Wacana tentang pembentukan negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia oleh sebagian kelompok (umat muslim) tak pernah susut, dan bahkan semakin menggurita. Hasrat menjadikan Islam sebagai dasar negara (Khilafah Islamiyah) sesungguhnya bukan fenomena yang baru. Hal tersebut telah muncul tidak lama setelah Indonesia merdeka, yaitu ketika penentuan dasar negara.
Salah satu tokoh perjuang kemerdekaan yang sangat getol menyuarakan Islam sebagai dasar negara adalah M. Natsir. Bahkan, keinginannya ia sampaikan ketika berpidato di depan Majelis Konstituante. Alasan paling kuat Natsir, karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Sehingga, Indonesia hanya memiliki dua pilihan untuk menentukan dasar negara: sekularisme (Pancasila) atau paham agama (negara Islam).
Namun, tuntutan yang digelorakan kelompok Islam tersebut kandas di tengah jalan lantaran mendapatkan resistensi dari kelompok nasionalis. Alih-alih patah, justru kekalahan diplomatis ini mengobarkan semangat mereka untuk terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan memformalisasikan syariat Islam hingga kiwari. Upaya mereka-pun cukup beragam. Melalui jalur parlemen di satu sisi, dan di luar parlemen di sisi lain sebagaimana yang tengah dilakukan oleh pelbagai kelompok Islam radikal.
Menguatnya wacana pembentukan negara Islam dan formalisasi syariat Islam – baik di Indonesia maupun belahan negara lain – setidaknya terdapat tiga alasan paling mendasar yang dikemukakan mereka. Pertama, adanya doktrin teologis Islam yang memuat perintah penerapan syariat Islam. Sehingga, tegaknya syariat Islam hanya dapat dilakukan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Kedua, tidak adanya pemisahan antara Islam dan negara. Menurut mereka, Islam merupakan agama yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia sehingga tak bisa dipisah-pisah. Argumen ini didasarkan atas fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad pernah menjadi pemimpin agama dan negara sekaligus. Selain dinisbahkan pada doktrin teologis Islam.
Ketiga, mereka berkeyakinan bangsa Indonesia akan mampu keluar dari pelbagai krisis mutlidimensional hanya dengan menerapkan syariat Islam. Juga, kegagalan pemerintah Indonesia menegakkan hukum dan kriminalitas menjadi alasan tersendiri mereka untuk memberlakukan formalisasi syariat Islam.
Ironisnya, untuk mencapai cita-cita terbentuknya “negara Islam” acapkali mereka menempuh jalur-jalur tidak manusiawi. Seperti memaksakan kehendak, berperilaku intoleran, memusuhi orang yang tak sepikiran – kendati umat Islam sendiri – gemar melakukan teror hingga aksi meledakkan diri sendiri. Ini berarti, keberadaan mereka menjadi ancaman cukup serius. Bukan hanya bagi Islam, melainkan tatanan kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara. Alih-alih memperjuangkan Islam, justru praktiknya bertentangan bahkan dengan nama Islam itu sendiri yang berarti “memberi keselamatan”.
Tidaklah mengherankan, jika keberadaan kelompok para pejuang negara Islam dan formalisasi syariat Islam ini seringkali ditolak bahkan diperangi. Bukan sekadar di Indonesia, melainkan seluruh negara di pelbagai belahan dunia lain dikarenakan kerap menimbulkan keresahan dan kecemasan khalayak ramai dibalik perjuangannya.
Walau begitu, siapa sangka wacana tentang pembentukan negara Islam ini juga diadopsi bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya oleh salah seorang ulama sekaligus intelektual muslim raksasa Indonesia alumnus Universitas Chicago, Amerika Serikat yaitu Buya Syafii Maarif –sapaan akrab Prof. Dr H Ahmad Syafii Maarif.
Gagasan Negara Islam
Membincang pemikiran dan gagasan-gagasan seorang Buya Syafii Maarif apalagi tentang konsep negara Islam-nya, akan membawa kita pada suatu kehidupan yang sangat ideal dan didambakan seluruh umat manusia, khususnya umat Islam sendiri. Mengapa demikian, karena gagasan atau ide yang digulirkan membawa hawa segar di tengah “krisis nilai-nilai kemanusiaan” yang menimpa umat manusia.
Salah satu upaya untuk meminimalisir krisis kemanusiaan ini, menurut Buya Syafii adalah dengan membentuk negara Islam. Negara Islam, demikian Buya Syafii Maarif merupakan suatu keniscayaan untuk diperjuangkan umat manusia. Bukan hanya umat Islam, melainkan umat non-Muslim dan orang Ateis sekalipun berkewajiban memperjuangkan. Dengan negara Islam, maka tatanan kehidupan sosial umat manusia yang adil, sejahtera, toleran, damai, dll. akan terwujud.
Menarik, walaupun Buya Syafii juga memperjuangkan terciptanya negara Islam, tetapi ia mengkritik secara tegas dan lugas para kelompok yang getol memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya, kebanyakan (pejuang formalisasi syariat Islam) sejatinya tidak paham tentang hakikat syariat Islam itu sendiri. Mereka memahami syariat Islam sebatas hukum semata, padahal syariat sebenarnya adalah agama itu sendiri yang bersifat holistik. Esensi dari syariat Islam adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang bersifat partikular.
Lebih dari itu, Buya Syafii dengan nada pesimis dan sedikit mencibir bahwa usaha-usaha yang dilakukan mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara merupakan pekerjaan yang sia-sia. Kegagalan kelompok Islam dalam menggulirkan proyek negara Islam di Indonesia dikarenakan mereka keliru dan gagal membaca peta sosiologis masyarakat Indonesia. Memang penduduk negeri ini didominasi umat Islam (hampir 90%), tetapi yang menghendaki tegaknya negara Islam jumlahnya kurang dari itu, bahkan kurang dari 50 persen.
Sekira formalisasi syariat Islam diberlakukan, menurut Buya Syafii, hal ihwal hanya akan memunculkan ketegangan dan perpecahan di tengah masyarakat sebagai akibat ideologisasi Islam. Perpecahan yang akan muncul tak sekadar melibatkan kelompok muslim dan non-muslim, tetapi juga perpecahan di antara umat Islam sendiri.
Jadi, jelaslah bahwa gagasan negara Islam ala Buya Syafii berbeda dengan konsep negara Islam ala kelompok Islam radikal sebagaimana yang tampak saat ini. Dengan kata lain, negara Islam Buya Syafii lebih transformatif, progresif, dan selaras terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Buya, Islam tak perlu dijadikan sebagai dasar negara, tetapi cukup ditempatkan sebagai landasan etik-moral dan spirit dalam berbangsa dan bernegara. Islam harus dijadikan sebagai pedoman moral negara, bukan landasan formal untuk mendirikan negara Islam.
Inilah yang saya sebut model negara Islam ala Buya Syafii Maarif. Suatu negara yang sistem pemerintahan dan segala kebijakannya dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip universalisme ajaran Islam, seperti keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kesejahteraan, al-Syura (bermusyawarah), dll. tanpa harus menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Sehingga, apabila ada suatu negara – kendatipun negara sekuler – menerapkan prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut, menurut Buya Syafii baru dapat dikatakan negara Islam.
Sebaliknya, jika suatu negara – walaupun negara Islam – tetapi tidak menerapkannya, maka negara tersebut tidak bisa dianggap sebagai negara Islam. Wallahu A’lam
Selamat jalan sang mujadid dan pendekar dari Chicago, Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif. Perjuanganmu untuk bangsa ini akan selalu dikenang dan dirawat. Surga menantimu. Amiin.