ketiadaan”, “kekurangan”, atau zonder (tidak ada). Lalu ada kata “archie” atau “archos” atau dalam bahasa Yunani “archein”, yang berarti “pemimpin; suatu aturan”, “memerintah”, dan “menguasai”. Jadi anarki sendiri dapat diartikan sebagai tidak ada yang memerintah atau zonder pemimpin. Menurut Peter Kropotkin, anarki berasal dari bahasa Yunani yang berarti “melawan penguasa” (Kropotkin’s Revolutionary Phamphlets).
Sebagai paham politik, anarkisme mengusung kebebasan dalam membangun hubungan sosial tanpa adanya campur tangan pemerintah. Paham ini mengandaikan terciptanya harmoni sosial tanpa harus dikekang dan diatur dalam sebuah hierarki-patriarki kekuasaan. Pemerintah, dalam paham anarkisme, merupakan musuh utama untuk segera dienyahkan dan dihapus, karena hanya akan memberikan kemakmuran pada sekelompok elite pejabat.
Anarkisme juga dipandang sebagai paham politik yang mampu berdiri sendiri membangun kehidupan dan mewujudkan keadilan. Karena itu, maka sistem pemerintahan dianggap tidak diperlukan lagi oleh sistem politik anarkisme. Lebih jauh dari itu, agama juga dipandang sebagai musuh anarkisme. Sebab, di dalam agama terdapat aruran-aturan yang dibangun atas kemauan untuk memimpin dan menciptakan hierarki kepemimpinan.
Tujuan Anarkisme
Peter Kropotkin memberikan definisi anarkisme yang lebih dekat ke sosialisme. Menurutnya, anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia.
Karena itu, Peter Kropotkin dengan jelas memastikan bahwa anarkisme adalah sistem sosial tanpa adanya pemerintahan. Tanpa adanya hierarki pemerintahan, manusia sosialis mampu mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya dalam kehidupan. Sistem anarkisme tidak memerlukan konstitusi negara yang justru akan bersikap menindas. Anarkisme juga berlawanan dan menentang kapitalisme.
Dalam anarkisme, menurut Peter, setiap persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan oleh manusia secara individu maupun kelompok. Tidak ada imam (apalagi imam besar), pemimpin, ataupun pemerintah dalam sistem filsafat politik anarkisme. Keberadaannya adalah kebebasan yang sosialis, atau kehidupan sosial yang setara demi kelangsungan hidup yang sama rata (produk keadilan dalam lingkup kesamaan derajat).
Sementara itu, Errico Malatesta memberikan batasan arti anarkisme sebagai ketiadaan eksploitasi dan penindasan manusia. Anarkisme diartikan sebagai paham politik untuk penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas. Jika itu terjadi, maka menurut paham politik anarkisme, harus ditindak tegas agar eksploitasi dan penindasan hilang dari kehidupan bermasyarakat.
Jadi, passion dari politik filsafat anarkisme adalah adanya kebebasan masyarakat dalam berkehidupan. Tidak ada eksploitasi, apalagi penindasan, serta terbebasnya manusia dari sistem hierarki pemerintahan. Harus ada kesamaan dan kesama-rataan dalam sistem sosial, sehingga antarindividu tidak terjadi saling klaim kepemilikan dan tidak terjadi persoalan antara rakyat dan pemerintah.
Pemerintah —dalan sistem politik anarkisme— bagaikan duri dalam daging manusia anarkis. Kalau dalam bahasa KH Hasyim Asy’ari, sebagaimana diungkapkan oleh Dr Bahrur Rozi (dosen filsafat di STITA Aqidah Usymuni), “Wahabi adalah duri dalam daging kaum muslim.” Dalam hal ini, pemerintah (sebagai pola metafor Wahabi) merupakan sesuatu yang akan merusak sistem filsafat anarkisme.
Fisafat Anarkisme
Anarkisme adalah sebuah filsafat, dalam arti bahwa sistem ini mencari nilai kebenaran dalam membangun sebuah komunitas. Jika filsafat dimaknai sebagai pencarian kebenaran sampai pada akar permasalahannya, maka sistem anarkisme dapat dijadikan alternatif untuk sebuah idealisme kehidupan.
Anarkis (pengikut paham anarkisme) melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerja sama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau, dalam tulisan Bakunin yang terkenal, “Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan.” Antara kebebasan dan kehidupan adalah dua sisi yang saling terkait. Kelindan dua aspek yang saling memberikan dukungan, sehingga puncak dari sistem anarkisme adalah kebebasan yang berkeadilan, dan keadilan yang membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.
Salah satu tokoh filsafat anarkisme yang paling berpengaruh adalah Pierre-Joseph Proudhon, pemikir yang mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perkembangan anarkisme; seorang penulis yang betul-betul berbakat dan “serba tahu” dan merupakan tokoh yang dapat dibanggakan oleh sosialisme modern. Proudhon sangat menentang sistem hierarki pemerintahan yang dalam filsafat anarkisme sangat berpengaruh buruk. Karena itu, apa pun bentuk dan teknisnya, sikap eksploitasi dan pemaksaan kehendak harus dibuang jauh dari sistem politik anarkisme.
Anarkisme dan Radikalisme
Namun dalam sejarahnya, para anarkis (pengikut paham anarkisme) menggunakan kekerasan dalam mengembangkan ide-idenya. Ini sebenarnya sangat bertentangan paham politik anarkisme itu sendiri. Anarkisme yang mewujud dalam bentuk kekerasan (radikalisme dalam makna kebrutalan) ini diikuti oleh kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani.
Slogan para anarkis Spanyol pengikut Durruti berbunyi, “Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan.” Slogan itu memang sarat dengan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Menurut penganut paham anarkis ini, aksi kekerasan, penindasan, perusakan, penyerangan, dan lain sebagainya dipandang sebagai cara legal yang boleh digunakan. Dari sinilah muncul kontradiski awal terbentuknya paham anarkisme.
Namun, dalam sejarahnya, tidak semua anarkis setuju dengan itu. Dalam bukunya What is Communist Anarchist, pemikir anarkis Alexander Berkman menulis:
“Anarkisme bukan bom, ketidakteraturan, atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali ke kehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa Anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorang pun boleh memperbudak Anda, menjadi majikan Anda, merampok Anda, ataupun memaksa Anda. Itu berarti bahwa Anda harus bebas untuk melakukan apa yang Anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang Anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, sehingga dapat menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan.”
Dari sini, penulis mengangkat tema anarkisme sebagai bentuk paham konsep kehidupan, bukan berarti akan mengganti paham demokratik kepemimpinan (Indonesia) menjadi paham anarkisme. Akan tetapi, penulis ingin mengembalikan makna awal anarkis menjadi sebuah paham dengan tujuan kesetaraan, keadilan, dan kebersamaan. Bukan sebagaimana yang kita pahami selama ini, bahwa anarkisme adalah tindakan kriminal, kekerasan, pengrusakan, penyerangan, kekacauan, dan lain sebagainya.
Nilai luhur yang perlu digali dan dapat diaplikasikan dalam berkehidupan sosial adalah kesetaraan. Dalam paham anarkisme tidak ada tindakan penindasan terhadap orang lain. Tidak ada tindak kekerasan oleh dan dari kelompok mana saja. Harus hidup berdampingan, tidak ada klaim kebenaran individual, serta harus selalu terjadi keseimbangan dalam berkehidupan.
Kesetaraan dan keadilan jika kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjamin sebuah kehidupan yang harmonis. Saling menjaga nilai-nilai etika, serta mampu memberikan yang terbaik bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Kesenjangan yang selama ini kita rasakan akan terkikis habis dengan nilai paham anarkisme dengan kodifikasi khusus.
Jadi, anarkisme, terlepas dari sikap tindak kekerasan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Harus kita hargai dan junjung tinggi demi martabat manusia dalam berkehidupan sosial. Wallahu A’lam!