Memahami Gerakan Ekologi Pesantren di Lubangsa*

186 kali dibaca

Sekalipun Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa berhasil mengusung konsep pesantren berwawasan ekologi —sistem terbaik dalam mengurusi sampah yang kita punya—keresahan dan terdeteksinya dinamika lingkungan di warga sekitar tidak bisa kita mungkiri. Pengembangan eko-pesantren akhir-akhir ini yang terus digaungkan secara terbuka memberi kredit besar terhadap kiprah lembaga pendidikan Islam di Guluk-guluk, Sumenep, itu. Meski tidak terang-terangan, pesantren setidaknya mampu menghadirkan solusi mutakhir ketika dihadapkan pada krisis lingkungan.

Memang, pengembangan pelestarian alam di pesantren ini sudah terjadi sejak tempo lalu. Menurut kabar yang beredar, cikal bakal pesantren berwawasan ekologi di Madura, terutama di Annuqayah, mulai dikenalkan melalui pemberdayaan aneka tumbuhan oleh para masyayikh di sekitar rumah kiai dan simpang jalan pesantren. Bentuk pengenalan ini menciptakan tren keberislaman ekologis.

Advertisements

Pengenalan ini, pada mulanya, tercipta sebagai suatu ramuan ideologi agar bisa tumbuh dan mekar dari rahim pesantren. Keberadaan pesantren tentu tidak melulu mengurusi persoalan keseharian umat, tapi juga turut melindungi alam semesta. Satu fakta menarik, bahwa tanah Guluk-Guluk adalah termasuk wilayah yang subur. M Bisri Efendy, dalam bukunya Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura (1990) menjelaskan bahwa tanah Madura tempo dulu merupakan tanah yang kaya akan air. Tetapi sejak kedatangan para penjajah, yang mengeksploitasi alam, kesuburan tanah kian terancam. Akibatnya wilayah Madura dilanda kekeringan.

Musibah kekeringan yang melanda tanah Madura menjadi satu peluang terbaik bagi pesantren untuk menyuplai gagasan soal persoalan ekologi dan agraria. Pesantren yang mempunyai nilai-nilai luhur, keagamaan dan kajian ilmiah, semacam alasan mengapa pesantren harus bangkit dan bergerak ke arah ekologis.

Perhatian gerakan ekologi pesantren sejatinya telah termaktub dalam lembaran keputusan ulama Indonesia. Lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 47 Tahun 2014, pernah mengeluarkan fatwa yang berisikan pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan. Kelahiran fatwa ini berasal dari problem pencemaran dan eksploitasi alam yang sudah banyak dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Berikut pula Laporan Greening the Blue pada tahun 2019. Sebuah proyek lingkungan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat bahwa 92% penduduk dunia tidak dapat menghirup udara bersih. Polusi udara itu, bahkan mampu merugikan ekonomi global sebesar 5 triliun dollar AS per tahun. Lebih dari itu, polusi ozone pada level dasar juga diprediksikan akan mengurangi panen sebanyak 26% sampai tahun 2030.

Prediksi, berita, dan fakta di atas menujukkan betapa permukaan bumi sedang tidak baik-baik saja. Pertanyaannya adalah: apa yang mesti diperbuat oleh kita untuk merawat Bumi? Siapa yang perlu kita salahkan apabila Bumi pada tahun 2030 bakal dilanda bencana maha dahsyat? Perlukah pesantren turun tangan dalam mengatasi persoalan ekologi?

Dakwah Ekologi Lubangsa

Beberapa tahun belakangan, pesantren memulai langkahnya dalam mengembangkan wawasan lingkungan. Gerakan ini bakal menjadikan pesantren menambah pekerjaan rumah di bidang ekologi. Tentunya penambahan itu memberi imbuh dari perjalanan dakwah eko-pesantren  yang sampai sekarang masih belum menemukan identitas yang cocok secara majemuk. Namun, pesantren bisa menerapkan tata kelola lingkungan terpadu, mandiri dan, bertanggung jawab tanpa kehadiran teknologi.

Kesederhanaan sebagai jubah pesantren mengantarkan kita membuat sistem pengembangan lingkungan tanpa bantuan teknologi sedikit pun. Ibarat seseorang tengah berjalan di waktu hujan, sedang ia tidak membawa payung. Teknologi bagi kita cuma alternatif untuk memudahkan sistem operasional secara baik. Ketika ketergantungan pada teknologi akhirnya runtuh, kita bisa mandiri dalam pengelolaan sampahnya.

Terbukti, Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa memiliki model ekologi dengan cara menemukan laboratorium sampah. Laboratorium ini semacam tempat mata air pembuangan sampah mutakhir yang bisa membikin barang rongsokan jadi barang serba guna. Ia berada di titik temu dan titik silang dalam lintas santri dan masyarakat. Ia juga menjadi lokus besar ikhtiar pesantren menjaga kelestarian lingkungan. Sebagai mata air pesantren, kehadiran laboratorium sampah sangat berguna bagi keberlangsungan alam kita.

Tata kelola laboratorium sampah begitu sederhana, yakni pemenuhan akses tempat pemilahan sampah, perubahan pola pikir, dan kampanye antiplastik. Pengelolaan seperti itu dianggap mempunyai dampak yang cukup besar terhadap perilaku santri. Kita tahu perubahan perilaku tidak langsung mengubah secara total. Tetapi perubahan sedikit demi sedikit, mulai menggeser sikap tidak disiplin kita di level membuang sampah sembarangan menuju mengurusi sampahnya sendiri.

Meski pesantren berhasil mengelola sampahnya, kita sering kesulitan dalam menertibkan sampah dari luar. Sampah-sampah yang biasanya berasal dari tamu, pabrik, dan sejenisnya, terkadang tidak bisa terkontrol dengan baik. Bahkan, menjamurnya makanan di pesantren membuka peluang sampah sulit dicegah.

Menuju Warga Sekitar

Pondok Pesantren Annuqayah sudah berupaya mengatasi masalah sampah tersebut. Misalnya dengan mengadakan kegiatan dua musyawarah. Musyawarah pertama bertajuk Lubangsa EMAS bertempat di halaman Lubangsa Putri pada 22 Juli 2023. Yang kedua Musyawarah Ekologi Pesantren bertemakan “Pesantren Mapan; Merawat Alam, Peduli Masa Depan” yang dihelat di Aula Lubangsa, 2 Maret 2024.

Perundingan ini menghasilkan setidaknya tiga gambaran: 1) Peran pesantren dalam pelestarian lingkungan; 2) Prosedur tata kelola sampah; dan 3) Belajar pengelolaan sampah secara terpadu, mandiri, dan bertanggung jawab.

Hasil ini membuat pesantren sudah bergerak ke arah penghijauan. Takrif pesantren ekologi, kata Imam Malik, dalam buku Menuju Pesantren Hijau, menyebut satu istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah proses yang dijalankan oleh pondok pesantren sebagai ikthiar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Menelisik argumen ini, maka PPA Lubangsa mewarisi tekad kuat pengembangan pelestarian alam.

Di masa depan, tantangan terbuka justru datang saat pesantren menjalani fase pengelolaan sampah pada warga sekitar. Nantinya pesantren akan dihadapkan pada sejumlah warga yang tentu menolak gerakan antiplastik sekali pakai. Pengetahuan warga bawah, terhadap sampah, didominasi hal-hal berbau higienis dan instan. Sifat ini telah menjamur, bahkan —kalau bisa dibilang— mereka tidak bisa menolak plastik.

Pewarisan pengetahuan ini semacam batu yang siap membentur kapan pun ia mau. Tidak sedikit pesantren masih berkutat mencari jawaban atas problem itu. Pada titik inilah, pesantren perlu bersinergi dengan warga untuk menciptakan suatu gerakan baru, demi mencapai upaya peleburan eko-pesantren. Dengan menjadikan eko-pesantren sebagai spirit pengetahuan, gerakan, terhadap nasib lingkungan hidup, seharusnya konsep pesantren berwawasan ekologi bisa terus diwariskan secara turun menurun.

*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri sesuai dengan judul aslinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan