Memaknai Ulang Teks Suci Tentang Orang Tua

39 views

Wala takullahuma uffin, jangan sekali-kali bekata “uff”, adalah salah satu ayat Al-Qur’an yang umumnya diterima begitu saja tanpa penelaahan yang mendalam, baik itu identifikasi jenis ayatnya (muhkamat/mutasyabihat), konteks turunnya, probabilitas pemaknaannya, dan evolusi perkembangan maknanya dari satu zaman dan satu konstruk masyarakat ke lainnya.

Selain ayat itu, ada banyak teks suci lain tentang orang tua, baik itu dari Al-Qur’an ataupun Hadis, yang penggunaannya sengaja dikutip mentah dengan tujuan menguatkan posisi orang tua, atau dengan tujuan untuk mengutuk atau mengancam tindakan agresif yang baru saja dilakukan anak terhadap orang tua.

Advertisements

Dibanding mempertanyakan “kenapa sikap agresif itu bisa terjadi?” dan “di titik mana resolusi dan rekonsiliasi bisa dibangun?” respon dalam bentuk argumentasi tentang akhlak yang disertai serangkaian ayat dan hadis penguat, jauh lebih populer digunakan. Tetapi, apa artinya argumentasi akhlak jika hal itu membiasakan kita pada prejudis yang parsial sekaligus menyederhanakan atas sesuatu sebenarnya kompleks?

Ada beberapa mitos yang menopang keberlangsungan masalah tersebut, yakni: mitos akhlak yang menutupi arogansi personal; mitos ‘kebenaran orang tua adalah kebenaran Tuhan’ yang melupakan sifat kemanusiawian; mitos ketaatan yang memengaruhi pendapatan masa depan; dan mitos sopan santun yang meminggirkan hak untuk mengekspresikan kritik dan emosi (marah, sedih, kecewa).

Tulisan ini sepenuhnya bukan dimaksudkan untuk membolehkan sikap agresif terhadap orang tua, melainkan dimaksudkan untuk mengevaluasi ulang atas kemapanan yang telah berjalan lama.

Evaluasi tersebut diperlukan karena selama ini pemaknaan teks suci tentang orang tua lebih dominan dipelihara dimensi imanennya, dibanding dimensi sosio-psikologisnya. Dampaknya, tersedia banyak modus bagi orang tua untuk menyembunyikan otoritarianisme kekuasaannya; arogansinya atas prejudisnya; gengsinya untuk bermuhasabah; hasratnya untuk memaksakan kehendak terhadap anak; dan meremehkan apa yang dirasakan si anak, di bawah atas-nama teks suci.

Di banyak tema teks suci lain, seperti politik dan gender misalnya, modus-modus serupa juga terjadi. Namun kesadaran terhadap dimensi sosial-psikologi, atau bahkan dimensi kebudayaan dan politik, telah cukup mapan menghasilkan evaluasi yang pemaknaannya kontras dengan era masyarakat zaman Nabi.

Dalam teks suci bertema gender, misalnya, interpretasi tentang kesalingan dan kesetaraan kemampuan antara laki-laki dan perempuan telah dirumuskan oleh beberapa ulama dan institusi. Berkat adanya studi tentang sosial-budaya patriarki, maka anggapan bahwa “suara laki-laki adalah suara Tuhan” dan “perempuan lebih tidak berdaya dibanding laki-laki,” kini dipandang sebagai interpretasi yang tidak lagi relevan, meski beberapa ratus tahun lalu, interpretasi itu cukup populer karena keterbatasan wawasan sosial-budaya dan minimnya kemauan politik.

Akan tetapi, kenapa upaya untuk mencari kesadaran terhadap dimensi sosial-psikologis dan dimensi kebudayaan dalam teks suci bertema orang tua tidak kunjung muncul? Apakah implikasi atasnya tidak begitu terasa? Atau kita memang ingin memelihara teks suci bertema orang tua tetap absen dari dua dimensi itu agar kita bisa leluasa menyembunyikan banalitas di balik atas-nama teks suci?

Adanya ruang untuk menyembunyikan banalitas adalah sesuatu yang tidak sehat bagi hubungan ‘kesalingan’ antara orang tua dan anak, karena menguatkan sikap tidak jujur pada diri dan pikirannya sendiri. Mitos-mitos yang telah disebutkan di atas secara lugas menunjukkan bahwa hubungan anak-orang tua tidak semata-mata tentang hal-hal ajaib, give and take, atau tentang balasan surga dan neraka, tetapi juga memuat tentang bagaimana tekanan ekonomi, pengaruh sosial (lingkungan), dan tekanan perubahan usia memengaruhi sikap dan psikologis orang tua dan anak.

Masalahnya, narasi dominan yang dipelihara adalah, bahwa anak mutlak harus bisa memahami orang tuanya, sedangkan orang tua tidak mutlak harus. Implikasinya, muncul mitos akhlak untuk menutupi arogansi personal orang tua.

Padahal, untuk ‘memahami’ tindakan seseorang, maka dibutuhkan: penjelajahan pada ranah riwayat pengalaman zaman dan dinamika hidup seseorang; pola pemikiran; habit pengambilan keputusan (decision-making behavior); dan struktur emosionologi seseorang. Dengan begitu, seseorang bisa memahami kenapa si X melakukan Y. Padahal, dalam hubungan antarmanusia, apa pun konteksnya (etnisitas, religius, kelompok, personal, dll) pemahaman adalah setengah dari tercapainya toleransi dan kolaborasi.

Di ilmu sosial, penjelasan tersebut membutuhkan bantuan antropologi, sosiologi, dan hermeneutika. Sementara peranti-peranti tersebut, dalam bentuk dan inisiasinya yang paling sederhana sekalipun, tidak tersiratkan dalam pendidikan populer; dalam pelatihan-pelatihan parenting; dan dalam ceramah di mimbar tentang hubungan orang tua dan anak. Absennya peranti-peranti tersebut dalam pendidikan publik dapat dipahami pada dua spekulasi, yakni antara belum munculnya kesadaran sosial-budaya, atau belum adanya kemauan politik dari pihak pemegang otoritas moral.

Dampaknya tidak hanya mengukuhkan timpangnya beban kewajiban ‘memahami’ antara anak dan orang tua, tetapi juga mencakup lebarnya peluang konflik antargenerasi, yang pada derajat tertentu seringkali dipandang sebagai afirmasi bahwa orang tua selalu benar, dan kebenarannya adalah kebenaran Tuhan. Pada ranah ini, muncul mitos sakralisasi diri yang mengabaikan esensi manusia sebagai tempatnya salah dan luput. “Rida Allah adalah rida orang tua”, tetapi teks ini bukan berarti membolehkan untuk mengklaim privilese sebagai pemilik kebenaran Tuhan secara sepihak.

Pun, mengklaim privilese itu adalah sebuah kontradiktif: bukankah hanya Nabi yang memang telah dijamin bebas dari kesalahan (maksum)? Kenapa orang tua begitu percaya diri mengklaim kebenaran Tuhan? Apakah orang tua sama maksum-nya dengan Nabi?

Bila seorang anak tidak bisa memahami orang tuanya, atau dianggap ‘tidak memahami’, maka anak itu akan dipertemukan dengan narasi soal balasan ketidakbahagiaan materialistik di masa tua nanti. Di sini, mitos ketaatan yang memengaruhi pendapatan masa depan, hadir.

Oleh karena itu, seorang anak harus bersikap sopan santun dan membahagiakan orang tuanya bila tidak ingin bertemu dengan ketidakbahagiaan materialistik di masa depan, sekalipun si anak telah berteman dekat dengan pikiran-pikiran gelap, burn-out, bisikan-bisikan bunuh diri, self-harm, dan perasaan tak berguna dari akumulasi perasaan marah, sedih dan kecewa yang tak terekspresikan. Sejak saat itu, mitos sopan santun yang meminggirkan kritik dan ekspresi emosi, dilanggengkan.

Mitos-mitos di atas mungkin akan dibantah kebenarannya karena kisah-kisah terdahulu telah menunjukkan banyak realitas ajaib yang melampaui nalar materiil (baik itu yang membahagiakan ataupun yang mengerikan). Tetapi itu hanyalah salah satu realitas yang kemudian diyakini berlaku di semua tempat oleh khalayak umum.

Di samping itu, generalisasi tersebut juga seringkali hanya menampilkan apa yang dirasakan orang tua, dan menyiratkan posisi anak sebagai ‘manusia kelas dua’ yang martabat kemanusiaannya baru bisa hadir jika ia telah memberikan layanan dan persembahan yang diinginkan orang tua, selama bukan sesuatu yang dosa, meskipun permintaannya berasal dari pengaruh konstruksi sosial kapitalistik yang mencampuradukkan hasrat duniawi dengan privilesenya sebagai kelompok yang disebut secara literal oleh teks suci.

Kunjungilah kawasan urban atau kawasan industri atau kawasan yang memiliki ketimpangan ekonomi. Di situ mudah ditemukan pemandangan bagaimana kelindan tuntutan ekonomi dan prestis sosial memengaruhi ekspektasi orang tua terhadap anak. Gesekan antarkeduanya menghasilkan fenomena beragam, dari mulai: kekerasan verbal orang tua terhadap anak; pengabaian pola asuh; hingga kekerasan psikis ataupun fisik.

Mitos ketaatan yang memengaruhi pendapatan masa depan si anak, kadang ikut membuntut di belakang kekerasan-kekerasan tersebut. Memang benar bahwa ketaatan pada orang tua memiliki kekuatan ajaibnya tersendiri yang dapat membawa anak pada kedamaian, ketenangan, dan kemakmuran hidup di masa depan. Tetapi itu bukan satu-satunya faktor.

Di desa ataupun di kota, tidak sedikit orang tua yang hidupnya riuh, tidak damai, dan tidak sejahtera karena menjadi korban sistem kehidupan neoliberal dan meritokratik yang menempatkannya pada kecemasan hidup tak berkesudahan, meskipun semasa muda dulu telah rajin mengaji, giat membantu orang tua, dan taat.

Sekali lagi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membolehkan sikap agresif terhadap orang tua, ataupun untuk mendelegitimasi kebenaran teks suci bertema orang tua, tetapi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ada sisi dan realitas lain yang sering kita abaikan dalam menghayati teks suci tentang orang tua. Sehingga, tindakan-tindakan yang mengesampingkan otonomi anak sebagai manusia yang utuh bisa terus berlangsung tanpa ada pertanyaan.

Upaya penelaahan ulang tentang teks suci bertema orang tua perlu digalakkan, karena dalam suatu masyarakat mayoritas muslim, teks suci adalah sebuah ‘definisi operasional’ yang menentukan bagaimana kehidupan masyarakat seharusnya dijalankan. Tetapi, di mana pun dan kapan pun kehidupan itu berada, tetap realitas agama bukan satu-satunya realitas yang berlaku secara mutlak. Di sekitarnya, ada realitas sosial, realitas ekonomi, realitas budaya, dan realitas politik, yang pada beberapa konteks dan kasus tertentu, boleh jadi lebih berpengaruh dan lebih menjelaskan daripada realitas agama.

Kentalnya hubungan hierarkis dan kentalnya tuntutan ketaatan seorang anak di Indonesia, misalnya, apakah murni ajaran Islam atau lebih merupakan konstruk budaya yang kebetulan telah berkelindan rapi dengan ajaran agama? Masalah ini perlu dibedah (dan tidak apa bila harus diperdebatkan secara pelik) karena kondisi Indonesia yang kebetulan pernah mengalami feodalisme dan otoritarianisme militer.

Koinsiden dengan hal itu, selama 32 tahun rezim Pak Harto, ada 4 nilai yang gencar ditanamkan di berbagai institusi sosial, dari mulai negara, kecamatan, sekolah, hingga keluarga, yakni: hierarki (hierarcy), kekeluargaan (familiness), kedisiplinan (order), dan kepemimpinan (leadership). Secara bersamaan, proyek pembangunan berbasis kapitalisme yang dicanangkan Orde Baru berkaitan erat dengan suburnya nilai-nilai materialisme.

Pertanyaannya, apakah narasi ketaatan yang sering dikaitkan dengan balasan ataupun ancaman berbau materiil adalah kristalisasi dari nilai hierarki dan nilai materialisme yang selama 32 tahun telah membentuk pola pikir kita? Apakah ada keterhubungan antara konteks sosial, budaya, dan politik tersebut dengan pemaknaan kita tentang konsep hubungan anak-orang tua, konsep durhaka, konsep hidup bahagia, konsep hukuman/laknat, dan logika kita dalam mengasosiasikan konsep-konsep tersebut?

Sebagaimana proses penafsiran teks suci bertema gender yang berani keluar dari bias maskulin, begitu juga proses penafsiran teks suci bertema orang tua. Proses penggalakkannya harus berani keluar dari: bias generasi; berani menyajikan analisa berlapis dari sosial, kebudayaan, politik, dan agama secara jujur dan transparan; dan tidak terkungkung pada narasi-narasi ajaib ataupun kenestapaan (misery).

Memaknai ulang teks suci bertema orang tua sama sekali tidak akan mengurangi nilai kemuliaan orang tua, melainkan akan membuka ruang dialog yang lebih terbuka sekaligus egaliter, dan membangun hubungan yang lebih koperatif dalam mengarungi ketidakpastian kehidupan yang dialami oleh sebuah keluarga. Dengan adanya pemaknaan ulang, maka ucapan soal warisan kesengsaraan (“nanti juga besok kamu ngalamin”) tak perlu menjadi budaya turun temurun yang mereproduksi antagonisme antargenerasi. Dan yang lebih penting dari itu adalah, tidak perlu ada lagi pemandangan kekerasan atau manipulasi terhadap anak yang melibatkan penggunaan teks suci.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan