Wala takullahuma uffin, jangan sekali-kali bekata “uff”, adalah salah satu ayat Al-Qur’an yang umumnya diterima begitu saja tanpa penelaahan yang mendalam, baik itu identifikasi jenis ayatnya (muhkamat/mutasyabihat), konteks turunnya, probabilitas pemaknaannya, dan evolusi perkembangan maknanya dari satu zaman dan satu konstruk masyarakat ke lainnya.
Selain ayat itu, ada banyak teks suci lain tentang orang tua, baik itu dari Al-Qur’an ataupun Hadis, yang penggunaannya sengaja dikutip mentah dengan tujuan menguatkan posisi orang tua, atau dengan tujuan untuk mengutuk atau mengancam tindakan agresif yang baru saja dilakukan anak terhadap orang tua.
Dibanding mempertanyakan “kenapa sikap agresif itu bisa terjadi?” dan “di titik mana resolusi dan rekonsiliasi bisa dibangun?” respon dalam bentuk argumentasi tentang akhlak yang disertai serangkaian ayat dan hadis penguat, jauh lebih populer digunakan. Tetapi, apa artinya argumentasi akhlak jika hal itu membiasakan kita pada prejudis yang parsial sekaligus menyederhanakan atas sesuatu sebenarnya kompleks?
Ada beberapa mitos yang menopang keberlangsungan masalah tersebut, yakni: mitos akhlak yang menutupi arogansi personal; mitos ‘kebenaran orang tua adalah kebenaran Tuhan’ yang melupakan sifat kemanusiawian; mitos ketaatan yang memengaruhi pendapatan masa depan; dan mitos sopan santun yang meminggirkan hak untuk mengekspresikan kritik dan emosi (marah, sedih, kecewa).
Tulisan ini sepenuhnya bukan dimaksudkan untuk membolehkan sikap agresif terhadap orang tua, melainkan dimaksudkan untuk mengevaluasi ulang atas kemapanan yang telah berjalan lama.
Evaluasi tersebut diperlukan karena selama ini pemaknaan teks suci tentang orang tua lebih dominan dipelihara dimensi imanennya, dibanding dimensi sosio-psikologisnya. Dampaknya, tersedia banyak modus bagi orang tua untuk menyembunyikan otoritarianisme kekuasaannya; arogansinya atas prejudisnya; gengsinya untuk bermuhasabah; hasratnya untuk memaksakan kehendak terhadap anak; dan meremehkan apa yang dirasakan si anak, di bawah atas-nama teks suci.
Di banyak tema teks suci lain, seperti politik dan gender misalnya, modus-modus serupa juga terjadi. Namun kesadaran terhadap dimensi sosial-psikologi, atau bahkan dimensi kebudayaan dan politik, telah cukup mapan menghasilkan evaluasi yang pemaknaannya kontras dengan era masyarakat zaman Nabi.